Oleh: Raisa Savitri (@nverfeel)
Bis kuning itu bising. Penuh suara anak-anak yang sikap kekanak-kanakan mereka menghentikan mereka dari mengerti definisi ‘tenang’. Andrea berjalan perlahan, berusaha sebisa mungkin menghindari kemungkinan bersosialisasi dan menempati tempat duduknya yang selalu kosong dalam diam—tak pernah ada yang ingin duduk di kursi ujung belakang yang joknya sudah bolong. Gadis itu duduk dan membuang pandangannya ke luar jendela.
Dan putaran statis waktu kembali berulang.
Bis itu mengantarkan mereka semua ke sekolah. Menjemput mereka semua lagi setelah makan siang dan kembali melewati rute yang sama, rumah-rumah yang sama dan mengantar anak-anak yang sama kembali pulang. Mengantarkan Andrea kembali ke rumah, melepaskan sepatu kets kuningnya dan menaruhnya di rak sepatu, mencuci tangannya dan naik ke kamarnya untuk mengerjakan PR.
PRANNNGG
Dan ini suara suamiku, melemparkan piring hadiah perkawinan kami ke lantai. Menjadikan benda itu serpihan hanya karena kembali memperdebatkan hal yang tak perlu diperdebatkan. Uang belanja lah, kerjaannya lah. Saling teriak dan menghujat. Begitu terus setiap hari.
Namun aku dan suamiku—walau tidak pernah sepakat sebelumnya—sepakat tidak akan melibatkan Andrea , anak tunggal kami pada ‘masalah orang dewasa’ ini. Kami tak pernah mengaku bahwa kami tak punya masalahan. Dan entah kenapa Andrea tidak pernah bertanya. Ia hanya bungkam ketika ayahnya dengan bengis melemparkan makan malam yang katanya tidak enak ke lantai. Mengambil kunci mobil dan membanting pintu. Mungkin pergi ke tempat selingkuhan barunya. Sedangkan Andrea tetap membisu. Ia menyelesaikan makan malamnya, mencuci tangan dan pergi tidur. Tak lupa memberikan kecupan selamat malam di pipiku. Andrea. Ia mungkin terlalu dewasa dan mencoba untuk tidak terlihat takut atau khawatir. Aku mendesah. Anakku sayang, anakku malang. Ia terlalu cepat untuk coba mengerti…
Malam telah larut dan suamiku tak juga kembali.
Aku mendesah. Mencoba bangkit dari sofa ruang tamu kami dan beranjak tidur. Mungkin suamiku sedang ‘bercengkrama’ dengan wanita barunya. Tidak patut kuperdulikan. Namun langkahku terhenti ketika mendengar suara bisik-bisik di balik pintu kamar Andrea. Suara seorang… berdebat?
“Lakukan saja, Ndre! Daripada capek-capek lagi!”
Tak dibalas, hanya terdengar suara tangisan.
“Ayo Ndre! Gitu aja kok takut! Abis ini kamu ga perlu ketemu Geng-nya Si Ella yang sok itu! Ga perlu dibilang Andrea Punya Mama Dua lagi! Ayo Ndre!”
Bingung. Kuputar kenop kamar Andrea pelan dan tampaklah dua orang gadis sedang meringkuk di sudut. Mereka sedang berpelukkan seakan berteman dekat. Terkejut, mereka berbalik dan menatapku. Sontak mataku nanar. D-dua Andrea? Tidak tidak… Tidak mungkin ada dua Andrea. Tapi yang satu Andrea, yang satunya juga Andrea. Aku mengenal piyama biru favoritnya itu. Tapi tak mungkin…
“Nah, Ndre. Mama ada tuh! Cepetan!” ujar Andrea satunya. Andrea yang lebih pucat kepada Andrea yang lebih coklat dan lebih murung. Aku membeku di tempatku berdiri, bingung. Andrea yang pucat mendekatiku dengan langkah riang dan memelukku perlahan. “Mamah, kata Andrea, ia ga mau ke sekolah sendirian lagi,” ujarnya santai sambil terus memelukku. Lama baru ia melepaskan pelukannya lalu melemparkan sebuah senyum sedih. Ia mundur dan mendudukkan dirinya di kursi meja belajar Andrea di sudut. Memberiku akses untuk melihat melihat apa yang terjadi Andrea yang murung tadi. Melihat sebuah benda berkilat di tangannya. C-cutter. Sebelum aku sempat berteriak, Andrea—anakku Andrea, telah mengiris pergelangan tangannya. Mengirisnya cepat, membasahi lantai dengan darahnya yang anyir. Dan ketika aku berbalik, Andrea pucat tadi tengah melambai dari tempat duduknya dan mulai menghilang perlahan-lahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!