Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 02 September 2011

Realita

Oleh: alfiusidha​rtaputra


Rambutku tidak bisa tumbuh lagi?! Mataku terbelalak. Aku sedikit protes kepada dokter yang memeriksaku. Aku pikir dia bercanda. Dia bilang aku terkena penyakit, dimana semua rambut yang ada di tubuhku tidak bisa tumbuh lagi. Tidak pernah sekalipun aku mendengar tentang penyakit ini. Bahkan dokter tidak tahu nama penyakit ini dan apa penyebabnya. Dia hanya memberi surat rujukan kepadaku. Ini kasus yang sangat langka. Aneh.

Sudah dua bulan aku merasakan kulitku panas sekali seperti terbakar. Tidak setiap saat, sih. Tapi jika sedang kambuh, sangat parah. Padahal ruang kelas di kampusku ber-AC, begitu pun dengan kamar kos-ku. Tidak jarang aku menangis menahan rasa panas. Sampai-sampai teman sekelasku mengantar aku pulang ketika kelas sedang berlangsung.

Dokter menanyakan apa rambutku sering rontok. Tidak. Dia menanyakan hal itu lebih dari tiga kali. Dokter saja tidak percaya, apalagi pasiennya. Hanya rasa panas saja yang terasa jika rambutku sedikit tertarik. Pernah suatu kali keponakanku tidak sengaja menjambak rambutku karena dia terjatuh. Dia jadikan rambutku sebagai pegangan. Aku langsung berteriak sekencang-kencangnya. Aku menangis. Keponakanku juga. Dia menangis karena teriakanku. Aku kaget. Dia juga. Rasanya seperti disiram air keras. Panas, sakit, perih. Ah, tidak karuan.

Aku jadi ingat, apa ini ada hubungannya dengan perawatan kulit yang aku jalani? Aku memang ketergantungan dengan laser sebagai pengobatan untuk jerawat di wajahku. Maklum, aku harus selalu terlihat sempurna semenjak aku bergabung dengan suatu kelas modeling. Tidak wajib. Aku yang mau. Penampilan sangat diutamakan di sana. Apakah ini penyebabnya? Tetap saja, dokter tidak berani menduga-duga. Tapi apa yang dikatakan dokter tidak cukup membuatku galau. Aku tenang-tenang saja. Aku suka dengan penampilanku sekarang. Tidak perlu repot-repot lagi pergi ke salon untuk merapikan rambut yang tumbuh tak beraturan.

Pikiranku yang kemana-mana itu membuatku lupa sejenak, bahwa aku terkena penyakit aneh. Aku hanya menceritakan penyakitku ini pada Rose. Temanku dari kecil.

"Serius kamu, Ta?"

"Serius! Dokter sendiri yang bilang. Seminggu lebih dia melakukan pemeriksaan padaku. Makanya aku jarang masuk kelas selama seminggu kebelakang," aku menjelaskan kepada Rose.

Rose sedikit tidak percaya.

"Kata dokter apa nama penyakitnya?"

"Nah itu dia. Dokter aja tidak tahu."

"Ya ampun. Lalu kapan kamu akan check up lagi?"

"Entahlah. Aku merasa saat ini baik-baik saja. Toh kalau pun aku periksakan lagi, apa ada obat untuk menyembuhkannya? Ini kan penyakit langka." aku membalikkan badan. Kini aku bisa melihat mainan bintang yang tertempel di atap kamarku.

"Hey Lita, dengar. Apa kamu tidak malu dengan penampilanmu sekarang?" Rose menutup majalah yang ia baca. Terlihat wajah Rose sedikit gereget. Mungkin karena sikapku yang cuek.

"Memang apa yang salah dengan penampilanku sekarang?" jawabku.

"Apa yang salah?! Bercerminlah Lita! Tak sehelai pun rambut ada di kepalamu! Orang-orang pasti akan memandangmu sebagai wanita yang aneh!"

"Aduh, Rose. Kamu engga pernah lihat-lihat majalah ya?"

Rose sedikit menggeser majalah yang tadi dibacanya. Aku melanjutkan.

"Kamu tidak tahu ya? Model-model di luar negeri, banyak sekali yang kepalanya botak! Dan mereka terlihat percaya diri, karena memang penampilannya unik, dan terlihat berbeda dari model-model yang lain." aku tersenyum. Aku bisa melihat model-model tak berambut di atap kamarku. Berjalan mengelilingi mainan bintang, dengan percaya diri yang amat sangat. Sebelum Rose membuyarkan semuanya.

"Unik?! Unik apanya! Geli melihatnya. Mereka kan sudah profesional. Memang itu pekerjaanya. Nah, kalau kamu? Lulus saja belum. Bagaimana kalau ternyata kamu tidak jadi model? Kamu harus sembuh Realita!"

"Sembuh dari apa?"

"Dari cara pikirmu yang gila. Ya dari penyakitmu!"

"Hahaha," aku menertawakannya. Rose memang sangat perhatian padaku. Tapi kami sering berdebat karena pendapat kami bertentangan.

"Kamu tenang saja Rose, aku akan baik-baik saja. Aku pasti menjadi seorang model profesional. Lagian aku kan ikut kelas modeling. Aku tinggi. Cantik. Tubuhku proporsional, " aku tidak mau mengalah dalam pembicaraan kali ini.

Rose diam. Aku menang. Oh, belum. Dia melanjutkan.

"Ya aku tahu. Tapi bagaimana dengan kesehatanmu?"

Aku hanya mengacungkan kedua jempolku. Bahkan yang di kaki pun ku angkat. Aku menang.

Ini kali pertamaku memotong habis semua rambut di kepalaku. Sehari sebelum dokter mem-vonis bahwa mahkota di atas kepalaku tidak akan pernah tumbuh lagi. Aku memang sangat terobsesi dengan model-model dari luar. Khususnya yang tidak berambut. Mereka punya keunikan sendiri. Begitu pun denganku. Aku punya penyakit yang unik. Apa? Penyakit? Lagi-lagi aku lupa. Menurutku ini penyakit yang tidak penting. Kalau tidak bisa tumbuh, ya sudah. Mau apa lagi? Menyebabkan kematian? Tidak. Aku meyakinkan diriku, walau sebenarnya aku tidak tahu apapun.

Di sekolah modeling, aku terbilang sangat cepat berkembang. Aku sering mengikuti berbagai acara. Memang acaranya kecil. Hanya di mall-mall. Tapi sedikit banyaknya, itu bisa lebih menumbuhkan rasa percaya diri.

Pada suatu acara di satu mall, aku menjadi model yang keluar terakhir, karena kostum yang kupakai sedikit lebih heboh dari model-model yang lain. Dan kali ini berbeda. Aku menggunakan wig! Guruku bilang tidak cocok dengan kostum kalau aku berpenampilan seperti biasanya. Selesai acara, aku langsung ke back stage. Belum sempat aku masuk, seorang pria menghampiriku. Tinggi, putih, bersih. Sepertinya dia dikirim oleh Tuhan untuk mendampingiku. Mengisi kekosonganku selama ini. Ah, menghayal lagi.

"Hai," suaranya lembut, tapi tidak kemayu.

"Ya? Siapa ya?"

"Aku Alex, aku lihat penampilanmu barusan. Mengagumkan sekali," dia melempar senyuman kepadaku. Aku hanya menatapnya. Aku tak sadar bahwa dia menungguku menyambut tangannya yang dari tadi mengajakku bersalaman.

"Oh. Ya. Terima kasih," entah mengapa aku menjadi terbata-bata.

"Saya Alex," lagi-lagi dia tersenyum. Tanganku masih dalam genggamannya.

"Oh. Ya." Lita! Sadarlah!

"Mm., sorry. Aku Lita. Realita."

"Bagus juga namanya."

"Iya, hahahaha." Ya tuhan. Nada tertawaku garing sekali.

"Kalau tidak ada acara lagi, mau ikut makan siang?"

"Tidak, kok. Tidak ada. Kebetulan aku juga mau cari makan siang."

"Wah kebetulan, kita bareng aja."

"Boleh. Kalau gitu aku ganti baju dulu ya?"

Mimpi apa aku semalam. Tiba-tiba saja pria tampan mengajakku makan siang. Memang dia orang asing. Tapi aku yakin dia orang baik. Aku hanya berganti pakaian. Sisa-sisa make-up sengaja tidak aku bersihkan. Aku ingin segera makan siang. Dia masih menungguku di luar back stage. Aku menghampirinya.

"Ayo. Mau makan dimana kita?" dia terkejut melihat wajahku masih penuh dengan make-up.

"Kita ke foodcourt aja, disana banyak makanan."

"Ayo."

"Engga cuci muka dulu?"

"Hahaha, gausah, cuek aja lagi."

"Hahaha." Alex tertawa melihat ekspresi wajahku.

Kami makan berhadapan. Dia banyak bertanya. Banyak juga cerita. Ternyata kami seumuran, hanya beda beberapa bulan. Memang seperti sinetron. Bertemu dengan orang asing, makan bareng, tukar cerita, kemudian akrab. Tapi aku mengalaminya sendiri. Di luar dugaan. Sampai satu pertanyaan Alex membuat jantungku berhenti berdetak.

"Lita, apa itu asli?" dia menunjuk rambutku.

"Ini? Hahaha. Kamu ngomong apa sih." aku tidak mengindahkan pertanyaannya.

"Aku lihat penampilan pertamamu, kok." dia tersenyum padaku.

"Pertama? Yang mana?"

"Ya, pertama kali kamu tampil. Kamu lebih cantik tanpa wig itu."

Aku terdiam. Ternyata Alex sudah memperhatikanku dari awal. Dia mengatakan kepadaku bahwa dia selalu hadir setiap aku tampil. Di mana pun itu. Alex tahu kalau aku tidak berambut. Tapi dia tidak tahu, kalau kepala ini, bahkan tubuhku, tidak akan pernah ditumbuhi rambut lagi.

Dia suka dengan penampilanku. Kalau begitu, apa lagi yang menghalangi kami. Bertahun-tahun sudah aku bersama Alex. Ya, seminggu setelah makan siang itu kami berpacaran. Sampai hari ini. Dan mulai saat itu, aku suka memakai wig menghindari agar Alex tidak malu ketika jalan berdua denganku. Tanpa disadari, wig kepunyaanku mulai memenuhi kamarku. Aku seperti mengoleksi wig, mulai dari yang panjang, sampai yang pendek.

***

Satu bulan lagi aku akan menikah dengan Alex. Alex belum tahu juga mengenai penyakitku. Aku juga sudah tidak pernah memeriksakan ke dokter. Aku merasa keadaanku baik-baik saja.

***

Tiga bulan setelah menikah, aku sering merasakan sakit kepala yang amat sangat. Aku tidak menghiraukannya. Sampai aku hamil, dan sejak aku melahirkan anak pertamaku dari Alex, semua kulitku menjadi bersisik seperti ikan. Untungnya Kintan, anak pertama kami baik-baik saja. Ketika Kintan berumur satu tahun, aku harus pergi meninggalkan suami dan yang pasti Kintan untuk selamanya. Tapi aku tetap bisa melihat mereka berdua berkembang bersama. Sampai akhirnya Kintan bisa berkomunikasi dengan Alex. Kintan selalu bilang, bahwa dia sering melihat wajahku setiap dia melihat boneka tempat aku menyimpan wig. Ya, itu memang mama, Kintan.

2 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!