oleh: @meiizt
“Papa, aku tak peduli orang mau berkata apa tentang papa. Mereka mengatakan ini, itu, papa begini, papa begitu, biarkan saja. Aku tak terusik dengan pendapat-pendapat konyol mereka tentang papa. Yang tahu semua tentang papa hanya aku. Orang lain hanya melihat kondisi papa dari luar saja. Aku tak peduli, aku benar kan, pa?”
Papa tersenyum.
“Papa, aku ingin papa tahu kalau aku selalu percaya sama papa. Meskipun papa sering tidak menepati janji papa, tapi aku tetap sayang dan percaya pada papa. Seperti empat bulan lalu, ketika aku meminta es krim dan kita janjian di tempat favorit kita sejak dulu. Sore itu aku sudah menunggu selama tiga jam, tapi aku tak pernah mengeluh menunggu papa. Aku sudah memesan banana split kesukaan papa agar nanti papa tak perlu menunggu pesanan lama-lama. Aku tak menyentuh es krim itu sedikitpun. Es krimku juga belum kusentuh, aku mau memakannya bersama papa. Tapi sampai malam datang, sampai mama menjemputku dan memarahiku sepanjang jalan pulang, papa tak pernah datang. Es krim yang cantik itu sudah tak berbentuk lagi, pa. Tapi tak apa, aku tetap percaya pada papa.”
Papa tersenyum.
“Begitu juga dua bulan lalu, saat ulang tahun Frans, tetangga kita. Setiap tahun kita selalu bermain bersama di pantai merayakan ulang tahunnya. Aku sudah menyiapkan semuanya, pa. Baju gantiku, baju ganti papa, kado untuk Frans, aku sudah membungkusnya dengan rapi. Aku benar-benar tak sabar menunggu esok tiba. Kita akan liburan bersama, pa. Tapi esoknya, saat akan berangkat, papa tak kunjung muncul juga. Entah apakah papa sakit perut dan tertahan di kamar mandi atau belum bangun? Yang jelas saat aku meminta mereka member waktu sedikit saja menunggu papa, mereka malah menjauh dan berangkat tanpa kita. Mereka meninggalkan kita, pa. Betapa sakit hatiku, Frans dan keluarganya sekarang jadi jahat. Aku pun berlari-lari dan berteriak di belakang mobil mereka, meminta mereka menunggu sebentar saja. Tapi mama lalu menghentikanku dan menyeretku masuk ke dalam rumah, sambil menjewer kupingku. Ah, tak ikut mereka pun tak apa-apa. Aku masih bisa menghabiskan waktu menyenangkan di rumah bersama papa, iya kan pa?”
Papa tersenyum.
“Papa lagi-lagi tak menepati janji, tapi aku tetap percaya sama papa kok. Satu bulan yang lalu ada pentas seni di sekolahku. Tapi akhir-akhir ini aku sudah tidak pergi ke sekolah, mama melarangku pergi. Padahal, setiap tahun aku selalu menyanyi di acara sekolah itu. Suaraku yang bagus ini tentu saja warisan dari papa. Aku tak peduli, aku ingin menyanyi disana. Semua teman-teman dan guruku pasti sudah menungguku. Mereka pasti mengharapkan aku akan menyanyi dan menghibur mereka. Dan aku ingin papa menyaksikanku menyanyi, jadi sebelum kabur ke sekolah, aku menyelipkan kertas pesan di bawah pintu kamar papa. Kita akan bertemu di lapangan sekolah ya, pa. Aku akan menunggu papa di bawah pohon mangga yang paling besar. Saat mama berbelanja ke pasar, aku segera menyelinap lewat jendela. Dan, hop! Aku berhasil melompat keluar. Papa pasti bangga padaku, karena aku bisa melarikan diri dari kekangan mama, hehehe. Di sekolah sangat ramai lho pa, dan aku menunggu papa di abwah pohon sambil menyanyi keras-keras. Karena aku menunggu papa, aku tidak bisa tampil di panggung. Tapi tak apa, aku masih bisa menyanyi disini. Belum lama aku menunggu, tiba-tiba mama datang. Mama lalu menggendongku pulang, padahal aku sudah menangis menolak pulang. Papa belum datang, aku meu menunggu papa. Tapi mama tak pernah mau mengerti. Mama jahat ya, pa? Tapi biarlah, aku hanya sayang pada papa.”
Papa tersenyum.
“Pa, kemarin adalah ulang tahunku. Tapi, entah kenapa aku tak ada di rumah. Aku sedang duduk di suatu tempat entah dimana, di atas ranjang putih di dalam ruangan serba putih. Di depanku ada seorang laki-laki tua botak yang berkacamata, dan dia tersenyum memandangku. Aku tak berani menatapnya lama-lama, aku membuang muka saja. Dia berbicara, banyak bicara, tapi aku tak mendengarkan. Aku tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku ingat papa selalu bilang, aku tak boleh bicara dengan orang asing kan, pa? Jadi, aku acuhkan saja laki-laki tua botak ini. Oh ya pa, kemarin papa tak menepati janji papa lagi. waktu umurku delapan tahun, papa berjanji akan membuatkanku kue cokelat setiap hari ulang tahunku. Kue cokelat yang besar, dengan boneka dari gula-gula di atasnya. Lalu ada namaku, ada lilin warna-warni, dan ada senyuman papa. Lalu papa akan menyanyikan lagu selamat ulang tahun padaku dengan suara papa yang merdu. Kemudian kita sama-sama memakan kue itu, hari itu selalu special karena papa menyuapiku kue sampai habis. Ah, kenyang sekali rasany. Aku sangat suka kue buatan papa. Tapi kenapa kemarin papa tak datang? Ada kue cokelat dari mama kemarin, tapi tak seenak buatan papa. Tapi aku percaya papa akan datang, kalau tidak kemarin, pasti hari ini. Aku percaya itu. Dan aku akan selalu menunggu papa untuk datang.”
Papa tersenyum.
***
“Bagaimana kondisi anak saya, dok?” seorang ibu muda sedang berbicara dengan dokter di luar sebuah ruangan berjendela kaca besar itu. Di dalam ruangan itu ada seorang anak perempuan berumur 12 tahun yang sedang memegang foto seorang lelaki yang sedang tersenyum.
“Belum ada perkembangan berarti, bu. Kalila setiap hari selalu berbicara dengan foto ayahnya, dan dia bahkan tak mempedulikan kami. tapi kami harap Ibu tak patah semangat, kami akan terus berusaha memberikan terapi untuk menyembuhkan Kalila.”
“Iya dok, saya sangat mengharapkan bantuag dokter,” Ibu muda itu mulai terisak. Dengan tatapan nanar ia memandang anaknya di dalam ruangan itu, air matanya bercucuran tanpa henti.
“Kalila… kalila… papamu sudah meninggal, nak….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!