Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 24 April 2011

Konser Tunggal Sang Rembulan‏

Oleh: Renata (@personaNOX)


Untuk yang kesekian kalinya, Tsuki duduk manis di sana.

Ya, di tempat itu. Sudut di mana bundanya sering meletakkan lukisan besar yang indah—yang katanya dibeli untuk anak gadisnya seorang. Ruangan mewah bergaya Renaisans tersebut kini kembali hening, setelah hiruk-pikuk pesta yang setahun sekali diadakan untuk membuat gadis muda ini kembali tersenyum. Oh, dia tidak tinggal sendirian dalam istana megah itu—tentu saja. Ada Rafael yang setia menemani nona mudanya dan siap sedia kapanpun sang majikan memanggilnya. Dia diciptakan untuk Tsuki, begitu yang diucapkan sang baron sebelum akhirnya pria kharismatik itu meninggalkan benua untuk menunaikan tugasnya.

“Aku haus.”

Kalimat yang terucap dari bibir Tsuki tidak pernah lebih dari sepuluh susunan kata. Sebenarnya ia adalah seorang gadis yang ramah dan penuh dengan kehangatan yang mampu mencairkan es—sedingin apapun. Banyak pemuda yang ingin memperistrinya, karena paras bak boneka porselen dengan surai hitam yang lebat membingkai wajahnya menarik perhatian tiap laki-laki yang ada. Namun hal tersebut hanyalah masa lalu. Sebelum sepasang cermin safir kelabunya merangkum apa yang terjadi lima tahun yang lalu di depan dirinya sendiri. Sebuah kejadian yang—katakanlah—tidak terlampau kejam saat itu tetapi mampu membuat seorang anak perempuan yang baru berusia enam belas tahun bungkam setelahnya.

Sebuah konser.

Kalau yang kau bayangkan adalah konser yang kusebutkan tadi layaknya opera dengan susunan alat musik klasik dengan alunan irama yang menenangkan—dirimu salah besar, kawan.

Dalam kerajaan itu—sudah menjadi hal yang lumrah bagi para pemuda yang baru saja berumur enam belas tahun untuk memegang senjata mereka sendiri. Bukan bayonet sepeti tentara Jepang di masa Perang Dunia kedua ataupun pedang saat Raja Arthur memerintah, bukan. Alat yang digunakan tidak serumit itu. Mereka hanya membutuhkan seutas benang panjang atau satu set jarum dan kemampuan untuk bergerak lincah di atas rata-rata. Dan semuanya—konon, untuk proses pendewasaan diri mereka sendiri. Tsuki remaja saat itu ada dalam kursi penonton, memperhatikan kakak lelakinya dengan seksama—Yue namanya. Bibirnya membentuk kurva manis yang mampu membuat tiap laki-laki bertekuk lutut di hadapannya dan satu tangannya memegang kipas berenda hadiah sang ibunda.

Permainan yang diadakan di lapangan utama saat itu sudah menjadi tradisi turun-temurun. Tiap pemuda akan diberikan pemuda mereka masing-masing yang tak lain dan tak bukan adalah kawan seangkatan mereka sendiri.

Hanya kali ini, sang Ratu menginginkan sesuatu yang lain.

Mata para lelaki muda tersebut ditutup dengan kain hitam—berarti mereka hanya akan mengandalkan intuisi belaka. Perayaan tahunan itu berlangsung cepat, dengan permadani hijau yang kini mulai diwarnai dengan bercak merah dan pekikan-pekikan kecil. Satu-persatu pemuda terjatuh, Tsuki belum menunjukkan reaksi apapun. Paras tenangnya tetap terlukis di sana dan tubuhnya tidak bergeming dari tempat duduk istimewa yang disediakan. Gelungan rambut hitam mengkilatnya masih tertata rapi, berada di atas kedua bahunya dengan anggun. Sayangnya, hal-hal macam itulah yang menggelitik hati sang Ratu.

Yue berdiri sebagai pemenang mutlak dari permainan—setengah jam setelah bel dibunyikan. Waktu yang terbilang cepat dibandingkan dengan perayaan-perayaan sebelumnya. Penutup matanya dibuka dan sang kakak kembar tidak menunjukkan senyum sama sekali tatkala ia melihat teman-temannya tergeletak tanpa nyawa di atas genangan darah. Hanya sekali kedipan dan kepalanya ditolehkan, mengarah kepada adik tersayangnya yang memperhatikan apa saja yang terjadi tiga puluh menit yang lalu. Tidak ada kata yang terucap, tidak ada bahasa tubuh yang diutarakan.

Lima detik keheningan berlalu sebelum akhirnya, Tsuki menjerit.

Cairan merah pekat lain mengalir di atas dadanya sendiri.

Salah satu pengawal sang Ratu berdiri di belakang, dengan tombak di kedua tangannya.

Sang adik masih bernapas.

Hujaman kedua diberikan. Sampai sang gadis menghembuskan napas terakhirnya.

Apalah artinya seorang bangsawan tingkat rendah di kerajaan tersebut. Yang mampu ditangkap oleh Yue sesudahnya adalah sorak-sorai penonton atas kemenangan yang sudah diraihnya. Kematian sang adik tercinta yang baru saja berlalu tidak diindahkan oleh siapapun, bahkan kedua orangtuanya sendiri. Marah, ya. Darahnya menggelegak dalam tiap nadi yang ada di tubuhnya. Tapi sekali lagi, apa dayanya sebagai seorang anak lelaki yang masih hijau? Yang beberapa menit lalu baru saja diterjunkan dalam rimba buas. Permainan yang tidak akan pernah bisa diubah oleh siapapun. Dia menjadi saksi—seorang diri atas konser tunggal yang diberikan Tsuki. Bibir koral yang biasa melantunkan lagu klasik kini meneriakkan nada-nada lain yang tidak pernah disangka oleh Yue.

Apapun akan diberikan olehnya.

Hanya saja—Tsuki adalah milik Yue seorang.


Yah, sudah lima tahun berlalu sejak perayaan tersebut dan sampai saat ini, baik Raja ataupun Ratu yang memerintah masih menjalankan tradisi tersebut. Rumor yang beredar di antara rakyat adalah—Yue menyusul kematian Tsuki dengan menenggak racun mematikan. Hal itu memang benar adanya, karena tidak akan ada lagi Yue remaja dalam kerajaan itu. Yang tidak diketahui oleh orang-orang, Tsuki masih hidup. Dalam kastilnya sendiri, dalam dunianya sendiri. Tubuhnya memang tiada namun, jiwanya kini hidup dalam selongsong yang diberikan oleh sang kakak. Konser tunggal seorang Tsuki masih bergaung dalam otaknya. Dan kalau kau mendengarkan dengan seksama, kau bisa menemukan sang gadis bernyanyi lembut dalam kastilnya yang mewah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!