Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 02 September 2011

Rambut Cakrawala

Oleh: Dyah Setyowati Anggrahita

Selepas SMA, Cakrawala memanjangkan rambutnya. Di tingkat keempat perkuliahannya, panjang rambutnya sudah hampir mencapai pinggang. Ia menjadi satu di antara beberapa mahasiswa berambut gondrong lain. Mereka mudah dikenali dan mengundang penasaran untuk didekati.

Cakrawala kadang menggerai rambutnya atau mengikatnya begitu saja sehingga menjadi seperti ekor atau bulatan telur di belakang kepala. Teman berambut gondrongnya yang lain malah mengikat rambutnya di atas kepala sehingga membuatnya tampak seperti abdi raja dari Era Majapahit.

Rambut Cakrawala bergelombang dan tumbuh dengan lebat. Para mahasiswi sering memandanginya dengan penuh kekaguman. “Kok rambutnya bisa lebat gitu? Pakai sampo apa sih?” Cakrawala menggoyang-goyangkan mahkotanya dan menunjukkan ekspresi sok heran pada para teman perempuannya itu.

Rambut yang menakjubkan itu melekatkan mata mereka untuk mengamat-amati dari dekat. Meski kemudian mereka temukan ketombe, semut, kutu, atau bahkan laba-laba mendekam di balik kerimbunan rambut tersebut, tetap saja menimbulkan perasaan iri kala mengamatinya dari jauh.

Bahkan ibu Cakrawala pun memendam rasa yang sama. Dalam suasana santai di rumah, kadang ia duduk di belakang putranya. Ia ambil segenggam rambut megar tersebut, dibelainya, lalu ia ambil segenggam lagi, segenggam, dan segenggam lagi. Kadang ia menyisirinya. Cakrawala hanya menoleh, kaget sebentar, lantas melanjutkan lagi aktivitasnya menonton TV atau memainkan kucing peliharaan mereka.

Dulu ibu Cakrawala juga memiliki rambut berombak tebal yang membuatnya jadi primadona di kalangan lelaki. Namun harta kebanggaannya itu kian lama kian menipis. Perjalanan usia menghiasinya dengan semburat putih. Maka kini ia hanya bisa mengelus-elus milik putranya, sang pewaris, sembari mengenang masa-masa kenikmatannya dulu.

Dulu ia suka mengepang rambutnya. Juga melumurinya dengan urang-aring agar tampak berkilau. Cakrawala semakin kaget ketika ibunya tahu-tahu menumpahkan cairan itu di atas kepalanya. Ia hendak lekas beranjak namun Ibu memegangi rambutnya disertai omelan agar ia tidak ke mana-mana. Maka selanjutnya Cakrawala diam saja menunggui ibunya selesai bermain-main dengan rambutnya. Esok harinya di kampus ia dihujani decak terkesima dari teman-temannya, baik laki-laki maupun perempuan.

“Bagus kan? Ibuku yang pingin,” begitu saja penjelasannya ketika teman-temannya itu mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

Lama-lama Cakrawala risih dengan perlakuan ibunya. Ibunya bahkan melebihkan uang sakunya agar ia bisa memberi perawatan pada rambutnya di salon. Kelebihan itu malah ia gunakan untuk keperluan lain. Cakrawala jadi semakin malas pulang ke rumah. “Daripada rambutku dipegang-pegang terus sama Ibu,” pikirnya.

Jadi Cakrawala pulang ke rumah hanya ketika ia butuh uang. Kadang ia sekadar menumpang tidur, ganti baju, atau menukar barang. Lalu ia akan pergi lagi dengan ransel lapangan, jaket, handuk, peralatan mandi, notes kecil, dan tas selempang kecil. Ia akan menaruh barang-barangnya itu di kosan teman—siapapun itu, selalu berganti-ganti—dan setelahnya pergi ke manapun sekehendak hatinya. Handuk dan notes kecil merupakan barang yang wajib ia bawa dalam tas selempangnya. Ia akan pulang ke rumah lagi ketika uangnya habis, pakaian yang melekat di badannya butuh dicuci, atau membutuhkan sesuatu yang harus ia bawa tapi ditaruhnya di rumah. Kadang Ibu melepas kepergiannya sampai pintu depan. Ia berusaha untuk tidak menangkap pandangan sang ibu yang seakan meratapi rambutnya yang tiada pernah dapat perawatan khusus. Ia keramas dan menyisir rambutnya hanya kalau ingat.

Sampai suatu ketika Cakrawala harus praktek lapangan ke provinsi lain. Cuaca di sana sangat gerah sampai-sampai mandi pun rasanya percuma. Saat Cakrawala melewati sebuah rumah penduduk, anak-anak di pelataran ramai-ramai meneriakinya, “Awas ada Sule, prikitiw!”

Teman perempuan yang memboncengnya (sewaktu mereka harus mengambil data di kantor petugas yang berwenang) sesekali mengeluh, “Cak, rambutmu masuk-masuk ke mulutku…” Terasa olehnya tangan gadis itu berusaha membenahi rambutnya agar tidak menggelora ke mana-mana.

Hampir dua minggu telah berlalu. Suatu senja Cakrawala pergi ke luar komplek tempat mereka menginap bersama seorang teman laki-lakinya. Tidak ada teman-temannya yang lain mengira kalau mereka menuju ke suatu tempat yang sebenarnya ingin Cakrawala kunjungi sejak mula mereka di sana. Cakrawala ingat kalau sebaiknya ia membawa oleh-oleh untuk ibunya. Ia telah sampai di tempat tujuannya dan duduk di kursi yang disediakan. Pria di belakangnya berkata, “Wah, ini kayak motong rambut tiga orang!”

“Tapi bayarnya tetep seorang kan, Pak?” Cakrawala menengadah. Tukang cukur di belakangnya mengukur panjang rambut Cakrawala dengan jengkalnya. Dapat tiga. Tidak lupa Cakrawala bilang pada pria itu supaya rambutnya jangan langsung disapu habis.

Dua hari kemudian Cakrawala pulang ke rumahnya dengan menggendong carrier besar dan kumal. Sang Ibu menyambut putranya yang baru pulang dari praktek di ujung barat Pulau Jawa itu. Ia sudah tidak sabar melihat sang putra menggerai rambutnya yang selalu diikat bulat ke belakang.

Setelah menurunkan carrier-nya, Cakrawala mengeluarkan sebuah bungkusan. “Oleh-oleh, Bu,” katanya. Ibu membuka bungkusan itu seiring Cakrawala yang membuka ikatan rambutnya hingga mengembang rambut sepanjang bagian bawah telinga. Ibu terbelalak lantas jatuh lemas.

3 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!