Oleh: Landina Amsayna
Twitter: @LandinaAmsayna
Aku masih terpaku di depan cermin. Ah! Perawatan rambut di salon itu memang benar-benar hebat. Rambut panjang ikalku dibuat rapi bergelombang. Juga serangkaian creambath dan lain-lain, membuatnya halus dan jatuh. Tak henti-hentinya aku membelai rambutku sendiri, kagum.
Handphone di atas kasurku berdering. Terlihat nama Revand Saputra di layar.
"Hallo, Rev." Sapaku memulai.
"Kebiasaan ya, ngga ada romantisnya sama sekali."
"Haha... Kayak nggak tau aku aja deh kamu."
"Hehe.. Iya, iya. Eh, besok kita jalan, yuk."
"Jangan besok, sayang. Aku harus ke toko buku, cari materi tambahan buat ulangan."
"Dasar anak pintar. Ya udah, besok aku temenin, ya."
"Oke, deh! Thanks, dear."
"Sip! See ya..."
Klik. Telfon ditutup.
Aku membaringkan tubuhku di kasur. Aku merasakan sakit tiba-tiba di dadaku. Aku memang biasa merasakan sakit di dada, namun sepertinya kali ini berbeda. Sakitnya lebih menusuk tajam. Aku terbatuk-batuk. Aku merasa ada yang keluar dari tenggorokanku. Perlahan kulihat telapak tanganku. Ah, ada darah lagi di sana. Segera aku membersihkannya sebelum terlihat oleh ibuku.
Ini ketiga kalinya aku mendapati batukku mengeluarkan darah. Dulu, sakitku tidak separah ini, walau memang aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasakan sakitku memburuk. Sepertinya aku harus memberitahukannya pada ibu. Namun aku tak begitu punya keberanian, aku takut melihat ibu menangis.
***
"Kita berangkat sekarang?"
"Yup! Ayo naik!"
"Kamu bisa nyetir mobil?" Tanyaku ragu.
"Iya, sayang. Udah ayo naik." Ujarnya memanja.
Aku menurut.
Sesampainya di sana aku sibuk mencari buku untuk tambahan materi. Ya, sebagai anak kelas 1 SMP yang akan menghadapi Ujian Kenaikan Kelas, ulangan-ulangan harian mulai membludak.
Setelah semua buku yang kuinginkan sudah kudapat, aku diajak Revand menikmati donat di salah satu tempat kesukaannya.
"Vina, rambut kamu cantik banget, deh."
"Orangnya engga, nih?"
"Ya, orangnya juga, dong."
"Ah, gombal." Jawabku mencubitnya sambil tersipu.
Ah, aku mulai merasa sakit lagi di dadaku. Kali ini disertai sesak yang teramat. "Revand..." Ujarku lirih. Tak sempat aku menggapai tangannya, semua sudah gelap.
***
"Sayang, kamu sadar akhirnya." Kata ibuku seraya membelai halus rambutku.
Aku tak begitu mampu mengeluarkan suara. Sesak menyeruak dalam dadaku.
"Kamu ikut ibu, ya. Kamu harus periksa."
Tak kuasa aku menolak, aku menurut akhirnya.
Di rumah sakit, aku disuruh berbaring di sebuah alat berwarna putih panjang, ada yang melingkar di sana. Aku tak mengerti itu apa, tapi mengetahuinya cukup membuatku berfikir bahwa aku memang tidak baik-baik saja.
Hasilnya keluar tak lama.
"Baiklah, saya yakin ibu dan Vina bisa kuat mendengar semua ini." Kata-kata dokter Vian cukup membuat detak jantungku memacu lebih cepat.
"Anak saya kenapa, dok?" Tanya ibuku dengan gundah.
Dokter Vian menghela nafas sebentar, "Ibu dan Vina harus kuat, ya." Dia memberikan jeda di sana, "Vina positif menderita kanker paru-paru stadium 2."
"Apa??!" Ibu memekik. Aku mulai menangis.
"Kalian harap tenang. Saya yakin Vina masih bisa disembuhkan. Tapi, resikonya cukup berat. Karna Vina baru berusia 12 tahun."
"Dokter, gimana caranya agar aku sembuh? Katakan saja." Tanyaku dengan terisak.
"Gabungan kemoterapi, radioterapi, dan oprasi. Tapi saya tak begitu yakin ini bisa berhasil. Vina terlalu lemah."
"Saya yakin Vina bisa, dok. Vina anak yang kuat. Ya kan, Vin?" Aku mengangguk dengan pasti.
Akhirnya dokter Vian menyetujui dilakukannya terapi dan oprasi untukku. Secercah harapan mulai menyambangi hatiku.
***
Hari ini aku menjalani kemoterapi pertamaku. Rasanya, sakit. Setelahnya aku mengalami mual dan muntah yang berkepanjangan. Dan yang sungguh tak kuduga, rambutku lenyap tak bersisa. Aku menangis dengan tenaga seadanya.
"Bu, Vina ngga mau dikemo lagi. Rambut Vina hilang." Ujarku dengan tenaga seadanya.
"Sayang, kamu harus menjalani beberapa kemo lagi untuk sembuh. Rambut kamu bakalan tumbuh lagi kok."
"Tapi Vina jelek, bu."
"Engga, sayang. Kamu tetap manis." Ibu membelaiku.
Revand kekasihku dan Cherryl sahabatku menyembul di balik pintu, menghampiriku.
"Kalian jangan temui aku. Aku jelek. Aku malu."
Revand menggapai tanganku, "Vina, kamu tetap cantik bagiku, sayang. Aku ngga pernah melihat kamu dari sisi manapun kecuali hati kamu."
"Iya, Vina. Apapun yang terjadi, kita tetep sayang sama lo. Ga perduli gimana fisik lo. Karna gue sahabat lo, dan Revand cowok lo." Cherryl memelukku dengan sayang.
"Kalian serius tetep mau bareng-bareng aku?"
"Tentu, sayang."
"Pastinya. Pokoknya lo musti sembuh, demi kita. Okey?"
"Makasih ya, Revand, Cherryl." Kami berpelukkan dalam haru. Tangisan kami tak terbendung.
Ibu, Revand, Cherryl, aku janji akan berjuang mengalahkan kanker yang menggerogoti paru-paruku ini. Demi kalian, kekasihku, dan sahabatku. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!