Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 14 April 2011

Tangan Tuhan

oleh: Anya Yuthika (@anyayuthika)



Dengan menangis aku masuk ke mobil. Sedikit diseret kakakku, sebetulnya. Tipikal film-film yang laris di pasaran, juga deskripsi novel-novel yang menyentuh jiwa, langit sore itu pun menangis. Sedih. Seperti aku sekarang.

Brak! Kakakku menutup pintu mobilnya. Aku tahu ia pasti marah. Ya, aku tahu, dengan keadaan yang seperti ini; anggota keluarga yang tidak lengkap dan uang seadanya.. wajar kalau ia ingin sekali mendominasi kehidupanku sesuai dengan yang bisa ia lakukan untukku. Aku pernah berkali-kali belajar untuk ikhlas. Namun ternyata tidak bisa. Maka dari itu aku menyimpulkan bahwa keinginan, kemampuan, dan determinasi tinggi terhadap sesuatu bukanlah sesuatu yang harus diikhlaskan--melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan agar menjadi kenyataan.
"Apa aku bilang!" kakakku memulai ceramah panjangnya. "Mustahil untuk kamu jadi dokter, Ran! Coba berkaca di cermin, siapa kamu?! Darimana kamu bisa makan setiap harinya? Darimana kamu bisa hidup selayak ini?"

Aku hanya diam. Masih menangis. Menangisi kakakku yang menyerah terhadap hidup. Kak, apakah Kakak tidak bisa mencoba untuk percaya? Akan esensi berusaha? Akan arti sebuah cita-cita? Akan Tuhan?
"Itu aku, Ran! Aku yang tahu kemampuan kamu! Uang kita sedikit, kamu tidak bisa sekolah kedokteran. Sudahlah, kamu lulus SMA saja sudah cukup. Kamu diam saja di rumah, sama Mbak Yura, toh dia juga baik sama kamu. Kamu jualan sajalah sama dia. Yang kerja ke kantor itu cukup aku!"

Ingin sekali aku membantah. Entah kenapa setiap perkataan kakakku itu seperti penuh dengan kebohongan. Kak, pernahkah Kakak berharap dan berdoa?

Aku berharap dan berdoa banyak. Tahun lalu aku bertemu dengan seorang ibu setengah baya. Ibu Harman, namanya. Bertahun-tahun ia menikah dan tidak dikaruniai anak. Seperti air mengalir ibu setengah baya tersebut menawarkan kepadaku, kalau-kalau aku ingin masuk ke sekolah kedokteran. Mereka akan menyanggupi biayanya untukku. Ah, rezeki memang datang darimana saja, bukan? Susah payah aku mendapatkan persetujuan dari kakakku waktu itu. Ia bersikeras agar aku bersekolah saja dengan uang yang bisa ia hasilkan setiap bulannya. Tapi mengapa kita harus menolak rezeki jika Tuhan sudah memberikannya kepada kita?

"Apa aku bilang, si ibu tua itu hanya ingin menyenangkan kamu sesaat saja! Lihat sekarang, setelah suaminya meninggal! Memangnya dia ingat sama kamu? Jadinya terbengkalai tuh semua yang harus ia bayar untuk sekolah kedokteranmu. Sudahlah, Ran, jangan nangis terus. Kamu sih ga percaya aku dari dulu!"

Aku melotot marah pada kakakku. Mengapa ada orang yang sengotot dia?

"Namanya bukan Ibu Tua dan dia tidak melupakan kewajibannya untuk membayar sekolahku! Kakak ga dengar ya penjelasan dia tadi?! Ada masalah dengan gaji yang biasa dikirim instansi untuk suaminya sejak suaminya meninggal dua bulan lalu. Hanya sedang diurus saja, nanti pun dia akan terima gaji lagi. Bukannya dia ingin agar aku berhenti sekolah kedokteran!"

Kakakku menekan gas. Mobil melaju entah berapa kali lebih ngebut daripada sebelumnya. Ia marah. Dan aku senang ia marah. Aku sudah muak berada di bawah dominasi keputus-asaannya.

"Seharusnya Kakak ga jemput aku. Aku masih mau sekolah kedokteran!" aku membentak Kakakku. Murkaku sudah di puncak. Tangisku sudah surut.

"Oh gitu? Jadi kamu lebih percaya ibu tua yang ga punya hubungan darah apapun dibanding kakakmu ini?!! Hahahahahaha! Raaan, Ran.. sampai kapanpun orang seperti kamu--seperti kita, ga akan bisa jadi dokter! Mau pake uang Ibu Harman, mau pake uang presiden sekali pun! Coba kamu pikir!! Jangan menginginkan yang mustahil!"

Mobil masih melaju, namun sekarang memelan. Aku diam, tidak mau lagi menanggapi kakakku. Hujan mulai mereda. Hanya masih ada rintik-rintik, aku bisa melihatnya membasahi kaca mobil pelan-pelan.

Oke, aku biarkan Kakak menang. Untuk ke sekian kalinya.

"Nah, sekarang kamu percaya aku kan, Ran? Kamu percaya sama Kakak, kan?"

Tidak, Kak. Aku percaya Tuhan. Tangan Tuhan yang akan menjadikan aku sebagai dokter. Bukan Kakak

2 komentar:

  1. ini seperti penggalan cerita, seperti satu scene dalam sebuah film panjang. tapi suka bgt! diceritakan dengan kata- kata wajar yang asik dibaca. well done. :)

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!