Apa menjadi pusat perhatian artinya kamu harus pandai mengeluarkan rasa percaya diri itu? Kurasa...
P U S A T
Aku menatap nanar pada jaket BangBang yang kubeli langsung di Korea tahun lalu. Sebenarnya aku lebih memilih menyimpannya di lemari—tak peduli kenyataan bahwa jaket itu telah tak muat kupakai. Tapi sungguh, aku lebih senang melihatnya terlipat manis di dalam lemari bambu di kamarku meski dengan bau kamper yang mengelilingi seluruh permukaan kainnya daripada sekarang.
Jaket merah itu melekat di tubuh Lila. Tak ada bau kamper seperti biasanya, yang ada hanya aroma fragrance bunga mawar putih yang bisa kucium baunya meski aku mundur lima langkah dari tempat Lila berdiri.
Kuakui, jaket itu terlihat cantik sekali saat melekat di lekuk tubuhnya.
Bukannya aku tak suka ia mengenakan barang kepunyaanku, toh aku menerima kesepakatan yang kami buat—aku meminjam sepatu milik kakaknya sementara ia mengenakan jaket favoritku. Mau bagaimana lagi, aku tak punya sepatu high heels dalam rak sepatu di apartemenku. Aku terpaksa meminjam sepatu milik kakak Lila yang memang seorang model—sepatunya memiliki ukuran panjang yang kubutuhkan.
Aku menundukkan kepala, menatap bagaimana sepatu hitam mengkilap itu bertengger manis menyelimuti kakiku.
"Gue nggak sabar ketemu si Rengga!"
Suara riang Lila sontak membuatku mengangkat wajah. Dan tepat bersamaan dengan itu, kulihat pintu lift terbuka.
Mataku membulat. Hall yang kulihat di depan begitu megah. Cahaya lampu kristal membias di mana-mana—menerangi tiap sudut ruangan. Jujur, aku cukup terkesima. Padahal ini hanya acara reuni sekolah SMP-ku dulu. Aku tak tahu kalau sebagian besar temanku benar-benar menjadi orang sukses.
"Rengga mana ya?"
Lila menarik tanganku erat, memaksaku berjalan di sampingnya. Oh Tuhan, bau mawar itu benar-benar membuatku pusing. Tapi aku tahu Lila tak peduli. Perempuan ini lebih sibuk menoleh ke sana kemari untuk mencari sosok Rengga. Aku kenal bocah itu. Kudengar ia cukup sukses. Well, dia ketua ektrakulikuler basket bertahun-tahun lalu. Tampan, seorang player, dan hobi sekali mengerling pada siswi-siswi cantik di sekolah. Bocah 'jelek' itu pede sekali.
"Hei, Lila! Waw! Cantik banget sekarang!"
Aku menoleh. Ada Hafiz dan Rengga yang berjalan menghampiri kami berdua. Tanpa melirik Lila, aku sudah yakin kalau perempuan itu tersipu dan senang bukan main karena Rengga menghampiri kami. Lihat saja, Lila benar-benar habis-habisan untuk reuni kali ini.
Tas Chanel. Rambut yang baru ia benahi di salon sore lalu. Kutek sewarna dengan jaket BangBang yang ia kenakan. Gaun selutut berwarna cerah. Oh, dia dewi malam ini. Pusat perhatiannya pesta.
Meski bagiku ia kelewat berlebihan. Narsis.
Selama pesta temu kangen itu, aku lebih memilih menepi ke barisan sajian makanan. Di sana aku lebih merasa baikan. Hanya perlu berdiri di satu tempat, memegang piring, menatapi menu prasmanan—tanpa harus mengobrol dengan yang lain, berjalan ke sana kemari, dan berdansa di tengah hall.
Well, sebenarnya aku cukup percaya diri untuk melakukan itu semua. Tapi apa daya, damn this high heels. Kubiarkan Lila menempel pada Rengga sesukanya.
"Hei, lo nggak ikut dance?"
Aku menoleh dan mendapati Rengga di sana. Menyeringai seperti bertahun-tahun lalu. Aku menelan susah payah kentang di mulutku.
"Masih aja nggak bisa ngedance, Nerd?"
Mengabaikan Lila yang menatapku, aku melepas high heels sial yang bertengger di kakiku. Aku melangkah menuju tengah hall, menjawab tantangannya.
Malam itu adalah malam yang menyenangkan—kurasa. Aku tak terlalu peduli pada sekitar. Aku masih sering tersenyum, berbeda dengan Lila. Perempuan itu sering menyipitkan matanya padaku. Seperti pagi ini.
Dia datang dengan wajah kesal sambil menyodorkan sebuah lembar foto.
"Dari Rengga."
Aku tersenyum. Potret narsisku sembari menjulurkan lidah pada Rengga—yang saat itu mengangkat kamera untuk mengambil potretku.
. . . siapa takut
BalasHapus