Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 16 April 2011

Sahabat Baru Effra.

Oleh Diaz Bela Yustisia (@diazbela)


Effrayanta.
Keluargaku tidak pernah tahu ini. Menurut mereka, aku hanyalah perempuan biasa yang selalu tertutup pada dunia luar. Aku memang pemalu dan agak sulit untuk bergaul. Apalagi di lingkungan baru. Jangankan menyapa orang lain, tersenyum pun aku malu. Mungkin karena itulah sudah satu bulan ini kerjaanku hanya di rumah, menghabiskan waktu dengan baca buku, dan menjelajahi dunia maya, tanpa pernah berinteraksi. Aku hanya keluar rumah seadanya, jika ibu perlu bantuan untuk membeli sesuatu di warung, atau ayah yang kesal karena si Bleki, anjing jenis golden river peliharaan keluarga kami, tidak ada yang mengajaknya jalan-jalan.
Tapi satu bulan belakangan ini rutinitasku keluar rumah menurun drastis. Ibu dan ayah mungkin masih khawatir dengan kondisi tubuhku yang masih rentan. Ya, dua bulan yang lalu aku mengalami kecelakaan. Motor yang kunaiki ditabrak sebuah mobil berkecepatan tinggi.
Aku masih ingat betul kecelakaan itu. Hari itu adalah hari pertama Ujian SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Ayah dan Ibu khawatir aku akan telat, jadi mereka menyuruhku untuk dating lebih awal. Jam enam pagi, aku sudah siap berangkat dengan motorku. Baru lima belas menit di perjalanan, ketika sampai dipermpatan, motorku ditabrak sebuah mobil berkecepatan tinggi yang melanggar lampu merah. Usut punya usut si pengemudi yang baru pulang clubbing itu mabuk berat, dan merasa tidak melihat lampu merah.
Aku pun terlontar jauh dari motorku. Darah berceceran dan menggenang di aspal. Motorku remuk, beberapa bagiannya hilang. Aku pun segera digotong ke rumah sakit oleh warga sekitar.
Tengkorakku retak, dan beberapa tulangku patah, ujar dokter yang memeriksaku. Aku dirawat di rumah sakit tiga minggu lamanya. Seminggu pertama, aku dinyatakan koma. Minggu kedua aku sadar, tapi hidupku hanya bergantung dari peralatan listrik dan selang-selang yang menempel di tubuhku. Minggu ketiga, aku dipindahkan ke ruang inap biasa. Enam hari kemudian, aku diperbolehkan pulang dengan syarat harus bed rest total selama satu bulan. Dokterpun heran dengan perkembangan kesembuhanku yang menakjubkan. Menurutnya, orang yang habis kecelakaan dan terbaring koma satu minggu lamanya, minimal harus 30 hari dirawat inap di ruang ICU.
Jadi, inilah aku, Effrayanta, 18 Tahun, lulusan terbaik SMAN 1, dan (ehm) belum kuliah alias pengangguran. Kerjaanku setiap hari hanyalah terbaring lunglai di tempat tidur sambil ditemani beberapa buku. Padahal aku merasa sehat-sehat saja, lho. Orangtuaku saja yang memaksaku untuk tidak keluar rumah. Jangankan keluar rumah, untuk menuju dapur di lantai satu saja orangtuaku sudah was-was.
“Effrayanta, coba lihat siapa yang datang!” Seru ibuku sambil masuk kedalam kamar.
“Effraaaa!!! Kok bisa siiiiiih??” Joy, sepupu sepermainanku, langsung mendobrak masuk kamar dan duduk di tepi ranjangku. Tak lupa, tangannya menelus-elus pelan pelipisku yang masih diperban. Akupun sudah memastikan ke Ayah dan Ibu untuk tidak perlu memerban kepalaku. Aku baik-baik saja.
“Jatuh, Joy..” kataku singkat enggan berbasa-basi.
Tapi dasar watak Joy yang cerewet, aku terus-terusan disodori pertanyaan-pertanyaan seperti: “Jatuh dimana?” “Yang nabrak siapa?” “Trus, dipenjara nggak tuh orang? Harusnya dipenjari sepuluh tahun tuh yang kayak gitu!” “Trus kuliah lo gimana?” dan pertanyaan-pertanyaan lain sampai pusing aku dibuatnya. Bukan karena jawaban yang harus aku berikan, tapi karena suaranya yang cempreng kayak bebek.
Syukurlah Ibuku tahu apa yang harus dilakukan. Dengan alasan Joy yang baru datang dari Surabaya (well, dia KULIAH di Surabaya sekarang), ia meminta Joy secara halus untuk istirahat di kamar sebelah.
Lima menit kemudian kamarku kembali sepi. Lama-lama bosan juga dengan keadaan seperti ini. Akupun menatap langit-langit kamar, pikiranku melayang. Kecelakaan yang aku alami ini juga memberikan hikmah untukku. Aku jadi punya sahabat baru. Ya, sahabat pertamaku.
Dia selalu datang saat aku dirawat di rumah sakit. Bertemu dan bercerita banyak hal dengannya membuat hari-hariku lebih berwarna. Dia seakan-akan tahu banyak hal. Makin lama aku berteman dengannya, aku jadi yakin kalau dia memang tahu banyak hal. Ketika aku dipindahkan dari rumah sakit pun, dia masih sering mampir ke rumahku. Menyenangkan untuk mengobrol bersamanya. Entah kenapa. Padahal, seperti yang kalian tahu, aku ini orang yang canggungan. Oke, kecuali dengan dia.
Tapi sudah seminggu belakangan ini dia tidak menghubungiku. Aku khawatir, jangan-jangan dia kenapa-napa. Maka dari itu aku memutuskan untuk menemuinya tengah malam ini. Masalahnya adalah, susah sekali untuk bertemu dengannya. Kau tahu, dengan semua masalah penyakit ini, aku jadi tidak leluasa kemana-mana. Akupun terus memikirkan beribu cara untuk menyelinap keluar dari rumah ini, hingga tanpa kusadari dengan perlahan aku tertidur…
***
Jam menunjukan pukul sebelas malam ketika aku terbangun. Sial! Aku belum memikirkan cara apapun untuk bertemu dengannya! Dengan sigap, setelah cuci muka dan gosok gigi seadanya, aku menyelinap keluar rumah. Sukses! Ternyata semua orang sedang asyik menonton tv sehingga tak menyadari aku yang menuruni tangga dan menyelinap keluar rumah. Sahabatku, Aku datang!!


Joy.
Effrayanta menghilang!
            Tante Rani, ibunya Effra lah yang pertamakali mengetahui hal ini. Beliau hendak memastikan putrinya untuk meminum obat, tapi ternyata Effra tidak berada di kamarnya! Kemana anak itu pergi?
Sungguh, aku benar-benar khawatir dengan sepupuku yang satu ini. Dibalik sifatnya yang pendiam, aku baru saja diceritakaan Tante Rani dan Om heru kalau tingkah Effra berbeda setelah kecelakaan maut itu terjadi.
Menurut mereka, Effra jadi sering ngomong sendiri. Ini dimulai ketika Effra baru sembuh dari koma selama satu minggu. Sikap Effra tiba-tiba berubah drastis. Ia tiba-tiba sering melamun, tersenyum, tertawa, bahkan ngomong sendiri! Itulah alasan yang membuatku jauh-jauh datang dari Surabaya. Walaupun Effra memang termaksuk orang aneh yang sulit untuk bergaul, tapi belum pernah aku tau kalau Effra ternyata punya… teman khayalan! (Istilah yang diberikan Om Heru dan Tante Rani).
“Kita berpencar saja di komplek perumahan!” Seru Om Heru sambil membagikan senter kecil padaku, Tante Rani, dan Bik Sum. “Saya mau lapor ke Pak RT dulu, sekalian minta bantuan juga sama orang yang lagi Siskamling. Ayo!” Om Heru pun langsung keluar rumah, diikuti kami bertiga.
Di depan rumah, kami berpencar. Aku memilih mencarinya ke dekat taman bermain yang berada tidak jauh dari rumah Effra. Bleki mengaum tepat ketika aku menutup pintu gerbang. Tenang Bleki, majikanmu pasti ketemu!
Lama aku mencari, senter kuarahkan ke segala arah sambil sesekali aku meneriakkan nama Effra. Di jalan, aku pun bertemu beberapa pemuda yang sedang bertugas Siskamling. Hingga akhirnya aku mencari Effra ditemani dengan Pak Maman, tetangga sebelah rumah Effra yang kebetulan sedang dapat tugas untuk Siskamling.
“Neng, coba kita cari kesana.” Ujar Pak Mamang menunjuk satu gang perumahan yang gelap.
“Kesana, Pak?” tanyaku sedikit khawatir. Aku takut. Tempat itu menyeramkan. Di ujung sana ada rumah tak berpenghuni yang gelap, pohon beringin, dan… sedikit mistis.
Pak Maman mengangguk, lalu berjalan di depanku.
Ketika melewati rumah itu, bulu kudukku langsung berdiri. Aku berjalan sedekat mungkin dengan Pak Maman sambil terus menyenteri beberapa tempat dan meneriakan nama Effra.
Aku melihat sesuatu di bawah pohon beringin.
“Pak! Itu Pak, lihat!” Tunjukku sambil menyenteri pohon yang ku maksud.
Perlahan, sosok itu makin jelas. Ia turun dari pohon dan…
“EFFRA!!!” Teriakku keras.
Effra terlihat melompat dari atas pohon, dan menatapku heran.
“Joy?” katanya tenang.
“Neng Effra! Neng baik-baik saja kan?” Pak Maman lalu berlari menghampiri Effra.
Aku, dengan cepat langsung mengambil handphone dari dalam saku dan menghubungi orangtua Effra untuk mengabari kalau Effra sudah ditemukan.
“Sumpah, Fra, lo ngapain disini? Bikin khawatir aja! Ngapain lo malem-malem manjat pohon?!” kataku sambil mendekati Effra.
Effra tersenyum janggal. “Nggak kok, cuma main.” Katanya datar dan tanpa ekspresi.
“Hah??”
“Iya, sama sahabatku. Disini.” Effra menunjuk pohon beringin yang barusan dinaikinya.
Dari kejauhan, aku mendengar kerumunan orang datang mendekat. Semoga itu Tante Rani, Om Heru, Bik Sum, dan orang-orang yang Siskamling. Semoga.
Kakiku lemas, badanku bergetar.
Effra benar-benar sakit!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!