Oleh: @teguhpuja
Aku belum pernah sekali pun bertemu denganmu.
Kita hanya bercengkrama, bertukar rasa rindu dan menjejaki satu sama lain melalui dunia maya. Kita hanya bertukar sapa, berusaha mengakrabkan satu sama lain melalui dunia yang aku pun tak tahu apakah benar-benar nyata atau tidak. Kadang, aku sendiri tidak percaya. Mengapa aku bisa jatuh hati dan mulai mencintaimu, meski sebelumnya kita tidak pernah duduk berdua bersama dalam satu kursi panjang yang mempertemukan kita satu sama lain. Kadang, aku sendiri seringkali meragu. Mengapa perhatianku bisa teralihkan dan terbagi sekian besarnya, hanya untuk menemanimu di saat kita 'bertemu', bertatap muka melalui jejaring yang menghubungkan kita. Kadang, aku sendiri tertegun, tidak bisa berkata banyak. Mengapa sekian banyak waktu yang kuhabiskan denganmu, tidak pernah sekali pun membuatku merasa bosan, atau bahkan menyesal. Aku selalu senang ketika berada di dekatmu. Aku selalu senang ketika tahu ada kamu di 'seberang'ku, menunggui setiap pesan yang tercetak dari layar chat box jejaring kita, atau jika kita sedang jenuh dengan riak dan ramainya jejaring itu, kita berpindah ke tempat lain yang lebih 'mendukung' kebersamaan kita. Berbalas IM denganmu dan sesekali membiarkan canda kita terbangun dari detik pertama kita bercerita dan bertukar kabar setiap harinya selalu membuatku merasa hangat. Hangat dengan keceriaanmu. Hangat dengan manisnya tutur katamu.
Aku belum pernah sekali pun bertemu denganmu.
Aku hanya bisa melihat satu atau dua foto yang kamu punya di jejaring dan menjadi avatar di IM-mu. Wajahmu terlihat sangat manis. Bercahaya. Dengan rambut hitam sebahu. Satu kali pernah kutanyakan kepadamu, mengapa hanya sekian foto itu saja yang bisa kulihat di jejaringmu. Kamu dengan malu-malu menjawab.
"Aku bukan orang yang cantik, Mas. Aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Aku tidak semanis yang mas mungkin pikirkan."
Ah, mengapa kamu berbicara seperti itu, Farida. Dari setiap diskusi kecil kita, aku tahu kamu istimewa. Ya, seistimewa setiap momen yang kita bagi bersama. Mengapa harus merasa malu untuk sekadar memperlihatkan siapa dirimu? Mengapa harus merasa malu untuk menjadi dirimu sendiri? Bukankah kamu istimewa, seistimewa Tuhan yang menciptamu. Dengan segala kelebihan dan karunia yang Tuhan beri untukmu.
"Aku malu, Mas. Aku tidak secantik wanita-wanita yang mungkin mas bisa temukan di Ibukota sana. Aku tidak semenarik mereka yang setiap harinya bisa menyempatkan diri membeli kosmetik, baju, aksesoris dan mengikuti trend fashion yang ada di luaran sana. They know what's in and what's out. Dan aku, old-fashioned, Mas. Bukan orang yang mengerti gaya dan juga tidak pandai merawat diri."
"Kamu tidak harus mengikuti mereka, Farida. Kamu sudah menjadi teramat istimewa buatku."
"Bagaimana mungkin mas bisa berbicara seperti itu? Mas pun sendiri tidak pernah sekali pun bertemu denganku."
"Aku memang belum pernah sekali pun berkesempatan untuk bertemu denganmu. Namun aku yakin, kamu memang layak untuk aku percaya. Aku yakin, kamu memang layak untuk aku cintai."
"Bagaimana mungkin mas bisa mencintaiku? Mas pun sendiri belum mengetahui aku seutuhnya. Hanya selembar foto dengan rambut hitam sebahuku saja yang mungkin selama ini mas lihat. Mas belum pernah sekali pun melihat wajahku. Mas belum pernah sekali pun bertatap muka denganku langsung."
Aku terdiam. Tidak lantas menjawab pesanmu. Aku biarkan kamu sejenak, memberimu ruang untuk mengungkapkan apa yang kamu rasa di 'seberang' sana.
"Apa mas bisa semudah itu memilih dan yakin dengan seseorang? Sementara mas selama ini hanya melihat rambut hitam sebahu orang yang mas belum kenal sepenuhnya. Apa mas bisa semudah itu percaya?"
Sejujurnya aku meragu. Sejujurnya aku memang tidak sepenuhnya yakin. Jika hanya sekadar mempertimbangkanmu, dengan hanya membiarkanku mengenali sosokmu, hanya melalui hitamnya rambut sebahu yang kamu punya. Aku memang berharap bisa melihat wajahmu. Meyakinkanku bahwa sosokmu akan menjadi lebih sempurna dalam benakku ketika aku bisa memandangmu utuh dan kita bisa bertemu terlebih dahulu.
"Mas Arif, tolong jawab aku."
Namun apalah artinya, jika cinta hanya berdasarkan rupa saja, apalah artinya jika cinta hanya berdasarkan kuasa dan keturunan saja. Ketika aku memutuskan untuk mencintaimu, itu artinya aku memang sudah memutuskan diriku untuk berusaha mencintaimu apa adanya.
"Sejujurnya, aku pun sedikit meragu, Farida."
"Jika mas memang meragu, kenapa mas bisa semudah itu mengatakan bahwa mas mencintaiku?"
"Aku sudah memutuskan untuk begitu."
"Memutuskan apa?"
"Memutuskan untuk tetap mencintaimu, apa adanya."
Kamu terdiam.
Sekian menit kutunggu jawabmu.
Apa yang kamu pikirkan sekarang Farida? Apakah mustahil bagimu untuk menerimaku masuk dalam kehidupanmu? Apakah mustahil bagiku untuk menyibak rambut hitam sebahumu itu dan melihat dengan jelas, utuh, wajahmu itu? Apakah mustahil bagiku untuk menjejaki ruang dan waktu bersamamu? Aku tidak mau menjadi sebatas teman mayamu. Aku tidak mau menjadi sebatas 'sahabat terbaik'mu di dunia maya. Aku ingin menjadi 'nyata' dalam hidupmu. Aku ingin menjadi 'sahabat' yang 'nyata', yang kamu biarkan aku menemanimu dari hari ke hari.
Aku masih menunggumu Farida.
Apa jawabmu?
Apa yang ada dalam pikiranmu?
Farida, aku belum pernah sekali pun bertemu denganmu. Sekali pun tidak.
Kita hanya bercengkrama, bertukar rasa rindu dan menjejaki satu sama lain melalui dunia maya. Kita hanya bertukar sapa, berusaha mengakrabkan satu sama lain melalui dunia yang aku pun tak tahu apakah benar-benar nyata atau tidak. Kadang, aku sendiri tidak percaya. Mengapa aku bisa jatuh hati dan mulai mencintaimu, meski sebelumnya kita tidak pernah duduk berdua bersama dalam satu kursi panjang yang mempertemukan kita satu sama lain. Kadang, aku sendiri seringkali meragu. Mengapa perhatianku bisa teralihkan dan terbagi sekian besarnya, hanya untuk menemanimu di saat kita ‘bertemu’, bertatap muka melalui jejaring yang menghubungkan kita. Kadang, aku sendiri tertegun, tidak bisa berkata banyak. Mengapa sekian banyak waktu yang kuhabiskan denganmu, tidak pernah sekali pun membuatku merasa bosan, atau bahkan menyesal. Aku selalu senang ketika berada di dekatmu. Aku selalu senang ketika tahu ada kamu di ‘seberang’ku, menunggui setiap pesan yang tercetak dari layar chat box jejaring kita, atau jika kita sedang jenuh dengan riak dan ramainya jejaring itu, kita berpindah ke tempat lain yang lebih ‘mendukung’ kebersamaan kita. Berbalas IM denganmu dan sesekali membiarkan canda kita terbangun dari detik pertama kita bercerita dan bertukar kabar setiap harinya selalu membuatku merasa hangat. Hangat dengan keceriaanmu. Hangat dengan manisnya tutur katamu.
Aku ingin kau menggenapiku. Dan mengizinkanku menyibak sosok manis dan hangat dibalik rambut hitam sebahumu itu.
Aku menginginkannya, sungguh, dengan penuh harap.
Aku, yang mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!