Oleh Rheza Aditya (@gravelfrobisher)
Terkadang aku merasa heran.
Betapa kau begitu sering mengubah ekspresimu dalam satu hari. Betapa dirimu tampak bisa menampilkan begitu banyak sisi dan kepribadian yang acak. Betapa dirimu bisa merasa nyaman dengan semua itu.
Aku? Aku hanya seseorang di pojok kelas, yang mengamati semua orang dengan sebuah pensil di tangan. Aku siap mengubah galaksi dan kepingan-kepingan yang menyusunnya menjadi lautan aksara; menjadi santapan masyarakat yang jarang diapresiasi.
Aku tidak bisa sepertimu, mengubah wajah sesuai dengan keadaan. Menyenangkan orang lain? Jangan harap. Aku bahkan sudah merasa bersyukur karena sudah bisa menyenangkan diriku sendiri. Atau, tidak mengganggu diriku sendiri dengan kedok kepalsuan yang harus kukenakan setiap hari.
Façade.
Dengan setiap guratan yang kugoreskan di atas kertas seputih kapas, aku menuliskan semua yang kuketahui tentang dirimu. Bahkan meskipun aku hanya bisa melihat sisi terluar dari dirimu, yang sengaja engkau tampilkan karena kau merasa percaya diri dengan kedokmu itu.
Bibirmu ditarik melengkung ke atas setiap kali kau melihat lembar hasil ujianmu. Kau akan mendengus puas dan segera melipat kertas tersebut, sebelum orang lain dapat mengintip dan mengetahui nilai aslimu.
Mereka mengira kau sama bodohnya dengan mereka. Dan mereka bahkan tidak pernah mencari tahu atau mempertanyakan keaslian nilaimu, yang kau sebutkan kepada mereka. Bahkan bagi orang luar sepertiku, aku bisa tahu bahwa kau hanya menyembunyikan jati dirimu.
Atau, mungkin justru karena aku adalah ‘orang luar’ dalam kehidupanmu. Orang asing, orang yang tidak signifikan, yang akan kau anggap angin lalu setiap kali dia lewat di hadapanmu. Aku tampak begitu tidak eksis di matamu. Aku yakin itu.
Kau selalu menggigit bibir bawahmu setiap kali teman-temanmu memulai aksi mereka: memuji dan merayu dirimu untuk menunjukkan bakat musikmu yang memang bersinar di hadapan kelas. Pandangan matamu tidak bersinar seperti biasanya, dan aku bisa menangkap bahwa kau tidak suka terlalu dielu-elu, dari betapa kau selalu memandang ke lantai yang membosankan setiap kali kau tampil di depan kelas.
Atau, di depan ratusan penonton.
Ya, aku tahu semuanya. Betapa kau selalu membiarkan semua teman-teman ‘geng’mu pulang dahulu. Kau akan selalu mengosongkan jadwalmu setiap pulang sekolah, khusus untuk menyendiri di pinggiran lapangan basket yang rindang oleh pepohonan.
Aku bisa melihat dirimu termenung, sesekali menyenandungkan lagu tak berlirik yang melodinya tidak familiar di telingaku.
Atau, ketika kau akhirnya terpilih sebagai wakil sekolah untuk maju ke Olimpiade Sains Nasional. Aku hanya bisa tertawa dalam hati melihat pandangan mata ‘teman’teman’mu yang tampak heran; bagaimana mungkin dia bisa mewakili OSN? Sejak kapan dia sepintar itu?
Bahkan, ketika suatu hari saat hujan turun dengan begitu derasnya, mengguyur bumi tanpa ampun dengan berkah airnya yang melimpah. Aku lihat kau masih bisa tersenyum, kali ini tampak begitu tulus sehingga aku ragu untuk memasukkannya ke dalam daftar façademu yang berlembar-lembar panjangnya.
Namun, tak sekali pun kau menoleh ke arahku.
Aku bahkan ragu kau mengingat namaku. Bahkan guru saja tidak pernah mengingat namaku, dan sesekali menanyakan apakah aku murid pindahan baru.
Aku mendengus sinis, kembali ke alam dan duniaku sendiri di pojokan kelas, dengan selembar kertas penuh coretan dan sebuah buku setengah terisi yang berlimpah dengan seluruh karyaku dari bulan lalu.
Duniaku berbeda dengan duniamu.
Topengmu. Topeng kepribadianmu yang begitu banyak. Façade melimpah yang tampak begitu kokoh, namun juga transparan pada saat yang bersamaan.
Seperti topeng kaca, dimana kau begitu transparan. Begitu mudah diubah menjadi warna lain, namun tetap tidak berwarna jika berdiri sendiri. Begitu meyakinkan orang-orang yang berada di sekitarmu, namun tampak begitu rapuh bagiku yang selalu memperhatikanmu.
Kurasa kau akan lebih kesulitan menghafalkan daftar topengmu yang sepanjang lima lembar ini daripada mengingat namaku. Ya, aku mengerti. SANGAT mengerti. Sungguh, aku tidak bercanda. Dan juga tidak bisa dibilang senang.
Kurasa, mungkin dunia kita terlalu berbeda untuk dapat menyatu. Padahal kau akan menjadi bahan yang sangat menarik bagi kemajuan ceritaku. Padahal aku sedikit berharap bisa mengenalmu lebih jauh, sebab kau adalah karakter sentral yang menghubungkan semua karakter-karakter lainnya.
Aku melirik buku berisi tulisanku, dan hampir meludah di atasnya. Delapan tahun sudah kujalani hidupku, melangkah bersama dengan aksara dan tulisan-tulisan menakjubkan yang membuatku terpana. Betapa kumpulan huruf-huruf dan simbol-simbol aneh dapat menyampaikan dan menggubah sebuah karya, sebuah dunia baru untuk disuguhkan bagi mereka yang membacanya.
Namun, kurasa tidak ada gunanya juga menjadi penulis jika tidak ada yang mengakui keberadaanku.
Aku menutup bukuku, kali ini memutuskan untuk sedikit serius memperhatikan penjelasan Guru Bahasa Indonesiaku yang sedang menjelaskan tentang metafora—yang ironisnya, merupakan keahlian utamaku dalam menulis cerita fiksi—dan perumpamaan.
Tidak, aku tidak mengirimkan karyaku ke penerbit, atau ke majalah.
Aku benci publikasi.
Mendapat sorotan publik berarti sebuah keadaan dimana sulit bagiku untuk mengamati gerak-gerik orang lain. Sulit untuk mengepakkan sayap-sayap imajinasiku yang liar untuk merobek angkasa dengan kegilaannya. Sulit untuk menjamah dan mengerti esensi jiwa setiap manusia dan setiap objek yang kulihat, kurasa, kuraba, kuendus, dan kudengar.
Publikasi berarti menulis mengikuti selera pasar.
Kecuali aku bisa membuat gebrakan baru, yang tampaknya juga tidak menyenangkan. Tentu, kau bisa jadi terkenal dan kaya mendadak melebihi Ratu Inggris. Tentu, karyamu bisa ditayangkan di bioskop dan mendapat begitu banyak masukan dan kritikan hanya dengan menampilkan vampir bercahaya sebagai karakter utamamu.
Tetapi, secara bersamaan dengan popularitas, aku juga akan menciptakan pengharapan dari orang lain. Dan aku tidak memiliki kekuatan sepertimu, kekuatan menciptakan topeng baru dalam hitungan detik yang sangat kuinginkan semenjak dulu.
Aku tidak perduli jika topengku sebening kaca.
Aku ingin memendam wajahku di balik perlindungan kaca tersebut, dan mungkin suatu saat aku bisa menjadi sedikit lebih normal.
Bukannya menjadi hantu pengamat kelas di penghujung ruangan yang selalu memancarkan aura ‘aku-tidak-ada-di-sini-jadi-jangan-lihat’ secara kusadari maupun tidak.
Aku tersadar dari lamunanku ketika Pak Guru menyebutkan sesuatu tentang lomba menulis cerpen untuk Bulan Bahasa.
Cerpen, makanan sehari-hari bagiku. Aku bisa membuat lima belas cerpen dalam sehari dan masih melanjutkan proyek-proyekku yang lain.
Bukan berarti aku akan ikut serta dalam lomba ini. Aku tidak punya topeng yang cocok untuk menampilkan imej ‘penulis wanita muda berbakat’ atau semacamnya.
Namun, yang membuatku tertegun adalah dirimu yang mengacungkan jarimu.
Tidak seperti delapan puluh delapan topeng lain yang sudah kudata dan bahkan kugunakan di dalam novelku. Kali ini wajahmu tampak begitu bersinar dan memancarkan aura kekanak-kanakan. Bagaikan tidak mengenakan topeng sama sekali.
“Pak, saya mengusulkan Irene yang mewakili sekolah kita,” kau berkata dengan lantang dan pasti.
Terkejut, aku membelalakan mata.
“Saya yakin dia punya talenta. Dia sudah menulis sepanjang saya mengenal dirinya, dan dia juga dapat menangkap dan memberikan sentuhan khas supaya karakter-karakternya hidup dan berdenyut di dalam karyanya.”
Aku masih membelalakan mata, kali ini posisiku setengah berdiri.
Pak Guru tampak menimbang-nimbang. Mungkin dia sedang berpikir siapa pula anak bernama Irene di kelas ini.
Aku menelan ludah ketika wajahmu berbalik ke arahku, masih tersenyum seterang cahaya surgawi dan gigi putih bersih seperti di iklan pasta gigi. Kau mengedipkan sebelah mata, dan mengangguk pelan untuk meyakinkanku.
Saat itu pula, aku tersadar.
Bukan cuma aku yang memperhatikan dan mengamati dirimu.
Kau juga melakukan hal yang sama, bahkan mungkin lebih saksama terhadap diriku.
Aku menatap malu ke arah lima lembar kertas yang berisikan delapan puluh delapan topeng berbeda yang sudah kudata dan kusiapkan untuk menjadi panduan dalam menuliskan karakter dirimu dalam novelku.
Aku merasa malu.
Kau melihat diriku menembus aura tebal yang menyelimutiku.
Menembus topengku, yang bahkan baru kusadari saat itu.
Topeng diriku yang selalu melandasi semua tindakanku sebagai sesuatu untuk menunjang karir menulisku.
Kita semua memiliki topeng. Topeng-topeng yang kita tunjukkan kepada masyarakat, kepada keluarga, kepada sahabat, dan kepada manusia yang terpantul di dalam cermin. Warna warni berkilau, atau mungkin justru tak berwarna. Semuanya beragam dan tidak dapat ditebak. Namun, seberapa banyak pun kau kira kau telah memiliki topeng, semua itu akan berbalik kepada dirimu.
Dirimu adalah bagaimana topeng-topengmu membentuk dirimu.
Sepulangnya aku dari sekolah, aku membakar catatan delapan puluh delapan topeng itu.
Aku siap ikut lomba menulis. Atau apapun.
bagi yang baca, tolong masukannya ya :) komentar kalian sangat membantu...
BalasHapus