Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 02 November 2011

Sekali Ibu Sampai Kapan Pun Kau Tetap Ibu

Oleh: Hana Arintya



Apakah Ibu tiri harus selalu jahat? Entahlah. Waktu aku kecil dan membaca dongeng Cinderella Ibu tiri adalah sosok yang jahat itu tapi kan dongeng buatan luar negeri. Tapi, dalam negeri pun ada dongeng serupa berjudul Bawang Merah dan Bawang Putih. Hmm, tapi itu kan dulu. Bagaimana kalau ternyata kebalikannya justru Ibu tiriku wanita yang baik dan Ibu kandungku malah sebaliknya? Entahlah tapi ini sepenggal kisahku.

Jadi sebut saja namaku Bunga. Well, nama yang terdengar pasaran. Tapi ku harap kisahku nggak terlalu pasaran. Hmm jadi bagaimana biar aku mulai saja dari bagian ketika masa kanak-kanakku. Aku anak tunggal. Ayahku dia tadinya lelaki yang baik. Hmm sepertinya sih begitu. Oh iya sebelum menikahi Ibuku sebelumnya dia sempat menikahi wanita lain. Jadi bisa dibilang Ibuku istri ke-2. Ayahku tidak terlalu kaya, tapi rasanya juga tidak terlalu miskin. Ya, kehidupanku berkecukupan. Menurutku sih begitu. Cukuplah buat makan 3 kali sehari. Cukuplah untuk aku memiliki pakaian yang pantas.

Entah bagaimana ceritanya sepertinya Ayah keranjingan video dewasa yang berbahaya. Soalnya aku sering mendengar suara Ibu berteriak seakan menahan sakit. Mendengarnya saja aku sudah rasanya tidak sanggup apalagi membayangkannya. Kalau mama tidak ingin menuruti permintaan papa, papa tidak akan segan-segan main fisik. Rasanya mamaku tak ubahnya binatang. Tapi, Mama terlalu sayang dengan papa. Mama terlalu cinta dengan papa lagipula posisi mama yang hanya Ibu rumah tangga membuat mama nggak punya daya upaya apa – apa kalau papa berlepas tangan dari pembiayaan terhadap aku dan mama.

Tiba- tiba saja papa meninggalkanku dan mama. Mama yang stress menyiksa dirinya dengan merokok dan mencoba melukai dirinya dengan apapun itu cara yang terbersit dibenaknya. Sepertinya rasa sakit yang telah papa tanamkan seolah-olah menjadi kebiasaan untuk mamaku. Aku pernah mendekat atau menghampiri ingin mencoba menolong tapi mama yang sudah gelap mata malah memberiku hadiah luka sudutan rokok. Melihat aku menangis dan ketakutan mamaku yang telah gelap mata seakan-akan puas menjadikan ketidakberdayaanku sebagai objek hiburannya.

“Mama.... sakit.... sakit,ma. Apa salah Bunga mama?”

“Nangis aja yang keras. Teriak aja yang keras. Hahaha.”

“Mamaaaa....”

Aku hanya bisa melampiaskan rasa sakit itu dengan teriak dan menangis. Kalau sudah terlalu lelah, aku akan memilih untuk tidur. Tapi, mama nggak akan senang melihatku tertidur. Tidak secepat itu baginya.

Tante Rina suatu hari datang ke rumahku untuk ingin menyebarkan undangan pengajian. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menemukan dirumahku sosokku yang sedang menderita. Saat, itu juga untuk sementara aku diangkat anak oleh Tante Rina. Sedangkan mamaku diamankan dengan dikirimkan ke rumah sakit jiwa. Bisa saja sih mamaku dikirimkan ke penjara tapi sepertinya yang lebih mamaku butuhkan adalah rumah sakit jiwa.

Jadilah akhirnya aku sudah seperti anak sendiri bagi Tante Rina. Anak – anak tante Rina laki-laki semua. Karena aku anak perempuan satu-satunya disana beruntunglah aku jadi dispesialkan. Suami baru tante Rina adalah seorang ustadz dia tergolong loyal dalam berbagi ilmu agama. Disinilah rasa memilikiku akan kehadiran Tuhan kian terasah.

Aku selalu mendoakan kebaikan Ibu disetiap sholatku. Disetiap malam sebelum tidur. Disetiap waktuku setiap kali aku ingat Ibu aku pasti akan selalu mendoakannya. Kadang aku mencemaskan apakah Ibu tidur dengan nyenyak? Makan dengan enak? Masihkah dia menyakiti dirinya? Sebenarnya lucu juga bagaimana kalau misalnya ada Ibu yang durhaka pada anak masihkah akan kau anggap dia sebagai ibumu?

“Bunda, bolehkah aku pergi ke tempat mama? “

“Hmm. Tapi Bunda takut dia akan menyerangmu. “

“Tidak apa-apa,Bunda, aku sudah cukup kuat untuk mempertahankan diriku dibandingkan saat itu. Kan sekarang aku sudah 15 tahun. Aku sudah SMA sebentar lagi usiaku 17 tahun.”

“Iya. Tapi itu kan 2 tahun lagi. Yasudah biar Bunda minta tolong Rio untuk menemanimu ya Bunga. “

“Ah ga pa-pa kok Bunda sendirian juga.”

“Jangan begitu kamu kan sudah seperti anak Bunda sendiri.”

“ Ya sudah deh Bunda. Terima kasih.”

Pada akhirnya niatnya nggak mau merepotkan tante Rina alias Bunda dan anaknya tapi akhirnya aku merepotkan salah satu dari mereka. Karena Bunda yang meminta walau ogah-ogahan mau juga Rio mengantarkan aku ke RSJ yang lama sekali aku tak pernah menghampirinya.

Di RSJ

Aku langsung menuju kamar dimana mamaku dirawat. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin melihat wajahnya. Sosoknya. Aku ingin memeluknya. Memanggilnya “mama” sebuah panggilan sederhana yang lama sekali tidak pernah aku gaungkan.

Ketika aku sampai didepan pintu kamar mama dan melongoknya lewat kaca pintu. Aku nyaris tak percaya dengan sosok yang aku liat. Seketika itu juga aku merasa lemas hingga terduduk. Mama.... Ya Tuhan mama! Benarkah dia mama? Sosok yang sekian lama tak pernah aku lihat. Air mataku mengalir awalnya sedikit lama-lama saling menyambung hingga sudah begitu deras.

Mama. Mama. Mama. Mama yang duluuu sekali aku lihat aku kenali saat ini tampak seperti orang lain saja. Aku tidak yakin apakah itu mamaku ataukah sebuah tengkorak hidup yang hanya tulang saja berlapis kulit tanpa ada daging. Itu apa benar mama ya? Ku kucek-kucek kedua mataku berharap ini hanya mimpi. Tapi sepertinya percuma itu memang benar mama.

Dia tampak sangat kurus. Apakah mereka cukup memberikan makanan enak pada mama ya? Akupun membuka pintu dan berlari ke arah mama. Memeluknya dengan hati-hati. Aku jadi takut tulang-tulangnya akan retak kalau aku terlalu bersemangat memeluknya.

“Mama ini Bunga. Bunga anak mama. “

“Bunga? Anak mama? Benar begitu? Kenapa kamu meninggalkan mama? Bunga jahat.”

“Mama, maaf waktu itu mama bersikap kasar pada bunga. Bunga ngga punya pilihan selain ikut orang lain mama. Ma, Bunga sayang mama. “

“Kalau Bunga sayang mama kenapa ga tiap waktu Bunga datang ke mama? Kenapa baru sekarang Bunga? Kenapa?”

“Karena dulu kalo Bunga dekat-dekat mama entah berapa banyak lagi luka yang akan Bunga tanggung. Itu ga penting ma. Yang penting sekarang Bunga disini untuk mama ayo ma. Biar bunga urus agar mama bisa keluar dari sini. “

Akupun mengeluarkan ponselku dan bergegas menelpon Bunda meminta izinnya agar aku bisa mengeluarkan mama dari tempat dia sekarang berada. Bunda pun menyusul dan membantu proses perizinan agar mama bisa keluar. Rasanya aku tidak sabar menjalani kehidupan baruku.

“Ma, aku bersyukur Tuhan masih ngasih mama nyawa. Mama masih hidup. Bagaimana kalau mamapun berkenalan dengan Tuhan. Soalnya yg namanya manusia itu kan memiliki keterbatasan.”

“Padahal selama ini mama sering berharap kenapa sih Tuhan ngga cabut aja nyawa mama? Kenapa mama masih dikasih kesempatan hidup?”

“Mama harusnya bersyukur ma. Masih ada cukup waktu untuk menjadikan hidup mama lebih bermakna. Syukur-syukur mama bisa meninggal dalam keadaan mati yang indah bukannya mati yang menyedihkan.”

“Begitu ya menurutmu? “

“Iya.” Balasku sembari tersenyum.

Semenjak kepulangan mama dari tempat yang mengisolasinya, sekarang mama lebih mendalami agama dengan dibantu Bunda. Rasanya menyenangkan melihat mama jadi lebih baik dari dulu terakhir kali aku bertemu mama. Suatu hari aku sedang shalat jamaah bersama Bunda, dan mama. Tapi aku bingung karena disalah satu gerakan sujud saat menjelang gerakan salam mama seperti tidak terbangun juga dari sujudnya. Mungkin mama memang sedang terlalu menghayati gerakan sujudnya. Ketika aku dan Bunda mendekati mama seusai shalat aku baru sadar bahwa mama telah meninggal dunia dalam keadaan sujud.

Kesan pertama aku sempat menangis nggak rela. Namun kusadari, bukankah dalam rangkaian bacaan sholatku hidup dan matiku hanyalah untuk Alloh. Jadi aku rasa sosok

mamaku Cuma titipan. Senangnya mama sudah bisa berjumpa dengan Tuhan. Ah akupun yang masih dapat kesempatan hidup harus memaksimalkan perbekalanku sebelum Tuhan menyapaku lewat kematian. Semangat! Karena hidup di dunia sebentar saja. Sekedar mampir. Tuhan, kapan pun itu kau menyapaku semoga aku siap dengan dunia lain itu.

1 komentar:

  1. Tulisannya menyentuh. Cuma dari awal ada sebutan ayah, kemudian papa. Sepele sih :)

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!