Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Hujan membebat raga dalam seutas tali keputusasaan. Memupuskan rencana yang perlahan sirna bersama asa yang hampir di titik musnah. Bola mataku menari bersama lengkingan hujan yang tak kunjung usai. Membasahi bumi namun tak bisa membasahi kantong bajuku yang tetap saja kering kerontang.
Kerontang yang membuat hasrat menyiar kabar tentang pembatalan tak kunjung sampai. Entah apa yang menjebak kabar itu. Yang aku tahu, aku hanya bisa membaca sebuah kata, ditunda. Kupaksakan untuk menjalin persahabatan dengan rinai hujan, tapi ternyata hati tak bisa dipaksakan. Hanya satu kata, batal.
"Wahai hujan, aku mohon sisakan waktu bagiku untuk sekedar menyiar kabar," ratapku dalam hati.
Hujan tak juga bergeming dari yang telah digariskan-Nya. Tetap setia merajut butiran-butirannya untuk menyelimuti bumi dengan titik-titik air. Akupun sama seperti hujan, tak bergeming sedikitpun dari tempatku menapakkan kaki. Di pinggir jendela, selepas sholat Ashar hari itu. Aku biarkan embun tercipta selaksa di permukaan kaca jendela. Berharap pandanganku menipuku bahwa hujan telah reda. Namun bunyi curahan air yang beradu dengan genteng kamarku tak bisa membohongiku. Setiap tetesannya adalah harmoni yang membelah hatiku.
Hatiku semakin terbelah saat perputaran jarum jam bergerak dalam ritme syahdu. Ritme yang mengantarkanku pada rasa kecewa. Untunglah semua hanya sesaat saja. Hujan reda dan akupun mencoba kembali mewartakan berita yang sempat tertunda. Sekilas berita tentang rencana yang akan terlaksana walaupun tidak sesuai dengan waktu yang seharusnya. Sisa-sisa air hujan membimbingku pada keputusan untuk menjemput separuh kehidupanku. Berjanji untuk bersama-sama melepas dahaga kala senja. Dahaga akan sebuah simponi penghibur hati. Dahaga akan sebuah orkestra pengisi jiwa.
Beritapun berbalas dalam sajak berima. Beberapa kata namun sejuta makna tersirat di dalamnya. Hatiku seakan berjingkat dari tempat semestinya. Mendorong sel-sel otakku untuk berpikir tentang arti kata yang terbias. Kesepakatan antara hati dan kaki tak lagi melukai jiwa. Dalam langkah kuhambakan pada sebuah asa untuk bersua.
Sua antara dua raga dalam suka cita saat jarum jam memilih angka lima sebagai persinggahan sementara. Kubuka pintu rumahnya dan kutarik ikatan cinta dengan mesra. Kukaitkan kelima jari tanganku di sela-sela jemari lentiknya. Ayunan langkah kaki yang seiring ayunan jemari menari diantara hamparan rumput yang luas. Kekuatanku mampu menyibakkan kerumunan yang menghadang langkahku dan langkahnya. Membuatnya lebih leluasa membawa sebuah alat musik yang dikalungkannya. Sesekali raga beradu dengan raga lainnya yang menggesek tanpa sengaja. Sampai akhirnya gesekan itu menyadarkan aku kalau ternyata lembaran untuk membeli tiket konser itu tidak berada dibalik jahitan kantong bajuku.
"Maafkan aku sayang, karena kelalaianku aku tidak ingat membawa serta lembaran untuk kita bisa menikmati orkestra penghibur jiwa kita," kataku pelan yang akhirnya menghilang bersama harumnya bau tanah sisa hujan.
Raga disampingku tersenyum dan mempererat genggamannya pada jemariku. Seulas senyum penuh arti layaknya goresan sebuah warna pada bianglala di langit jingga kala senja itu. Aku memahami makna senyuman itu, bahwa tanpa lembaran tanda masuk-pun sebenarnya aku dan dia bisa menyaksikan keindahan sebuah maha karya. Seperti biasanya, di penghujung untaian irama aku dan raga-raga lainnya bisa bebas untuk menyaksikan lantunan notasi dalam sebuah melodi.
Waktu yang bersahabat membuatku bisa melewati padang rumput serupa lapangan bola dan ilalang serta perdu yang tumbuh diantaranya. Aku segera mengambil tempat dimana seharusnya aku berada. Di sebuah pokok pohon mahoni yang banyak tumbuh disana, di tepi perigi pinggir desa. Aku melepaskan jemariku dari sela-sela jemari lentiknya. Dengan serta merta jemari lentiknya memainkan alat musik pukul berupa gendang kecil yang sejak tadi dikalungkannya. Irama tercipta dari pukulan-pukulan berirama membangunkan penghuni perigi.
Penghuni perigi bersahutan berlagu dendang seirama lantunan gendang. Sebuah konser maha karya yang Kuasa-pun tercipta seketika. Aku dan penikmat tembang lainnya bergoyang seirama desir angin yang berhembus melankolis. Aku yang hanya ditemani semak dan perdu tepian perigi begitu menikmati konser hujan kala senja. Perpaduan alami antara dendang katak selepas hujan diiringi tabuhan gendang oleh Billy, monyet mungilku yang berjari lentik dan biasa aku ajak untuk bermain topeng monyet. Dan konser hujan itu telah berhasil membiusku. Membiusku dalam sebuah pesona yang mampu membuatku lupa bahwa aku tidak memiliki cukup biaya untuk bisa menyaksikan konser maha karya seorang pekerja seni suara tingkat dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!