Oleh Fitrani Puspitasari (@sarirotibergizi)
“Konyol, kan mereka?”
Kubalik-balikkan lembaran kusut yang sama dari novel yang tengah kubaca, mataku memandang jemu pada paragraf padat yang itu-itu saja. Jemariku bergerak cepat di ruang kosong antara halaman demi halaman seakan hanya merupakan aplikasi suatu gerakan rutin yang tidak sungguh-sungguh menyita perhatianku. Pikiranku tidak terletak pada timbunan aksara dalam buku ini. Pikiranku berusaha keras mengacuhkan dengus tawa mengejek yang terdengar dari atasku. Kurasa percuma kepura-puraanku membaca untuk mengalihkan perhatianku darinya, karena berikutnya dia sudah bicara lagi, tak terganggu dengan fakta bahwa aku belum menjawab pertanyaannya yang tadi.
“Mereka selalu membesar-besarkan masalah, orang dewasa. Dan mereka bilang, anak kecil tukang ribut.”
Dia terus bicara, banyak mengkritik, sambil mengayun-ayunkan kakinya dari atas pohon yang tumbuh di halaman ini. Bahu dan punggungnya bersandar santai ke batang yang kokoh, namun matanya awas dan lincah bergerak, mencela satu per satu kejadian di bawah sana dengan sorot mata angkuh layaknya tuan muda cilik. Walau memang benar. Jarinya menunjuk-nunjuk ke beberapa pelayan yang nampak ribut berlari memenuhi panggilan orang-orang dewasa yang berkuasa. Bibirnya mencibir dan suaranya terdengar lagi dari atas pohon,
“Jean, harusnya kau lihat juga! Bayangkan, minggu lalu mereka menghukum kita karena menurut mereka, kita ribut, dan sekarang—”
“TUAN EVAN!”
Aku berjengit kaget. Menghentikan gerakan membalik-balik halaman bukuku dan mencuri-curi pandang ke balik pohon. Di belakang sana, seorang pelayan yang berdiri di beranda lantai dua menudingkan jarinya pada Evan yang bertengger nyaman di atas dahan besar dengan kengerian yang kentara. “Tuan Evan! Turun dari pohon itu! Berbahaya!” teriaknya dengan suara yang terdengar lelah.
“Biarkan aku disini, Annie,” Evan mengibaskan tangannya dengan gusar, “kau urusi ribut-ribut ini.”
“Tapi, Tuan Evan!” Annie, pelayan itu, berseru lagi. Aku memandangnya sambil tetap pada posisiku bersimpuh di balik pohon, sesekali aku mendongak dan melihat Evan melempar pandangan sebal kepadaku dan Annie secara bergantian, seakan-akan, salahku lah maka ia ketahuan sedang ada di atas sana.
Aku memandang anak laki-laki itu dengan tidak suka.
“Diam kau,” Evan mencetus pedas pada Annie, kali ini ia terdengar serius. “Lupakan kalau kau melihatku disini, sekarang pergi, urusi cucian atau bersihkan rumah!”
Annie meneguk ludah dan memandang Evan dengan gugup. Di belakangnya, tuan dan nyonya rumah berteriak memanggilnya, menyuruh perempuan muda itu untuk memanggil dokter. Dengan segera Annie membalikkan badannya dan berlari masuk ke dalam rumah lagi.
“Kenapa mereka butuh dokter?” Evan mencondongkan badannya, bergumam dengan suara rendah hingga hanya aku yang bisa mendengarnya. Tanpa suara aku mengangkat bahu dan menunduk kembali pada novelku, berusaha berkonsentrasi lebih jauh dan tidak mengindahkan kericuhan di dalam rumah. Evan menyadari minimnya keingintahuanku dan mendengus tertawa dengan keras.
“Jean, sepupuku yang rajin! Menurutmu buku gendut itu lebih menarik daripada kehebohan entah apa di dalam rumah, ya?”
Aku tidak menjawab.
“Usiamu sama sepertiku, tiga belas, tapi kau bertingkah seperti guru-guru di sekolah, membawa dan membaca buku kapanpun, dimanapun.” Evan meneruskan ejekannya tanpa memperhatikan bahwa aku bahkan sebenarnya tidak mendengarkannya.
“Lihat nanti kalau usiamu dua puluh, mungkin kacamatamu sudah setebal pantat gelas!”
Dia anak yang bermulut kasar, ya?
Aku membuka mulut, pada akhirnya berniat menjawab. Namun teriakan lantang dari Annie menghentikanku dan menarik perhatian Evan dariku. Kami berdua menoleh pada gadis pelayan yang kini tergopoh-gopoh keluar dari rumah dan menghampiri pohon tempat Evan dan aku berada.
“Tuan Evan!” Wajah perempuan itu pucat. Aku menatapnya dingin, tanpa emosi. Namun kuangkat tubuhku untuk bangkit dari posisiku bersimpuh di balik pohon.
“Hah. Annie.” Evan menggerutu dan bersiap turun. Dalam pikirannya, pastilah Annie sudah mengadu pada ayah-ibunya dan mereka memerintahkan Annie untuk memaksa Evan turun. Annie semakin dekat dan kini ia berseru ketakutan pada Evan, “Kenapa Tuan ada di atas sana!?”
Aku membesarkan mataku, memandang Annie yang semakin jelas terlihat begitu ia berhenti cukup dekat, dari balik pohon. Evan juga memandangnya, namun kali ini ia tidak bicara apa-apa.
“Tuan, sudah dengar bahwa—“
“Tunggu! Aku turun!” Evan bangkit, wajahnya agak berubah dan kini ia tidak lagi bersikeras untuk tetap di atas sana. Buru-buru ia merambat turun dan begitu kakinya menjejak tanah, ia bergerak secepat kilat menghampiri Annie yang masih mengatur nafas.
“Muncul, lagi, Tuan. Muncul.” Wajah Annie semakin pucat dan Evan kini menatapnya serius. “Apa maksudmu!?”
“Sekarang, seperti biasa, dia sedang pingsan lagi di kamar...”
“Tapi...” Evan membuka mulut tapi tak ada kata-kata yang keluar.
“Sekarang, tuan dan nyonya menyuruh Tuan Evan masuk ke dalam, temui Nona Jean karena dia terus-terusan memanggil Tuan Evan...”
Sekarang, wajah Evan betul-betul pucat.
Annie, tanpa menyadari perubahan air muka tuan mudanya, membalikkan badan untuk kembali ke dalam rumah dan menemui dokter keluarga yang baru saja sampai untuk memeriksa nona mereka. Dan Evan, membalikkan badannya ke arah pohon yang baru saja dinaikinya dengan wajah pias. Kesombongan yang sejak tadi menghias mukanya luntur semua. Matanya bergerak-gerak liar, mencari-cari.
Mencari siapa? Entahlah. Aku sudah tidak ada disana ketika ia membalikkan badannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!