oleh: @frahmadani
Malam ini adalah malam minggu. Turis lokal membanjiri FO-FO, dan Dago atas berubah jadi medan perang. Sungguh. Kalau invasi alien dilakukan malam minggu dan bertempat di Dago atas, mereka akan terbirit-birit kembali pada pemimpinnya. Manusia bumi ternyata sangat banyak jumlahnya, dan sangat ganas sifatnya jenderal! Begitu pikir Banu ketika memulai jogging melintasi Dago. Sebenarnya baru pertama kali ini Banu jogging bukan di Sabuga. Kebetulan tadi pagi (jadwal jogging rutinnya) dosen pembimbingnya meminta pertemuan mendadak, dan sejak sore tadi listrik di kosannya padam. Ketika sadar dari lamunan ia sudah ada di jalanan, dengan celana training, jaket lari, dan earphone di telinga. Sesungguhnya Banu merasa agak saltum, dikelilingi keluarga-keluarga dengan baju fashionable yang berjubelan hilir mudik keluar masuk FO.
Banu berkelit melewati beberapa remaja di trotoar. Setelah agak lengang, ia berhenti. Keringatnya bercucuran. Sebenarnya kurang tepat kalau ini dibilang jogging, pikirnya. Lebih mirip latihan salsa. Berkelit, berputar, menghindari orang-orang yang berjalan tanpa memerhatikan sekeliling, dibutakan oleh potongan harga. Ia menengok kanan-kiri, mencari jalanan yang lebih sepi.
***
Icha berdiri di pusat kebisingan. Panggung berjarak hanya tiga meter di depannya. Orang-orang menjepit di kanan kirinya, membuatnya waswas dan sesekali meraba saku memastikan dompetnya masih ada di sana.
"Hen, gw ke pinggir dulu ya!"
"Hah, apa??"
"Gw KE PINGGIR DULU! Pegel gw!"
"Apa Cha?? Iya band-nya si Uno bakal main dua lagu!"
Gemas, Icha mengeluarkan handphone dan mengetik 'Gw ke pinggir. Pegel. Lo nyusul aja ntar.' Disorongkannya ke muka Heni. Heni manggut-manggut. Icha beringsut menjauhi suara-suara bising, menepi, dua ratus meter di selatan Banu.
***
Banu menemukan bahwa jalanan di kirinya lebih sepi. Sepi sekali malah, dengan lampu jalanan yang mati-menyala beberapa detik sekali. Banu tidak pernah takut kegelapan, jadi ia berlari dengan mantap ke arah jalan itu, semakin lama semakin cepat.
Ketika berbelok, sudut matanya menangkap sosok yang berdiri di keramaian yang ditinggalnya. Ia melambatkan langkahnya untuk menengok sekali lagi. Sungguh tepat sekali perlambatannya. Karena kalau sedikiit saja lebih cepat..
BRAKKK!!
Banu tersentak ke belakang. Sebuah dahan pohon kecil roboh di depannya. Kecil, maksudnya kalau dibandingkan pohon pinggir jalan umumnya, lho ya. Dahan kecil ini bisa saja mematahkan beberapa tulang Banu seperti lidi. Banu sadar ia menahan napas, ia tersengal-sengal. Telinganya berdenging. Langkah-langkah kaki berderap dan sebuah tangan menariknya ke belakang.
"Mas, aduh gak apa-apa mas?? Ke pinggir dulu atuh.."
Tukang becak ternyata, bersama beberapa penjual makanan dan pedagang kios.
"Gak, nggak apa-apa. Pohon pak, roboh..", Banu tergagap.
Tukang becak itu tersenyum, prihatin. Ia maju dan menggoyang-goyang dahan pohon. Banu diam-diam pergi.
Doppelganger! teriaknya dalam hati. Banu berlari tepat ke keramaian. Sembilan puluh meter dari Icha.
***
Icha pusing. Ia kurang biasa di keramaian seperti ini. Minum lemon pasti enak, pikirnya. Dicarinya gerobak tukang minuman, agar bisa beristirahat sejenak. Sepanjang trotoar jalan itu kosong, maka Icha menyeberangi jalan dan berjalan sepanjang garis pembatas jalan. Di ujung sana pasti ada minimarket, pikir Icha.
Kepalanya agak pusing, tapi toh ia sudah minum obat tadi sore. Obat anti pusing dan turun panas. Oh, dan menyebabkan kantuk.
Icha meniti pembatas jalan. Sesekali melompat-lompat kecil. Iseng saja. Tapi sebentar saja kepalanya pusing lagi, maka ia berhenti.
***
Banu berlari, setengah marah setengah bingung. Ia sudah tersandung dua kali sejak tadi. Satu kali nyaris terperosok selokan, dan sekali benar-benar terperosok. Ia pernah mendengar tentang doppelganger. Tentu saja ia tidak benar-benar percaya. Banu mendengus. Nasib sial dari Hongkong! Ia menyeberang jalan dengan cepat. Seperti yang sudah-sudah, ujung kepalanya terlihat di kejauhan. Kali ini, dia menatap Banu dan tersenyum. Tersenyum dengan wajahnya, wajah Banu. Banu merinding.
Ia melesat sepanjang pembatas jalan, tangannya terkepal.
***
Icha menemukan yang ia cari. Minimarket 24 jam di seberang jalan. Bola matanya terasa berat, jadi diputuskannya untuk tidak membeli lemon dan membeli kopi saja. Tanpa gula. Icha tersenyum, ia merasa sedikit gagah. Dilangkahkannya kaki untuk menyeberang. Baru setengah jalan, handphone-nya berdering. Aduh, pasti Heni. Temannya itu paling panik kalau Icha menghilang, jadi dengan cepat dibukanya restleting tas tangannya. Handphone Icha mengenakan bungkus dari karet, sehingga secara teori tidak licin, tetapi tetap saja saat itu handphone-nya tergelincir dari ujung jarinya, dan terlontar ke jalanan.
***
Mata Banu menyipit. Doppelganger-nya terjebak dalam kerumunan padat di depannya. Sekilas ia bisa melihat celana trainingnya sendiri dan kupingnya yang disumpal earphone dari sela-sela kerumunan. Ketika ia berlari mendekat, kerumunan orang di sekitarnya perlahan menyebar. Tapi sang doppelganger tidak menjauh. Malah, ia berputar menghadap ke arahnya.
Sedari tadi tengkuk Banu tidak berhenti merinding, tapi ia terus berlari maju. Kerumunan menghilang.
Di hadapannya adalah sang doppelganger. Ia membalas tatapan Banu, lalu tersenyum. Dan menghilang.
Banu melongo. Tapi tidak lama. Di balik sang doppelganger, pemandangan yang tadi terhalang olehnya, seorang gadis melompat meraih handphone, tidak memerhatikan motor yang melaju kencang ke arahnya. Banu terkesiap. Ia melompat.
***
Sang doppelganger berdiri tidak jauh dari situ. Memerhatikan dua anak muda berangkulan tertatih-tatih ke pinggir jalan. Diperhatikannya saat mereka duduk berdua, tertawa gugup dan saling bertanya nama. Ia tersenyum penuh kepuasan. Akhirnya, batinnya. Sukses pertama! Sang doppelganger tidak sabar kembali kepada pemimpinnya, mengabarkan keberhasilan yang akhirnya tiba setelah sekian lama. Tidak akan ada lagi cemoohan dari rekan-rekannya karena misinya yang sedikit, ehm, di luar perhitungan, dan berbuah, yah, beberapa kematian. Hasil kerjanya saat ini sangat rapi. Mulai dari dosen, listrik, pohon, sampai motor. Direncanakan dengan matang. Kesuksesan yang luarbiasa sehingga tentunya semua kematian-kematian terdahulu bisa diabaikan, pikirnya gembira. Sang doppelganger tertawa riang. Ia menghilang, melesat untuk membanggakan prestasinya.
Kata orang, doppelganger adalah pertanda kesialan dan kematian. Ah, sebenarnya bukan kok. Dia hanya ingin membagi kebahagiaan. Walau kadang agak ceroboh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!