Oleh : @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Entah berapa kali aku berdiri di sini. Di tempat yang sama, seperti saat pertama aku mulai mengenalnya. Perkenalan tanpa sengaja saat mataku tergoda untuk memperhatikan setiap sudutnya. Awal yang akhirnya membuatku tak ingin semuanya berakhir. Padanya aku merasakan keindahan hidup dan kehidupan. Hidup dalam cerita diri dan kehidupan akan sebuah kepribadian.
Tak terkecuali senja ini. Aku termangu di titik itu. Terdiam dalam satu titik. Titik yang mengantarkan aku ke dunia nyataku yang hilang. Setidaknya, itu menurut kata hatiku. Hanya padanya aku bisa percaya bahwa aku yang terindah, meskipun harus tersembunyi dari riuh nyanyian kehidupan di sekelilingku. Suka atau tidak, itulah diriku.
Rasa jemu tak juga membelenggu. Guratkan senyuman di ujung senja yang membayang. Sabuk bidadari nampak di bayangan pelupuk mataku. Membias indah dalam tatapan yang penuh makna. Sekumpulan rambut hitam ikal yang lebat menjadi mahkotaku. Rongga pernapasan nampak berdiri manis pada tempat semestinya. Senyum mengembang sempurna untuk sebuah penampilan yang sempurna.
Jarum pendek menunjukkan angka lima saat aku merapikan kerah baju putihku. Aku sedikit membetulkan posisinya. Rapi. Gagang kacamata minusku juga tak luput dari perhatianku. Gagang indah yang bertengger di cuping telinga yang indah itu bergeser sedikit dari tempatnya semula.
Ritual senja itu pun usai saat hatiku meyakinkan diriku untuk mengakhirinya. Aku melangkah gontai dengan penuh percaya diri. Sepatu mahal yang membungkus kedua kakiku membawaku melangkah ke arah yang kutuju. Toko cermin. Toko yang sama saat terjadi perkenalan tanpa sengaja, dengan cermin di kamarku. Niat utamaku adalah untuk membeli cermin baru setelah aku merasa cermin lamaku tak lagi bersahabat denganku.
Cermin itu sudah kusam sepertinya sudah mulai iri dengan kesempurnaan wajah dan penampilan yang aku biaskan dan biarkan terperangkap di dalamnya. Langkah kakiku terhenti saat di sebuah halte. Aku melihat seorang anak laki-laki bertubuh kurus berdiri di depanku. Menengadahkan telapak tangannya. Meminta belas kasihan. Hatiku tergerak untuk memberikan selembar seribuan yang terselip di kantong celana jeansku.
"Terima kasih, Kak," katanya dengan nada sengau. Bukan karena sedang mengalami gangguan pernapasan tetapi karena bibirnya yang sumbing.
Sendu tiba-tiba menggelayut dan merayu rasa iba saat wajah sedihnya hinggap di hatiku. Hatiku semakin tak kuasa menahan rasa iba. Mengantarkan aku pada sebuah episode pendek hidupku.
"Hei kamu ke sini!" seorang anak berteriak lantang ke arahku.
Hatiku memaksaku untuk tetap bergeming di tempatku berdiri. Langkah-langkah kasar terdengar mendekatiku. Semakin dekat semakin aku ketakutan.
"Dasar kamu anak aneh! Pergi kamu sana jangan ikut main bersama kami!" seorang lagi terdengar semakin lantang berteriak.
"Aku hanya ingin bermain-main bersama kali," ratapku.
"Tidak boleh! Pokoknya tidak boleh!" suara-suara beringas itu semakin mengobrak-abrik hatiku.
Aku beringsut mundur dan jatuh.
"Kak! Bisnya sudah datang tuh!" suara sengau anak kecil itu menyadarkan aku dari lamunan.
"Eh iya. Terima kasih, Dik," jawabku sambil membetulkan letak tubuhku yang hampir terjatuh dari kursi halte.
Anak kecil itu pun berlalu bersama kesedihan hatiku akan masa lalu. Bis sudah berada tepat di depan halte. Aku beranjak berdiri mendekati bis itu dan melangkah pelan menuju arah rumahku. Hatiku membunuh niatku untuk membeli cermin baru. Keyakinanku membuatku mengubah pikiranku untuk tidak mengganti cermin lamaku.
Pelan dalam ketidakpastian aku melangkah pulang. Sesampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan mengambil posisi di titik kesukaanku. Depan cermin. Tak ada lagi senyum merekah dan tak ada lagi binar wajah. Yang ada hanya rasa hati yang tidak karuan. Aku terjebak di antara rasa kesal dan sesal. Kedua rasa yang membuat hatiku teriris.
Di dalam cermin itu, hatiku tertumbuk pada sebuah bayangan. Bayangan anak kecil bersuara sengau dengan bibir sumbing. Bukan bayangan wajah anak kecil yang kutemui di halte tadi, tetapi bayangan wajahku sendiri. Wajahku saat aku masih kecil dengan bibir sumbing.
Bayangan wajahku saat masih kecil bersekutu dengan hati kecilku mengejek keangkuhanku selama ini. Keangkuhan dari sebuah kesempurnaan semu. Kesempurnaan yang kuagung-agungkan setelah aku menjalani operasi bibir sumbing gratis di kampungku, dulu. Dulu saat keluargaku masih belum memiliki lemari kaca untukku bercermin. Rasa kesal yang menyelimuti hati dan menggerogoti kesabaranku, menggerakkan tanganku secara spontan.
"Prang!"
Cermin itu berderak, retak. Bayanganku saat aku masih kecil menjadi serpihan. Jatuh tepat di dekat titik aku berdiri saat itu. Bayangan tersebar pada setiap serpihannya. Ada yang tertawa sinis, tetapi ada juga yang menangis penuh sesal. Aku terduduk lemas menatap serpihan bayangan yang retak. Hatiku membiarkan darah terus menetes pada jari-jariku terkena serpihan cermin. Bahkan, beberapa serpihan kecil masih aku biarkan menancap di kulitnya. Hatiku yang diselimuti rasa sesal membuatku tak mempedulikan rasa sakitku. Kini aku sadar, aku tak butuh cermin lagi untuk membiaskan bayangan palsuku. Aku bertekad untuk tidak mengagung-agungkan lagi satu pun bagian titik tubuhku. Derak bayangan retak telah menyadarkan hatiku bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!