Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 16 April 2011

Kabar Gembira

Oleh @amalia_achmad


Lelaki itu mencoba menyalakan pemantik api di tangan kanannya berkali- kali. Hanya percikan bunga api lalu hilang cepat. Dia tidak mudah menyerah rupanya. Kulit jari jempolnya yang bergesekan dengan roda logam bergerigi itu barangkali terluka dan rokok yang terselip di ujung bibirnya mungkin sudah basah sekarang. Aku tak bisa mendiamkan, segera beranjak mendekati. Kunyalakan dengan mudah pemantik api milikku tepat di depan wajahnya. Dia terkejut sebentar lalu segera membakar ujung rokoknya dengan api yang kutawarkan. Bibirnya menghitam, jejak endapan nikotin bertahun- tahun. Pada dalam kedua matanya ada semacam ketenangan yang ganjil. Di bawah sepasang mata itu, hidung besarnya bertengger sombong. Lalu, kulitnya kasar dengan bekas jerawat meninggalkan bolong- bolong. Dia tak menyenangkan untuk dipandang kelamaan, aku memalingkan wajah.
“Terimakasih” katanya di sela- sela hembusan asap yang diarahkannya ke atas. Suaranya parau dan berat seperti sudah seharian tak digunakan atau malah tak berhenti digunakan.
“Sama- sama” jawabku sambil hendak berlalu.
“Perokok juga?” tanyanya sebelum sempat aku membalikkan badan.
“Bukan”
“Jadi untuk apa geretan itu?”
“Ini? Oh, untuk membakar kertas- kertas”
“Kertas- kertas apa?”
“Apa saja” aku menjawab sekenanya, ingin menyudahi basa- basi ini.
Dia sepertinya tak rela, lekas mengeluarkan pertanyaan lain demi mencegahku bebas, “Kertas- kertas hutang, ya? Hehe… “ dia terkekeh jelek.
“Iya. Permisi “ kali ini aku benar- benar memutar tubuhku tapi sebuah tangan besar menarikku kembali. Aku memandang tajam pada tangan itu lalu pada pemiliknya, si bibir menghitam yang kini tampak kikuk.
Dia melepaskan cengkeramannya, “maaf… “
Aku terburu menjauhi, gaun hitam ketat ini menghalangi maksudku untuk cepat- cepat pindah dari selidik mata lelaki itu. Ketika aku berbalik dia sudah tak ada lagi di tempatnya tadi. Trotoar pada tengah malam ini tampak tak sama.
Lalu DOR!!!
***
Perempuan itu memperhatikan tiap gerak- gerikku sedari tadi. Dia bersandar pada sebuah pot bunga setinggi pinggang. Kedua mata bercelak hitamnya berkilat tertimpa sekilas lampu jalanan berwarma kuning. Dia semacam kucing betina mengincar seekor tikus, tenang dan penuh perhatian. Lalu pada usahaku menyalakan geretan api yang ke- sekian kali dia berhenti bersandar, malahan berjalan ke arahku. Gaunnya ketat melekat dengan suara tak- tok- tak- tok hak tinggi sepasang sepatu di kaki, dia menyeret langkahnya. Aku pura- pura terkejut ketika nyala api dari geretannya membakar udara kosong. Kunyalakan ujung rokokku sebelum jari tangannya yang berbau manis kepanasan.
“Terimakasih” ucapku. Dari sela- sela asap yang kuhembuskan, wajahnya mula- mula terbentuk dari kedua mata bercelak hitam, hidung tinggi berminyak, bibir tebal tersapu gincu kelewat merah, dan kedua pipi dengan bedak tiga lapis. Dari balik samarannya itu aku melihat kesedihan yang puitis.
“Sama- sama”dia bersiap kembali ke persembunyiannya tadi.
“Perokok juga?” tanyaku mencegah langkahnya.
“Bukan”
“Jadi untuk apa geretan itu?”
“Ini? Oh, untuk membakar kertas- kertas”
“Kertas- kertas apa?”
“Apa saja” dia tampak sedih, seperti sepanjang hidupnya adalah kesedihan, bertemu denganku adalah kesedihan lainnya.
“Kertas- kertas hutang ya? Hehe… “ aku mencoba membuatnya tersenyum. Sebuah percobaan yang sia- sia. Dia menarik nafas panjang, mengumpulkan udara ke dalam paru- parunya, lalu berkata “Iya. Permisi. “
Perempuan sedih, biarkan aku menjadi kabar gembira. Aku memasukkannya ke dalam pikiranku terlalu jauh, tak menyadari salah satu tanganku mencengkeram lengannya yang terayun bebas ketika ia berbalik tadi. Aku terkejut. Dia tak kalah terkejut. Memandang tanganku lalu wajahku, pelan- pelan, seperti pandangan matanya bisa memotongku menjadi dua saat itu juga. Dan ia bisa. Kutarik tanganku dari lengannya, “maaf… “ ucapku setengah malu.
Dia menyeret langkahnya menjauh dariku, lebih cepat dan lebih berisik dari ketika ia menghampiri tadi. Dia adalah kesedihan yang puitis sekaligus keberanian yang menawan. Pada kedua matanya yang bercelak hitam, aku melihat kesedihan hidup yang tak pernah coba dilawan. Dia memberanikan diri, menyerah pada trotoar jalan tengah malam seperti ini. Dia tak ingin diselamatkan. Sementara aku ingin menyelamatkan.
Lalu DOR!!!
***
Aku memalingkan wajah, berhenti mencari lelaki tadi. Di hadapanku seorang waria terduduk dengan dua kaki tertekuk, wajahnya menengadah ke langit dengan mata melotot dalam teror, dari dadanya darah mengalir membentuk sungai kecil. Perempuan- perempuan menor penghuni trotoar ini meraung- raung bersama mami- mami mereka. Laki- laki bau apek berhamburan keluar dari dalam remang bilik tikar warung- warung. Mereka meneriakkan kata- kata, menangis, berlarian sembunyi, mengguncang- guncang tubuhku, tak benar- benar kupahami.
Aku mengembalikan tatapan pada tubuh yang mati terduduk di pinggir trotoar itu. Tubuh yang kini tinggal daging, bahkan namanya aku lupa. Aku berlari pulang. Pulang ke rumah pada Ibuku.
***
Peluru itu menembus tubuh yang tak pernah kuanggap punya nama, kupilih secara acak saja. Tepat pada sasaran, sebelah kiri dada. Perempuan sedih yang tadi menawariku api termangu lama memandangi tubuh di hadapannya, jatuh terduduk dengan mata menghadap ke arah langit tanda telah terbebaskan. Akulah pembebasnya sekaligus pembebasmu, perempuan sedih. Aku menyelamatkanmu. Kabarkanlah sekarang, “Aku hidup, Ibu.”

tamat

3 komentar:

  1. suka multiple PoV-nya.....
    suka ending-nya....
    Kepikir Death Note...hehehe....

    BalasHapus
  2. makasiihh...
    apa dong yg ngga disuka, kasih tau doong :)

    BalasHapus
  3. hmmm.... apa yah..... bagus soalnya....
    aq sndiri hrs byk blajar neh...ck3

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!