Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 24 April 2011

Seruling Bambu

Oleh: @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com

"Pasti! Pasti aku akan menginjak-injak batang lehernya tepat di gerbang ini!"

*****

Emak masih saja tertawa geli sambil sesekali menggigit-gigit bibirnya. Mungkin agar tak terlalu terbahak-bahak. Sesekali ia bahkan mengusap sudut-sudut matanya yang berair. Entah karena mengiris bawang atau karena tertawanya itu, yang jelas aku merasa tersinggung sekali.

"Sudah ah Mak, ndak ada yang lucu," gerutu Maman sambil menggerak-gerakkan kayu di tungku.

Tapi Emak malah berdiri dan bergegas menuju kali sambil masih menahan tawa. Dengan jengkel Maman memasukkan kayu ke dalam tungku, melangkah menuju kamar dan membiarkan rebusan singkong itu menggelegak.

Di kamar, giliran Maman yang senyam-senyum sendiri sambil menggenggam seruling bambunya. "Ah, Mas Maman gantengnya." Ia mulai membayangkan bagaimana Sari -pujaan hatinya- menyambutnya nanti malam. Begitupun esok teman-temannya yang tak akan meledeknya lagi dengan julukan si raja dangdut.

"Hahaha!! Eladalah kamu ini kok mau nonton musik rock, ya ndak pantes lah, hahaha..." Tiba-tiba ledekan emaknya tadi membuyarkan lamunannya.

*****

"Udah siap?"

"S..sudah."

"Eh, bentar ya, kita nanti bareng teman-temanku ya, naik mobil mereka, ndak apa-apa kan?"

Maman mengangguk pelan, sementara Sari dengan cepat masuk ke dalam rumah dan mengambil telfon genggamnya.


Setelah dibiarkan mematung belasan menit di depan pintu, Sari berhambur keluar, itu pun karena menyambut deru mobil di halaman. Saking kencang larinya, parfum yang telah disemprotkan ke tubuh rampingnya berhamburan ke udara. Wanginya membuat Maman menarik nafas begitu panjang, begitu dalam.

*****

"Kamu yakin dia ini temanmu Sar?" seorang pemuda menoleh kepada Sari lalu kembali melempar pandangan keluar kaca di depan setirnya.

"Ih! Iyalah Jon. Mas Maman ini teman mainku dari SD. Asik orangnya kayak kamu, tuh lihat warna kemeja sama kaosmu aja samaan." Sari meledek sambil memegangi lengan pemuda yang ia panggil Jon itu.

Di kursi belakang, Maman duduk mengkerut, mengusap-usap kemeja biru tipisnya lalu mengelus rambutnya yang begitu lengket oleh minyak rambut. Kedua teman Jon di sampingnya (seorang laki-laki dan perempuan) tampak meliriknya dengan tatapan jijik.

"Tapi sepertinya ia cukup kuat buat nyobain bubuk-bubuk kita Jon." Kata yang lelaki di sebelah Maman.

"Hush!" Jon melirik tajam.

"Bubuk? Apa itu Jon?" Sari penasaran.

"Ah, bukan apa-apa. Oh ya, beruntung sekali kita kedatangan mereka ya, band besar menggung di kota kecil, huufft...."

*****

"Itu dia Bos!"

Segerombolan lelaki bertubuh kekar keluar dari sebuah warung. Seseorang diantara terlihat tertinggal masuk kerumunan karena menyempatkan menenggak habis cairan di botolnya.

"Kita menyebar lalu pepet dia. Buat serapi mungkin agar tak mencolok."

Suara musik band pembuka sudah memecah udara stadion. Penonton yang mengantri di pintu masuk makin berdesak-desakan. Sari berjalan sambil menggelayut di tangan Jon. Maman kelabakan sendiri karena tak pernah berada dalam suasana yang ramai dan sepadat ini. Dalam hatinya mulai timbul penyesalan.

*****

"Biru!" Sebuah bisikan di telinga.

"Ayo, biar dia tau rasa, sudah pakai barang kita tapi menjebak bos kita sampai dipenjara." Dua tangan mengepal penuh kesal.

Suasana begitu ramai, sesak dan menjadi remang dalam kerumunan. Sekitar sepuluh orang mulai mengumpul pada satu titik. Sari dan Jon berhasil menerobos kerumunan dan masuk stadion. Maman tertinggal dan tiba-tiba serangkaian tangan menjatuhkannya, dilanjutkan hentakan kaki bertubi-tubi.

******

Malam begitu kelam. Awan-awan hitam berarak menutup wajah bulan, seperti tangan seorang ibu yang menutup wajah putranya dari pemandangan yang begitu menyeramkan. Angin begitu dingin seperti membawa ribuan jarum yang menusuk tulang. Tak hanya jarum, angin malam itu selaksa ratusan kuda tunggangan yang menyebar ke penjuru kampung, membawa alun suara seruling dengan nada-nada yang begitu pilu. Suara seruling bambu yang ditiup tepat di samping gundukan baru, tanah pekuburan di ujung kampung.

Siapa sangka, tawa Emak kemarin siang adalah tawa untuk terkahir kalinya pada putra semata wayangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!