Oleh @vieramilenka.
Wajah. Wajah itu…muka. Wajah itu jerawat; make-up; maskeran. Wajah itu…cermin. Wajah itu…Femina. Wajah itu…Wanita. Wanita karena wajah adalah sesuatu yang dibanggakan, sesuatu yang ditinggikan, sesuatu yang dirawat, halus, menjadi pusat perhatian. Wajah bukan sesuatu yang praktis, wajah itu berharga. Mungkin bias sih, karena saya juga wanita. Tapi buat saya, wajah itu sesuatu yang harus dijaga. Wajah juga sering merupakan penanda, penentu kesan pertama.
Jarang rasanya ada orang yang pertama kali berkenalan dengan orang, kemudian yang diingat kakinya. Mungkin kalau kakinya seperti gorila. Tapi rata – rata yang diingat pasti wajah. Tak heran milyaran rupiah uang masyarakat masuk ke industri kosmetik dan perawatan muka setiap tahunnya.
Wajah juga bisa menjadi jendela bagi setiap orang yang haus akan informasi, orang yang selalu mencari. Ada beberapa orang yang wajahnya bagaikan air yang bukan hanya bening, tapi juga tenang. Tidak susah sama sekali mencari tahu bagaimana kondisinya saat itu. Ada juga yang bagaikan sungai bergolak; jenis yang harus diarungi dengan hati – hati, tapi kalau sudah tahu caranya, bukan hanya menantang tapi juga memuaskan. Ada pula yang seperti danau; dalam, tenang, nyaris tak berdasar. Menipu karena kesederhanaannya, tapi bisa juga berbahaya bagi orang – orang ceroboh yang berusaha untuk masuk lebih jauh tanpa persiapan yang memadai. Ada yang seperti kubangan, ada pula yang seperti sungai Ciliwung—kental, bau, tidak menarik, penuh residu. Tapi buat saya, rata – rata orang itu seperti kolam renang. Airnya bening, kadang hangat, kadang dingin, di beberapa tempat bergolak karena air terjun atau angin, kadang taifun kadang sepoi – sepoi; tapi kebanyakan cukup aman dan bisa diprediksi. Saya? Wah, rasanya susah menilai diri sendiri.
Wajah, selain bisa jadi jendela, juga bisa menjadi cermin. Buat saya, cermin terbaik adalah muka teman – teman saya. Mereka jenis cermin biasa tanpa tipuan, tidak cekung, tidak cembung. Mereka memperlihatkan diri saya sewajarnya, seutuhnya saya. Ada hari baik, ada hari buruk. Tapi intinya, mereka menjadi parameter yang menjaga saya saat saya kebingungan., atau mungkin dalam proses mencari jati diri dan terhenti di persimpangan. *jeger.
Tapi kalau mau jujur, cermin yang paling ingin saya lihat memantulkan kesempurnaan—walaupun sebenarnya kesempurnaan itu bisa membosankan dan mematikan gairah hidup, karena sudah tidak ada lagi yang bisa dikejar—adalah cermin di mata orangtua saya. Yah, siapa juga yang tidak ingin membahagiakan orangtuanya? Kadang saat saya melihat wajah orangtua, terutama mama, tampak bersinar lembut karena bangga, atau sedang sibuk menceritakan tentang saya ke teman – temannya—wah, walaupun memalukan, tapi diam – diam saya senang. Hadiah kecil untuk wanita yang sudah melahirkan saya.
Wajah juga bisa menjadi topeng. Klise sih. Tapi ada orang – orang yang menghabiskan waktu untuk menyempurnakan wajah mereka menjadi topeng sandiwara. Mereka begitu sibuk mengkhawatirkan takaran semen, banyaknya air, warna yang digunakan, orang untuk ditiru—mereka lupa untuk hidup. Wah, sedikit menggurui. Hanya saja, buat saya hidup itu sudah cukup susah tanpa harus diperumit dengan menutup rapat jendela anda untuk dunia.
Terakhir, wajah itu.. ya bagian dari anatomi muka. Ada hidung, ada bibir, ada pipi, ada mata, ada kumis, ada alis—ditutupi kulit. Hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!