Wajahnya indah.
Istriku itu.
Kulitnya sehalus sutra. Alisnya berbentuk seperti bulan sabit tipis. Bulu matanya lentik, kadang menghalangiku untuk memandang dalam-dalam sepasang mata dengan manik bersemburat cokelat tersebut. Bibirnya mungil, mengundangku untuk terus mengecupnya. Aku sedih melihat pipi tirusnya sekarang. Dia tidak sekurus ini dahulu. Walaupun begitu, aku tetap mencintainya sepenuh hati.
Ketika ia tersenyum, seolah semua beban yang kurasakan bisa lepas. Aku tak merasakan apapun kecuali kebahagiaan tiada tara. Ketika ia tertawa, suaranya seperti dentang lonceng yang merdu. Menggelitik telingaku, menggodaku untuk terus membuatnya tertawa. Walaupun kadang dia bermuram durja hanya karena cuaca, aku tetap mencintainya lahir dan batin.
Kupandangi wajah cantiknya sekarang dalam-dalam. Kusentuh permukaannya. Putih dan dingin, seperti salju. Bibirnya yang mungil kini membiru. Kuulurkan tanganku, menorehkan lipstik merahnya disana. Kubedaki wajahnya, kuberikan perona merah agar kedua pipi tirusnya terlihat merah seperti wajah cantiknya yang dahulu.
“Katanya Pak Roy masih menyimpan mayat istrinya.”
“Benar?”
“Rumornya diawetkan.”
“Mbok Minah cerita sih, yang diawetkan tuh kepalanya aja.”
Tetanggaku bergosip lagi. Mereka tidak tahu apa yang mereka katakan itu benar. Aku hanya tak rela kehilangan wajah istriku yang cantik jelita. Aku mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!