Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 16 April 2011

midnight blue

Oleh Stella Nike (@stellanike)


Tengah malam selalu tiba dan lewat tanpa bisa diduga, membawa hal-hal kecil yang berharga (yang terkadang menyenangkan namun sering kali menyebalkan) di saat pergantian hari berlangsung. Hal-hal yang menentukan bagaimana perasaan sang gadis nantinya dalam menghadapi hari. Jika menyenangkan, hatinya akan terasa di awing-awang sepanjang hari. Jika menyebalkan… yah, kau dapat mengira sendiri bagaimana.

Seperti biasa, ia tak bisa memejamkan matanya barang sedikitpun malam ini. Belum sanggup. Lewat tengah malam baru lelah akan tiba-tiba menghantam tanpa ampun, membuatnya langsung pulas begitu menyentuh bantal. Namun jika jarum jam belum menunjukkan pukul dua belas tepat, dirinya masih dipenuhi semangat menggebu-gebu dan energi yang tinggi.

Kali ini ia berdiam di Common Room asramanya yang telah kosong untuk menanti tengah malam tiba. Headphones kesayangan menutupi telinga, mengalunkan nada-nada tinggi dan melodi yang cepat. Tangan memegang mug besar berisi susu cokelat kental yang masih mengepulkan uap hangat, mengirimkan sensasi menyenangkan di sekujur jemari dan merayap hingga lengan.

Dengan hening mencengkeram sekitar dirinya, nampaknya tengah malam kali ini akan lewat tanpa suatu hal yang berarti. Mungkin ini akan menjadi tengah malam paling tenang yang ia dapatkan seumur hidup. Sesuatu yang sebenarnya diharapkan oleh gadis berambut cokelat gelap ini. Namun bukan begitu cara kerjanya. Bukan begitu takdirnya bergerak.

Tengah malam miliknya selalu tiba dengan beragam kejutan. Yang manis atau pahit, tergantung mood roda-roda takdir menginginkannya. Tak mungkin kali ini ia akan lepas dari jeratan benang-benang ironi dari sang takdir, yang suka sekali mempermainkannya tanpa henti.

Seorang muncul, menuruni tangga dengan langkah gontai dan penampilan yang menandakan ia baru saja terbangun dengan tidak menyenangkan. Rambut merahnya acak-acakan, mencuat ke segala arah. Walau begitu, kacamata berlensa tebal masih setia menutupi keindahan manik gelap miliknya, yang terlihat mengantuk.

“Yo!” sapa sang gadis dengan rona merah menghiasi wajah. Ia menangkap sang pemuda membuka bibir, seakan mengucap kata-kata balasan—namun yang terdengar oleh sang gadis hanya alunan musik ceria dengan nada yang membuat ingin bergoyang. Ia menelengkan kepala ke samping, mengerutkan kening dan melemparkan pandangan bertanya.

Sang pemuda menghela nafas panjang kemudian mengambil langkah-langkah panjang mendekati satu sosok yang bersantai di sofa panjang itu. Tangannya melepas headphones dari kepala sang gadis, mengucap gemas, “Hentikan kebiasaanmu mengenakan headphones kalau berbicara dengan orang lain.”

Hanya cengiran disertai kekeh riang yang sanggup diberikan oleh gadis ini. Ia merebut headphones miliknya dari tangan lawan bicara dan menggantungkannya di sekitar leher. Mugnya dipegang dengan dua tangan kali ini. Mengerling tempat di sebelah dirinya, meminta sang pemuda duduk di sana tanpa kata. Namun dasar orang tidak peka, laki-laki bersurai merah itu masih saja berdiri di belakangnya tanpa ada tanda-tanda berniat duduk.

“Kau tidak tidur?”

“Belum tengah malam,” jawab sang gadis dengan santai. Ia menyesap sedikit cairan gelap dalam mug, merasakan kehangatan menyelimuti, lalu menjilati bibir yang terasa lengket. Baru kemudian melanjutkan, “Tidak bisa tidur kalau belum berganti hari.”

Terasa ada yang menyentuh kepalanya, membuat sang gadis mendongak heran—mendapati bahwa sang pemuda sedang mengacak-acak rambutnya. “Memang tidak capek ya?” Jeda. Masih mempermainkan helai-helai gelap rambut sang gadis dengan lembut. “Dasar kelebihan tenaga. Padahal semua orang terkapar di kasur sedari tadi.”

Bibirnya dimajukan dengan lagak ngambek. “Aku memang tidak bisa tidur sebelum tengah malam,” ucap sang gadis dengan nada manja. Memberitahukan sebuah fakta yang cukup aneh mengenai dirinya. “Salahkan jam biologisku.” Balas memandang lurus-lurus. “Kau sendiri ngapain bangun?”

“Ada yang melindur, menyebutkan macam-macam mantra dan gunanya dalam tidur,” gerutu sang pemuda. Mendecak kesal. “Padahal minggu ujian baru saja berakhir, tapi penderitaanku ternyata masih berlangsung.”

Tawa polos yang renyah terlepas dari bibir tipis sang gadis. Denting jernih suaranya mewarnai ruangan yang lengang, yang hanya berisi dua anak adam dan hawa. Ia menyentuh tangan yang menempel di puncak kepalanya. “Sabar ya,” tapi nadanya sama sekali tak menunjukkan rasa prihatin ataupun simpati. Murni menertawakan.

Lagi sang pemuda mendecak kesal. Ia merebut mug yang dipegang oleh lawan bicaranya tanpa permisi. “Besok pagi temani aku jalan-jalan.” Sebuah pernyataan, bukan pertanyaan apalagi permintaan. Dan setelah mengucapkannya, ia berbalik, melangkah kembali ke arah tangga. Nampaknya berniat kembali ke alam mimpi.

“Heh? Apa itu maksudnya?” ujar sang gadis dengan tatapan jengkel. Satu pertanyaan yang dimaksudkan untuk dua kejadian barusan: susu hangatnya diambil paksa dan pemaksaan kehendak. Dua hal yang dilakukan oleh satu manusia menyebalkan yang tak memberikan kesempatan baginya untuk memprotes. Tangannya disilangkan di depan dada.

“Kencan,” seru sang pemuda tanpa menoleh. Ia melambaikan tangannya yang bebas. “Sudah tengah malam, tidur sana. Kutunggu jam delapan nanti di sini.” Langkahnya terhenti di dasar tangga. Kepalanya ditolehkan sekilas. Lensa kacamatanya berkilat di kejauhan. “Terima kasih susunya!” Dan ia pun menaiki undakan menuju kamar tidur.

Sang gadis membuka-tutup bibirnya, bermaksud membalas sang lawan bicara namun tak ada kata yang terucap. Wajahnya terasa panas, menandakan merah sedang menjajah putih kulitnya. Ini pertama kalinya ia diajak—diajak… pergi bersama laki-laki judes itu. Kencan katanya. Harus bereaksi seperti apakah dirinya? Ditambah lagi, minumannya diambil. Benaknya membatin penuh goda, ciuman tidak langsung.

Ia menggelengkan kepala keras-keras, menghapus segala pemikiran yang membuat hatinya jungkir balik. Pemuda itu… selalu saja begini, mempermainkan perasaannya, membuatnya melambung senang—tapi juga kesal di satu waktu. Namun tak dapat dipungkiri, ia senang. Maniknya bergulir, menangkap jam yang menunjukkan waktu. Lima menit lewat tengah malam.

Saatnya tidur. Jantungnya berdebar-debar menyenangkan dan rona merah masih lekat di pipinya. Tengah malam memang selalu membawa hal-hal kecil yang tak pernah terduga. Hari ini nampaknya akan ia lalui dengan hati berbunga-bunga.

FIN

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!