Oleh: @suavenigma
Baru aku keluar toilet saat Hana sudah berdiri mematut diri di depan cermin lengkap dengan perlengkapan perangnya. Touch up. Satu dompet besar berisi perlengkapan make up lengkap dan satu dompet gulung yang berisi deretan kuas wajah berbagai ukuran dan bentuk. Entah apa saja fungsinya. Hana tersenyum melihatku memandanginya lewat cermin.
Aku mendekat ke cermin di sebelahnya dan mulai mencuci tangan. Tanpa sadar aku memperhatikan Hana dari cermin. Ia mulai menyisir bulu matanya dengan sikat maskara. Dari ujung bulu mata, tengah ke ujung bulu mata, lalu pangkal ke ujung bulu mata. Mengerjapkannya beberapa kali, lalu tersenyum lebar. Terlihat puas dengan hasilnya. Bangga dengan tangan terlatihnya.
“Naksir ya?” seloroh Hana saat aku menyabuni tanganku. Itu cara bercanda favorit Hana. Hanya senyum miring dariku lalu kembali kufokuskan mata pada tangan yang sudah penuh busa yang mulai kubasuh dengan air.
Hana itu cantik. Well, sebenarnya ngga cantik-cantik banget, sih. Pernah sekali aku melihat wajah telanjang Hana yang tanpa make up karena kebetulan berbagi kamar saat masa training dulu. Biasa saja. Toh, hidungnya kecil ngga mancung, pipinya bulat, bibirnya tebal, dan satu lagi, matanya itu loh, orang Jawa bilang mendolo (menonjol).
Mungkin kata terawat bisa menggambarkan diri Hana. Rasanya jarang sekali ada jerawat yang mampir di wajahnya. Sedangkan aku? Well, paling tidak sebulan sekali ada saja jerawat bandel yang muncul saat aku datang bulan. Selain itu, wajahnya selalu terlihat lembab dan bercahaya walau sebenarnya kulit wajahnya tergolong gelap. Tidak heran juga sih kalau tahu rutinitas Hana dengan krim-krim perawatan pagi dan malamnya itu.
Mungkin juga kata pesolek bisa menggambarkan diri Hana. Karena saat sudah berdandan, ia bisa mengubah hidungnya menjadi terlihat imut, pipinya menjadi merona menggemaskan, bibirnya menjadi seksi (iya, aku akui bibir Hana jadi seksi kalau sudah pakai lipstick), dan matanya seperti mata boneka. Besar dan menarik. Dan make up itu selalu utuh sejak jam datang kantor sampai malam waktu pulang nanti. Berbeda dengan karyawan wanita umumnya yang make up-nya sudah mulai luntur bersama waktu.
Atau kata menarik lebih tepat menggambarkan diri Hana? Coba tanya laki-laki sekantor, mana yang tidak kenal Hana. Dari direktur sampai OB pasti tahu semua. Apalagi yang laki-laki. Kadang aku jengah melihat tingkah Hana yang seperti seringkali kelewat pede itu. Rasanya setiap laki-laki di divisi kami pernah digodanya. Termasuk Pak Anto, manajer kami. Atau memang seperti itu gaya bercanda Hana?
“Aduh, Kinanti, kalo emang naksir ngaku aja deh,” ujarnya lagi sambil terkikik saat tanpa sadar mataku kembali menatapi Hana dari cermin. Ia baru saja selesai memoleskan lipstick warna coral yang sesuai dengan cat kukunya.
“Ga usah narsis gitu deh, Han,” balasku sambil merapikan pakaianku yang agak kusut di depan cermin.
“Emang salah ya kalo narsis?”
“Overconfidence juga ga bagus kali,” kataku dengan nada bercanda.
“Ih, mending overconfidence daripada minder,” tawa Hana seakan bangga dengan candaannya sendiri. Ia meraih telpon genggamnya dan mulai memfoto dirinya sendiri.
“Tuhkan, narsis.” Tapi aku mendekat dan menyampirkan lenganku di pundaknya, ikut berfoto bersama Hana. Beberapa kali jepret dengan berbagai eskpresi wajah. Dari senyum-senyum sok jaim sampai berfoto dengan tampang sok unyu. Kami tertawa kecil melihat hasil fotonya.
“Emangnya definisi narsis itu apa sih, Ki?“ Tiba-tiba Hana bertanya saat ia sedang merapikan perlengkapan make up-nya.
“Orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri,” jelasku singkat sambil menyisir rambut dengan sisir Hana.
“Tapi menurutku narsis itu bagus.” Aku hanya menatap Hana, menunggu kalimat selanjutnya. “ Maksudku, bagaimana orang lain bisa mencintai kita, kalau kita tidak mencintai diri kita sendiri?“
Well, she has a point.
http://sebarangbikin.blogspot.com/2011/07/di-toilet-kantor.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!