oleh: Ceria Firanthy Sakinah (@ceriafs)
“Apa aku jahat?”
“Tidak.”
“Apa aku terlihat jelek sekarang?”
“Tidak.”
Itulah yang kusuka darinya. Dia, sekalipun tak pernah kudengar dari mulutnya; menjatuhkanku, menyalahkanku, berpikiran buruk tentang aku. Dia selalu mengatakan hal yang baik, masukan tanpa emosi yang bisa otak tumpulku mengerti. Dia melihatku tidak hanya dari satu ujung garis seperti orang lain yang mengatakan kalau aku ini pelacur, perempuan hina atau apapun namanya itu. Bahkan ketika diriku sendiri bilang kalau aku ini manusia rendahan yang sama sekali tak memiliki budi luhur. Dia tidak begitu, karena dia selalu bisa menarikku dari semua benang kusut yang sebenarnya walaupun kau ulur satu-satu takkan mampu.
Dia bukan siapa-siapa, bukan keluarga apalagi pacarku—laipula mana mau aku. Dia awalnya hanya orang asing yang kukenal sekilas, tapi entah kenapa bisa begitu perhatian atas Hemofilia pura-pura yang kuakui waktu kami berkenalan. Tolol, berkali kubilang aku hanya bercanda, tapi ia baru percaya ketika hampir tiga bulan kami entah bagaimana akhirnya dekat. Dan selama itu pula dia terus bilang jangan lupa makan, jangan lupa minum obat, bah, aku tidak tahu bagaimana kerja otaknya.
Tapi jangan salah, dia tidak idiot, dia tampan, badannya tegap, ototnya penuh hasil dari coba-coba ikut pencinta alam. Dan aku tahu gadis-gadis diluar sana bersedia adu panco demi kencan semalam dengannya. Dan aku, entah sedang beruntung atau apa, hanya bermodal kisah hampir diperkosa dan ditusuk garpu makan, sukses membuatnya selalu ada dimanapun kubutuhkan. Ketika aku tinggi, ketika aku takut, ketika aku jatuh, dan ketika aku pulang sempoyongan habis dari klub malam.
Dia selalu mengajarkan aku hal-hal ajaib yang sebenarnya aku sendiri tak yakin perlu. Salah satunya, dia pernah mengajarkanku bagaimana menghisap asap rokok supaya langsung masuk dan menyesap di paru-paru. Bilang tak yakin, tapi akupun sama tololnya karena manut.
Dia itu seperti tiang dan aku membelotnya dengan menjadi kabel-kabel yang melintang tak tentu arah dan pembawa masalah. Ketika salah satu pacarku berselingkuh, dia menghajarnya tanpa ampun tapi kemudian lagi-lagi dengan tololnya aku malah memukulnya dengan meraung-raung sambil mengatakan kenapa menghajar pacarku, ketika hutang karena judiku menumpuk, percaya tidak percaya memang dia yang menyelesaikannya dengan mengorbankan seluruh uang bulanannya hanya untukku, ketika aku memutuskan hubungan dengan pacarku yang tak berduit dan dengan menjijikannya menawarkan aku makanan seharga sepuluh ribu, bukan kelasku tapi toh akhirnya aku merasa bersalah juga, merasa mata duitan dan dengan polosnya bertanya apa aku salah, pada dia yang selalu ada itu. Tentu saja dia menjawab ‘tidak’.
Pernah suatu waktu aku bertanya mengapa ia selalu menjawab begitu, dia bilang dia percaya padaku, selalu percaya padaku. Dia bilang aku hanya tidak tahu bagaimana caranya menjalani hidup. Tapi dia selalu percaya padaku, selalu mendukungku, menambah semangatku, melonjakkan kepercayaan diriku ketika perutku mulai turun. Dia bilang, aku ini adiknya. Dia percaya nantinya aku bisa hidup seribu kali lebih baik, satu hal yang tak kumengerti: dia percaya aku baik hati.
Dia tak pernah marah padaku, tapi aku sering marah padanya. Aku marah karena dia telat menjemputku, aku marah karena teleponku lama baru diangkatnya, aku marah jika dia punya pacar padahal aku sendiri bisa tiap malam berganti pasangan. Aku selalu meninggalkannya, tapi kuingat hanya sekali dia meninggalkan aku ketika pacarnya masuk rumah sakit dan dia berlari meninggalkan aku termangu didepan pagar rumah sendirian. Karena hal itu saja aku marah besar padanya, padahal selain itu dia tak pernah meninggalkan aku sendirian.
Termasuk ketika ternyata aku hamil satu bulan. Kubilang padanya, dia hanya diam. Hanya bertanya siapa, akan meminta pertanggung jawabannya. Kubilang tak usah. Dia diam, memandangiku dengan raut wajahnya yang kusam. Lama, akhirnya dia bilang dia yang akan bertanggung jawab, menikahiku, memberikan nama untuk jabang bayi diperutku kelak. Kubilang tak perlu. Matanya sendu, aku tahu dia sangat kecewa padaku. Dia bertanya apa aku
berencana menggugurkan, lalu sedetik kemudian dia bilang jangan, dia percaya aku akan bisa menguruskan. Kubilang tak akan kugugurkan. Aku tahu matanya memerah.
**
Sepuluh tahun sejak aku terakhir kali melihat air matanya terjatuh. Aku sudah pergi, hari itu kuputuskan untuk berhenti membuatnya lelah atas sikap-sikapku. Akhirnya memang aku yang terus meninggalkannya, meninggalkan orang yang selalu percaya padaku, selalu membelaku, selalu ada disampingku. Tapi aku tak terlalu lama berduka, aku tahu dia akan lebih baik begitu.
Hari ini anakku berumur sembilan tahun. Kukirimkan fotonya yang lucu, dan secarik surat pendek ke alamat tempat tinggalnya dulu:
Foto anakku, namanya Daffa, namanya sama denganmu. Dia sudah sembilan tahun. Aku selalu menceritakan tentangmu padanya, dia suka padamu. Doakan dia selalu sehat ya J
Nb: Kau ingat dulu aku ingin mengatakan sesuatu saat kau ulang tahun, tapi tidak kesampaian? Aku mau bilang, I love you. Terimakasih karena selalu percaya padaku. Aku akan hidup seribu kali lebih baik dari dulu.
Salam sayang,
Jingga.
Entah sampai atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!