oleh: Monica (@moniclarina)
Disini aku duduk di taman. Suasana kota sore ini cukup sepi. Beberapa mobil hanya berlalu-lalang tak menghiraukanku. Aku disini… Duduk di kursi taman dengan tatapan kosong. Namun didalam diriku sekelebat potongan peristiwa terus terbayang seperti meneriakiku untuk menemukan potongan lainnya.
Sore itu… Masih terbayang kejadian itu… Kejadian yang tak akan pernah aku lupakan. Saat pertama kalinya aku bisa menangis… Untuk seorang laki-laki. Nampak seperti ada layar televisi lebar di hadapanku yang mem-flashback semua kejadian itu… “Chika… Liat deh matahari itu! Bagus yah... Jadi inget deh waktu kita dulu liatin matahari terbenam… Kamu masih inget ngak?” kata remaja laki-laki itu, Ray namanya. Wajahnya yang tampan, putih bersih, dan matanya yang indah dan hangat, selalu membuatku terpesona. “Masih dong… Aku ingat banget. Dulu kita selalu duduk di trampolin kita berdua sambil nungguin matahari terbenam, abis itu kita cerita-cerita deh! Jadi kangen deh…” jawabku. Kupandangi wajahnya sesaat, ia yang sedang menatap matahari dengan raut wajahnya yang berseri-seri dan melukiskan suasana hangat yang mendalam. Andai ia milikku, pikirku dalam hati. Mungkin aku egois. Tapi... Aku terlalu menyayanginya. Sayang sekali. Seminggu lagi hari pernikahannya, dan aku hanya punya waktu beberapa hari lagi untuk tetap bersamanya. Setelah itu… Yah mau tak mau aku harus melepasnya. Mungkin bukan aku calon yang terbaik untuknya, hiburku dalam batinku. “Ray, kamu yakin nih sama si Celine? Jangan sakitin dia lho, pokoknya jangan pernah buat cewek patah hati. Janji yaa?” Padahal saat ini pun dia sudah membuatku patah hati. Sulit sebenarnya mengucapkan kalimat tadi. Tapi… Biarlah, untuk menyemangatinya, asal dia senang, yah.. semoga aku pun juga senang. “Oh pasti aku yakin dong! Percaya deh sama aku! Janji kok! Janjii!! Aku pasti jodoh terrrbaaaikk untuk dia!” ujar Ray bersemangat. JLEP… Seperti ada pisau yang menusuk jiwa ragaku sekarang… Kucoba tuk lepaskan pisau itu, tapi tak bisa. Kuatnya tancapan itu makin membuatku sakit… Sakit sekali… Sakit yang sangat tak tertahankan. Perih hatiku menahannya.. Apakah Ray tak pernah sadar? Kata-katanya sungguh membuatku terbunuh. Badanku lemas, mungkin saja wajahku pucat dan air mataku pun mulai menetes. Ray… apakah kamu tak pernah tahu? Kuhapus air mataku dan kucoba untuk memaksakan diriku tersenyum padanya. Meskipun aku sendiri tiba-tiba lupa caranya untuk tersenyum. Inikah nasibku?
Hari ini… Tepat disini... Di gereja ini... Aku sedang duduk disini menatap dirinya. Ray dengan Celine yang sedang duduk di depan dengan muka berseri-seri. Tangisanku sudah tidak keluar lagi. Aku tak tahu, mungkin aku sudah bisa menerimanya, ataupun tak ada lagi stok air mata yang ku punya karena habis untuk menangisinya. Disana… Di depan sana nasibku ditentukan. Di ambang-ambang antara perkataan yang akan keluar dari mulutnya. Aku takut kalau ia berkata... Ah, aku menepis perasaanku... Saat ini juga aku merasa aku sangat egois. Saat aku masih sibuk dengan lamunanku sendiri, tiba-tiba.. “Aku bersedia..” Rasa itu… Rasa itu yang pernah kurasakan dulu.. Semua kenangan aku dan dia terputar berulang-ulang kali di kepalaku. Rasa sakit yang pernah kurasakan dulu. Mengapa harus kurasakan kembali? Mengapa? Badanku lemas. Air mataku tak dapat kubendung lagi. Perlahan meluncur menuruni wajahku. Inikah nasibku? Inikah akhir perjalananku dengannya? Mengapa harus dia ukir kesedihan di dalam kisahku dan kisahnya ini? Mengapa?
Aku terusik dari lamunanku. Dulu ini kota favoritku. Aku mencintainya… Aku menyukainya.. Namun setelah kejadian itu, aku benci kota ini. Aku benci semua kejadian di kota ini. Aku benci. Aku benci. Semua hal disini mengingatkanku semua hal tentang Ray. Maafkan aku, bukan bermaksud untuk membenci kota ini… Tapi sayang, Ray mengukir kenangan itu di sini. Tapi kini kucoba untuk melupakannya, kucoba untuk memulai hidup baru tanpanya. Aku yakin aku bisa... Aku pasti bisa… Tak kusadari air mataku sudah meluncur membasahi wajahku. Aku berdiri dan beranjak dari taman ini sambil menghapus air mataku. Ray… Maafkan aku jika aku menyalahimu akan semua perilakumu... Sekarang aku sadar... Betapa egoisnya aku saat itu... Betapa egoisnya aku sampai aku mau mengatur hidupmu... Maafkan aku... Maafkan. Sekarang, aku takkan membenci lagi kota ini… Aku sudah siap untuk menerima semuanya. Semua kejadian dalam hidupku. Aku akan mulai lagi untuk mencintai kota ini. Dan bangkit dari keterpurukanku saat aku jatuh dulu. Biarlah semua ukiran kisah kita tetap kuingat selalu di kota ini. Biarlah kota ini yang menyimpan semua kenangan ini. Dan takkan terlupakan selamanya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!