Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 14 April 2011

Bunda, Aku sudah 21 tahun

oleh: @lymirza

http://lylikemuzics.blogspot.com

Kepercayaan orangtua adalah segala-galanya bagiku. Karena itulah, aku selalu berusaha menjaganya. Menghindari tempat-tempat yang mereka larang untuk didatangi, juga menghindari kegiatan yang mereka anggap tidak penting.

Tapi, apakah kepercayaan selalu berarti melarang melakukan sesuatu?

Aku selalu diinterogasi berlebihan saat bilang akan pergi. Mau kemana? Sama siapa? Pulang jam berapa? Lalu ponselku akan bordering di saat tengah bergurau dengan teman-teman. Ya, telpon dari Bunda. Oh, aku merasa seperti anak sekolah dasar.

Aku tak boleh keluar malam. Padahal, ada banyak hal di luar sana yang sangat mengasyikkan untuk dilakukan di malam hari. “Kamu kan perempuan. Masa keluar malam sih. Kayak perempuan nggak bener aja,” begitu kata Bunda.

Ya, Bunda benar. Karena aku perempuan. Tapi, terkadang timbul rasa berontak dalam hatiku. Aku kan tidak pergi ke tempat yang tidak baik. Aku juga tahu jam malamku. Oke, jam malam yang diberikan Bunda adalah jam 6 sore. Tapi, jam malam yang aku mau adalah jam 9 malam.

Bunda begitu mengekangku. Dia seperti tak menyadari bahwa sekarang aku sudah besar. Aku sudah 21 tahun, Bunda.

Bunda selalu ingin tahu siapa teman-temanku. Oke, aku tidak keberatan mengenalkan semua teman-temanku padanya. Termasuk Rici, pacarku.

Awalnya aku tak memberi tahu Bunda kalau aku punya pacar. Baru setelah satu tahun aku dengan Rici, kuajak dia ke rumah menemui Bunda. Bunda marah saat tahu aku berpacaran. “Kamu kan masih kuliah. Kok udah pacar-pacaran sih!” serunya.

Oh, begitukah Bunda melarang putrinya yang seorang mahasiswi berpacaran? Rasanya aneh dinilai belum pantas berpacaran di usia 21 tahun, saat kamu sudah menjadi mahasiswi yang tengah mengerjakan skripsi. Bunda, apa itu wajar? Argh, ingin sekali kuteriakkan pertanyaan itu pada Bunda. Tapi tak pernah terlontar.

Lalu selama beberapa pekan terus kuajak Rici mampir ke rumah. Sebenarnya dia yang minta. “Supaya Bundamu percaya kalau aku bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Dan kita buktiin juga sama Bunda, kalau kita pacaran kan bukannya melakukan hal yang buruk,” kata Rici kala itu.

Ya, aku harus membuat Bunda percaya pada Rici. Setelah mengenal Rici, Bunda tidak membolehkanku pergi berdua dengan Rici. Apalagi kalau tahu kami akan pergi nonton bioskop. Bunda akan mati-matian melarangku pergi.

“Ya ampun, Bunda, aku kan cuma nonton sama Rici,” kataku sedikit memaksa.

“Nggak. Nanti kalau kalian terbawa suasana, lalu ciuman gimana?” sahut Bunda tegas.

“Bunda, apa aku keliatan kayak cewek gampangan yang mau dicium gitu aja sama pacarnya? Apa aku keliatan kayak cewek murahan yang bisa diapain aja sama pacarnya? Kenapa sih Bunda belum juga bisa percaya sama aku? Aku udah besar, Bunda. Aku tahu mana yang baik dan buruk. Bunda sudah mengajarkan semuanya padaku.” Balasku. Aku sadar, nada bicaraku agak tinggi.

Bunda terdiam. Seperti tak menyangka putrinya akan berkata begitu.

“Apa aku pernah melakukan hal yang memalukan, Bunda? Apa aku pernah melakukan hal yang Bunda larang? Nggak pernah kan, Bunda?!” lanjutku. “Lalu, kenapa Bunda belum juga bisa percaya untuk membiarkan aku hidup dengan hidupku?”

Aku pergi ke kamarku. Meninggalkan Bunda yang masih terdiam.

Aku menangis sejadinya. Aku sadar telah melakukan hal buruk pada Bunda. Tapi bagaimana? Sepertinya ini sudah sampai pada puncaknya. Atas perasaan tidak terima diperlakukan seperti anak kecil.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk.

“Iya. Masuk aja,” kataku.

Terlihat sosok Bunda saat pintu itu terbuka. Ia mendekatiku, lalu memelukku erat.

“Maafkan Bunda, sayang,” katanya terisak. “Bukannya Bunda nggak percaya sama kamu, tapi semua itu Bunda lakukan karena Bunda sayang sama kamu.”

Aku memutuskan diam.

“Bunda tahu dan sadar betul kalau kamu itu sudah besar. Apalagi saat kamu mengenalkan Rici pada Bunda.” Bunda melepaskan pelukannya dan menatap wajahku dalam. “Kamu tahu kenapa Bunda melarang kamu keluar malam? Padahal Bunda tahu kok apa tujuanmu pergi.”

Aku menggeleng.

“Bunda takut kamu ketagihan pergi malam. Dulu Bunda juga sering keluar malam. Karena kost, jadi mau tak mau harus keluar saat mencari makan malam. Dan memang, semua terasa lebih menyenangkan. Saat kita berkumpul dengan teman-teman dan bersenda gurau sampai lupa waktu, saat pergi mencari tempat makan yang belum pernah dikunjungi, atau saat mengunjungi tempat-tempat indah yang terlihat lebih memukau di malam hari.

Semua memang membuat lupa. Saat kita sadar, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Dan kamu tahu apa yang bikin Bunda lalu nggak pernah main di malam hari lagi?”

Aku menggeleng.

“Suatu hari, sahabat Bunda datang ke kost-an Bunda. Dia meminta izin untuk menginap selama beberapa hari. Bunda heran. Dia kan tinggal dengan orangtuanya waktu itu. Akhirnya Bunda

biarkan dia menginap. Mungkin dia sedang ada masalah dengan keluarganya.” Bunda menghela nafas panjang. Lalu melanjutkan ceritanya.

“Ternyata masalah yang dia hadapi lebih dari yang Bunda duga. Dia hamil. Hamil di luar nikah.”

Aku tertegun. Kupeluk Bunda dengan erat, tanpa berkata apa pun.

“Saat itu juga, Bunda memutuskan untuk mengurangi pergi di malam hari. Termasuk berjanji pada diri sendiri, akan melarang putri Bunda pergi di malam hari untuk sesuatu yang masih bisa dilakukan di siang hari. Bunda takut, Sayang. Takut itu terjadi padamu.”

“Maaf, Bunda. Aku ngerti sekarang dengan segala ketakutan Bunda.” “Bunda juga minta maaf ya, Sayang. Mungkin cara Bunda yang salah. Tidak seharusnya Bunda memperlakukanmu seperti anak kecil.”

Bunda melepaskan pelukanku. Diciumnya keningku penuh kasih sayang.

“Besok, kamu ajak Rici ke rumah. Kita makan siang bareng. Biar Bunda yang masak,” kata Bunda sambil tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!