Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 22 April 2011

Rumah Baru Seribu Peluru

oleh: @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com



Kalian pun pasti akan refleks menoleh, tatkala sebuah truk bak terbuka yang mengangkut serangkaian mebel mengerem mendadak. Lengking bunyi rem dan gesekan ban pada aspal membuat anak seorang pedagang kaki lima terkaget dan terbangun seraya menangis memanggil-manggil ibunya. Sang ibu yang waktu itu sedang mengisikan bensin pada tangki motor seorang pembeli mendadak panik lantas buru-buru mengambil bayinya dalam sekotak rumah warung pinggir jalan ke dalam pelukannya. Dan ibu itu tambah terkejut lagi tatkala sang pembeli tadi sudah menancap gas padahal belum membayar sepeser pun.

Bayi dalam gendongannya perlahan diam. "Ada apa sih itu Pan?" tanyanya pada seorang penjual bakso yang ikut berlarian ke arah gerbang kota "Ada yang hampir ketabrak!"

"Heh! Mau cari mati kau!" kondektur truk itu turun dan menunjuk-nunjukkan kunci inggris dalam genggamannya kepada lelaki itu. Otot-otot lengannya yang legam tampak penuh dan bertonjolan.

Tapi laki-laki itu bergeming. Ia melangkah dan membelah kerumunan masa, berjalan dengan seulas senyum di bibirnya yang kering dan pucat.

"Oh, dasar orang gila!" Seseorang mencemoohnya tatkkala ia meraba Gerbang kota yang menjulang. Pendengaran laki-laki itu normal, hanya saja ia lebih berkonsentrasi mendengar suara keributan di kepalanya.

"Sabarlah sayang, sebentar lagi kita akan punya rumah baru."

Sayang? Ah kalian jangan berpikiran macam-macam. Sayang itu bukan panggilan bagi semacam kekasih yang hamil lantas diusir dari keluarganya karena menerbar aib. Bukan anak-anak yang terlantar dan ditinggalakan bersama ibunya tanpa harta mencukupi. Bukan ibu kandung serupa ibu Malin Kundang yang ditinggal merantau sebatangkara. Sungguh, ia lelaki baik-baik.

Yang ia sebut sayang hanyalah anak-anak. Ya, anak-anak yang telah begitu lama tumbuh menyiangi sulur daun-daun kesepiannya. Anak-anak yang ia tak tahu dari mana datangnya. Yang ia tau anak-anak itu datang saat ia roboh bersamaan dengan deru derap kepergian orang-orang terkasihnya; istri, tiga putra, ibu kandung, bapak mertua, dan beberapa orang penduduk desa lainnya.

****

"Stop! Stop pak!" Seorang reporter berita tiba-tiba menepuk pundak supir taksinya. Dengan gerak cepat ia bersama rekannya keluar sambil setengah membanting pintu taksi yang di kaca belakang dan depannya tertulis "tarif bawah" itu.

Sebentar kemudian lensa kameranya telah merekam gambar-gambar yang berfokus pada seorang laki-laki yang setengah kuyup berada di hampir pertengahan bundaran air mancur di pusat kota yang penuh gedung-gedung pencakar langit.

"Ah dia cuma orang gila Jo!" Protes rekannya itu yang telah siap dengan sebuah mic.

"Bukan! Gue kayaknya sangat akrab dengan orang ini" ia menambah zoom pada kameranya sehingga wajah lelaki itu penuh di layar kamera. "Astaga! Liat Ji topinya! Kepalanya bolong! Ya ampun dia Pak Sardi dari dusun yang dibantai itu Ji!" Belum sempat ia menambah zoomnya tiba-tiba lelaki itu tenggelam menyelam ke dalam kolam.

Kedua reporter itu terkaget, dan seperti menjadi aneh dan asing sendiri berada di pinggir bundaran sementara arus lalu lintas yang lewat begitu padat namun tak peduli dengan apa yang terjadi.

"Keluarlah sayang, masuklah ke rumah baru kalian, rumah dari mana kalian berasal."

Tiba- tiba dari dalam air itu berdesingan ratusan peluru. Beberapa meleseat melewati kedua reporter itu.

Di tengah kota yang sebesar ini, desingan peluru yang melesat begitu cepat itu tak ubahnya partikel debu yang bertebangan di udara, tak terhiraukan.

Beberapa jam kemudian stasiun-stasiun televisi dan kantor-kantor berita disibukkan untuk memberitakan kematian pejabat dan petinggi negeri di puluhan tempat yang berbeda; di mall, salon, ruang sidang, lapangan golf, cafe, bahkan di atas ranjang sebuah hotel.

Lalu di mana laki-laki itu sekarang? Awalnya tubuhnya ikut menyerpih bersama terbangnya peluru-peluru itu. Mungkin ia kini berumah di debu-debu udara kota, yang teramat mungkin kalian hirup tadi siang.

2 komentar:

  1. Wuah!
    Ternyata~~~~~~
    Unpredictable bnr~~~~~

    BalasHapus
  2. Hehe, makasih ya apresiasinya, ditunggu saran kritikknya juga.. :D

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!