Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Lukisan hitam tergambar jelas di dinding kayu ruangan itu. Perlahan bergerak ke kiri kemudian ke kanan tak berirama. Kadang pelan kadang cepat. Aku terdiam sambil tersenyum kecil melirik lukisan itu. Kuhembuskan nafasku pelan, lukisan itu bergoyang pelan. Aku terus mempermainkan lukisan itu dengan hembusan nafasku. Sampai akhirnya, aku merasa bosan dengan permainan yang kuciptakan sendiri malam itu saat ujung hidungku menghitam. Indera penglihatanku sepertinya tidak mau lagi diajak bermain-main. Kelopak matakupun menyempit bersamaan dengan munculnya lukisan-lukisan hitam kecil lainnya di dinding kayu ruangan tamu itu. Semakin lama lukisan itu semakin jelas tergambar dalam raut muka lengkap dengan anatomi tubuh lima sosok raga kecil.
Lima sosok raga kecil itu tengah duduk di sebuah ruangan berdinding papan. Ruang tamu rumahku yang selalu kami pakai untuk belajar kelompok tiap malamnya. Tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka memilih belajar kelompok di rumahku. Mungkin karena saat itu aku selalu jadi juara kelas, sehingga teman-temanku selalu mengandalkan aku.
Raga-raga mungil itu serius menatap lembaran-lembaran pekerjaan yang terserak di atas sebuah meja kayu usang. Dengan bantuan sinar lampu teplok kami menatap lekat-lekat Lembar Kegiatan Siswa Mata Pelajaran IPA yang beberapa diantaranya sudah tidak ada sampulnya. Maklum belum ada listrik. Lima orang anak berusia sekitar dua belas tahun dan duduk di kelas 6 SD, salah satunya adalah aku, tengah berdiskusi tentang Ciri-ciri Makhluk Hidup. Diskusi hangat berlangsung diselingi tawa khas anak kecil. Tawa anak-anak yang selalu kompak dalam berbagai hal, terutama dalam belajar kelompok. Kami, yang terdiri dari aku, Doni, Toni, Yanto, Marni dan Lestari adalah anggota kelompok belajar yang selalu berusaha membiasakan diri untuk bisa belajar bersama-sama. Terlebih mendekati Ebtanas.
"Don, soal nomor 20 ini jawabannya apa?" tanya Yanto temanku yang terkenal jago Matematika mengagetkanku yang tengah asyik mengerjakan soal terakhir, nomor 30.
"Kalau menurut teman-teman yang lain jawabannya apa?" jawabku sambil mengalihkan pandanganku ke nomor 20.
Itulah aku, meskipun aku sudah tahu jawabannya tetapi aku selalu memberi kesempatan kepada teman yang lain untuk menyampaikan pendapatnya. Mungkin hal itu adalah alasan mereka sehingga memilihku menjadi ketua kelompok.
"Kalau menurut aku sih A, tapi nggak tahu benar atau salah," jawab Toni yang duduk di sebelahku sambil tertawa kecil.
"Manurut kamu apa Marni?" tanyaku pada Marni yang duduk di depanku.
"Hehe. Aku baru sampai nomor 18," jawab Marni terkekeh sambil berusaha membaca kembali soal nomor 20.
"Kalau jawabanku sih A, sama kayak jawaban Toni," jawab Lestari dengan percaya diri.
"Nggak ada yang nanya woi," kata Toni meledek Lestari.
Kontan saja tawa kami memenuhi ruangan itu. Sementara Lestari hanya senyum tersipu. Dia sudah merasa biasa dengan ledekan kami, sehingga dia menanggapinya dengan biasa juga.
"Baiklah teman-teman, kalau menurut aku sih jawabannya adalah B," jawabku pasti dengan memberikan argumen yang tepat.
Mereka berempat terdiam sambil memperhatikan soal nomor 20. Mereka seperti tengah berusaha menemukan kebenaran atas pendapatku. Suasana tiba-tiba menjadi sepi, hanya terdengar suara angin yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding kayu. Angin yang membuat bayangan di dinding bergoyang seirama gerakan lampu teplok. Nyanyian katak yang memecah malam seperti tak mampu memecahkan kebuntuan kami yang masih juga terdiam. Tak lama kemudian, suara-suara kami kembali memenuhi ruangan itu.
"Saya setuju dengan jawaban Doni," kata Yanto sambil menuliskan huruf B di kertas jawabannya.
"Saya juga," kata Lestari tak mau kalah.
"Halah dasar kamu Tari bisanya ikut-ikutan saja," kata Toni kembali meledek Lestari.
Akhirnya kamipun sepakat kalau jawaban soal nomor 20 adalah B, sesuai jawabanku. Kesepakatan kecil malam itu mengantarkan kami untuk menyelesaikan soal-soal selanjutnya. Yanto tampak gelisah dalam menjawab soal-soal IPA itu, baginya lebih baik mengerjakan 100 soal Matematika daripada 10 soal IPA. Sementara Toni, jagonya pelajaran bahasa Jawa tampak serius, meskipun kadang-kadang tampak ragu dengan jawabannya. Marni dan Lestari tak jauh beda. Keduanya juga serius menuliskan jawaban pada kertas bergaris yang ada di hadapan masing-masing. Aku tersenyum menyaksikan ekspresi sahabat-sahabat terbaikku itu.
Aku yang telah menyelesaikan soal IPA itu menghela nafas sejenak sambil menunggu mereka selesai mengerjakan soal-soal itu. Setelah selesai kami segera mencocokkan hasil jawaban dan membahasnya. Dan lagi-lagi aku menjadi kunci jawaban bagi mereka. Dengan yakin mereka mengganti jawaban yang tidak sesuai dengan jawabanku. Aku tersenyum bangga, karena mereka selalu percaya kalau jawabanku benar dan mereka selalu menganggap aku pahlawan kecilnya di saat mereka terdesak. Padahal sebenarnya ada beberapa jawaban yang aku sendiri tidak yakin akan kebenarannya. Untuk menyiasatinya, kami memberi tanda khusus untuk ditanyakan kepada guru kelas kami, pak Karwaji.
Di luar malam masih juga gulita. Tanahpun masih basah sisa hujan sore tadi saat mereka pamit untuk pulang. Aku terdiam di depan pintu melepas kepergian mereka ke rumah masing-masing dalam sebuah janji untuk berkumpul kembali besok malamnya. Aku segera masuk ke dalam rumah. Kulihat lampu teplok yang ada di atas bangku kayu itu berubah menjadi lampu neon yang menyilaukan.
Cahaya silau itu memaksaku untuk membuka kelopak mataku. Kulihat sekelilingku lukisan hitam raga-raga kecil itu, teman-teman masa kecilku, 20 tahun lalu, telah lenyap dari dinding kayu. Yang ada tinggallah lukisan hitam ragaku. Aku menghela nafas dalam senyum.
"Ah ternyata sudah nyala listriknya," bisikku dalam hati.
Aku bergegas bangun dari lamunan dan meniup lampu teplok yang ada di depanku. Nyala lampu itu padam bersama kenangan masa kecilku. Aku segera melangkah gontai ke kamar mandi untuk segera mencuci muka, mengingat malam ini masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.
Aku segera mencolokkan charger laptopku dan menyalakannya. Kuambil sebuah buku paket siswa dan mulai menyalin beberapa bagian di dalamnya. Kuketikkan deretan kalimat pada keyboard laptop itu. Jari-jariku menari lincah diatas deretan abjad pada laptop yang aku beli minggu kemarin saat ulang tahunku yang ke-30. Aku segera menyelesaikan tugasku malam itu untuk bahan besok. Tak lama kemudian tugasku menyusun Lembar Kerja Siswa Mata Pelajaran IPA Materi Ciri-ciri Makhluk Hidup-pun usai. Aku merapikan print out Lembar Kerja Siswa itu dan perlengkapan mengajar lainnya ke dalam tas kerjaku. Akupun mengakhiri sebagian rutinitasku malam itu sebagai seorang guru, seperti cita-citaku dulu. Kini aku bukan lagi pahlawan kecil bagi teman-temanku tapi aku telah menjelma menjadi pahlawan bagi si kecil dan teman-temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!