Oleh Rahmi Fathia (@rahmfath)
Jarum jam menunjukkan angka 6 tepat. Matahari sedikit demi mulai menampakkan sinarnya. Tanda kehidupan yang baru, juga hari yang baru mulai terbuka.
Gadis itu tampak senang. Baru pertama kali dalam hidupnya ia merasakan euphoria yang sudah tak terbendung lagi. Selesai shalat shubuh ia mantap memanjatkan rangkaian kalimat syukur kepada Sang Pencipta. Entah seperti apa rangkaian yang terlontar dari dalam hatinya yang terdalam, memang hanya ia dan Tuhannya yang tahu.
Ia sudah terbiasa dengan semua ini. Dengan persegi putih yang mengelilinginya, dengan aroma alcohol juga obat-obatan, dengan jarum infus, dengan dinginnya hawa ruangan, dengan sesekali tangisan Ibunya yang dengan setia menunggunya hingga kini. Ia tidak mengenal shopping, dress, Blackberry, facebook, twitter dan beberapa kesenangan remaja pada umumnya. Ia tidak mengenal semua itu..
“Dua jam lagi dokter datang nak. Kamu udah siap?” bisik Ibunya lembut. Logat Jawa terdengar sangat kental disetiap pengucapannya.
“Siap bu. Saya sangat siap. Udah nggak sabar bu, saya senang sekali..” jawabnya pelan. Berbagai letupan keegembiraan seketika menyeruak di dalam dadanya.
“Alhamdulillah kalau kamu senang.. Ibu juga ikut senang, nak. Sabar ya, dua jam lagi..” tangan Ibunya yang keriput itu dengan penuh kasih sayang mengusap-usap rambut anak semata wayangnya itu.
***
Detik, menit, dua jam yang ditunggu-tunggu itu berlalu. Walaupun terasa sangat lambat karena ia terlalu bersemangat. Akhirnya penantiannya yang besar selama 3 bulan ini tiba pada ujungnya. Perjuangan, rasa sakit bercampur harapan yang menggunung telah dipikulnya. Dan ia kini sudah tiba tepat di atas puncak. Menikmati hasil jerih payahnya selama ini yang berakhir tidak sia-sia.
“Kamu siap, Laksmi?” Tanya Dokter ketika tiba. Disusul oleh beberapa suster juga troli besi yang berisikan peralatan kedokteran.
“Iya, saya siap. Sangat siap..” jawabnya mantap.
Dokter berjubah putih itu lalu mengerjakan pekerjaannya. Dibantu oleh suster yang juga cekatan dalam menangani Gadis berambut panjang itu.
Beberapa waktu berlalu, Jarum jam tidak lagi bertengger di angka 8 dan 12, ia kini berpindah di angka 9 dan jarum panjangnya di angka 7. Semua telah selesai.
“Nah selesai Laksmi.” Dokter itu menyimpan gulungan perban dari wajahnya. Para suster dengan sigap memperlihatkan sesuatu dihadapan Laksmi. Cermin..
“Gimana? Kamu puas dengan wajah barumu sekarang?”
Laksi terdiam. Matanya tertuju pada cermin dihadapannya. Berbagai ungkapan kesenangan yang ingin ia lontarkan, terpendam acak didalam benaknya. Terlalu sulit rasanya untuk dikeluarkan satu persatu. Ia terlalu senang..
“Terimakasih..” ucapnya getir. Antara senang dan haru tercampur menjadi satu. Ia senang dengan apa yang ia lihat kini. Bukan lagi wajah yang rusak akibat terkena air keras. Tidak ada lagi hidung yang melepuh akibat disetrika oleh majikannya di Arab sana. Tdiak ada lagi alis mata yang rontok karena terbakar oleh korek api yang disodorkan majikannya tepat pada alisnya yang dulu lebat itu. Semua berbeda. Wajahnya lebih baik dari 3 bulan yang lalu.
Untung saja Pemerintah cepat tanggap dalam menghadapi kasus penganiayaan yang dialami olehnya. Memang tidak ada lagi Laksmi yang dulu berparas ayu. Walaupun begitu, ia sangat bersyukur. Struktur wajahnya kembali normal. Ia kembali memiliki wajah yang normal seperti manusia yang lainnya. “Terimakasih..” ucapnya sekali lagi.
Matanya panas. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. Pipi barunya kini basah oleh linangan air mata tanda dari perasaan senangnya yang tidak terbatas. Kini Laksmi kembali normal. Memakai sebuah topeng fana yang baru. Ia tahu, walaupun wajahnya tidak sama seperti dulu, hatinya yang lembut dan selalu bersyukur itu tidak akan berubah.Tidak akan pernah..
aku suka yang ini, ceritanya lain dari yang lain good idea!
BalasHapusBagus!! :)
BalasHapuscerita yang bagus *rahmi hebaat kamuuu sayang :*
BalasHapus