Oleh: Rheza Aditya (@gravelfrobisher)
“Maaf,” kau berkata, tampak sangat menyesal dengan perbuatan keji yang telah kau lakukan. Aku bisa melihat dari kekelaman matamu, dan betapa dirimu hanya sanggup mengucapkan sepatah kata bermakna dalam setelah terdiam selama beberapa menit.
Aku menoleh, memalingkan wajah untuk melihat ke arah ibuku. Untuk terakhir kalinya.
Jenazah kaku beliau tergeletak tanpa nyawa di atas lantai keramik yang dingin. Pakaiannya yang kini ternoda bercak-bercak merah, yang dulunya melambai bersama angin ketika dikenakan, kini tampak seperti pakaian boneka yang tidak bernyawa.
Aku kecewa.
Aku merasa marah.
Ayah, mengapa kau mengkhianati ibu?
Masih sedikit terisak, aku menyeka gumpalan-gumpalan air yang meluncur dari mataku. Aku masih terduduk di meja ruang makan, sementara beberapa orang yang sudah kupanggil sebelumnya bergegas memasukkan cangkang duniawi ibu ke mobil jenazah. Sungguh sakit hatiku melihatnya, betapa seorang yang lembutnya mampu membuatku merasa aman, dan nyanyian pengantar tidurnya yang dulu selalu kunantikan setiap malam.
Aku menatap ke dalam mata ayahku, yang kini tertunduk ke bawah. Dia menatap ke arah meja makan, yang seolah memiliki sesuatu yang sangat menarik sehingga dia tidak bisa melepaskan pandangannya. Padahal, aku tahu dia hanya menghindari tatapan diriku.
“Ayah,” gumamku. Aku tidak sanggup mengucapkan lebih dari itu. Sama sepertinya, aku telah kehilangan kekuatan untuk merangkai kata-kata. Betapapun aku menyebut diriku sendiri penulis, pembicara, dan ahli bahasa. Betapa diriku sudah tumbuh dan dididik dengan intensif untuk dapat menguntai kalimat-kalimat indah dan berbobot dalam jenjang kuliah.
Aku kehilangan kemampuanku.
Kini, aku bagaikan seorang bayi yang hanya mengetahui beberapa kosa kata, tak sanggup untuk merangkainya, ataupun memahami artinya.
“Maaf,” katanya lagi. Aku bisa melihat jelas bahwa apa yang dia lakukan selama ini memang benar disesalinya. Hanya dengan sekilas pandang sebetulnya aku sudah tahu bahwa ayahku adalah orang yang pertama menangisi kepergian ibu.
Aku memandang foto itu; selembar kertas yang merusak hubungan harmonis keluarga kami. Selembar kertas bergambar yang membuat ibuku merasa begitu dikhianati, sehingga sampai-sampai dia tak tahan lagi dan memutuskan untuk berpulang saja ke tangan Yang Esa.
Tapi aku tahu.
Aku tahu ayah tidak benar-benar bersama perempuan di foto itu.
Kalaupun memang sebenarnya begitu, aku tidak perduli.
Ayah masih kembali ke rumah ini, setelah aku mengabarkan kepergian ibu.
Itu sudah jauh lebih dari cukup.
Aku menggenggam tangannya, merasakan keputusasaan dan penyesalan yang begitu mendalam melebur seiring dengan bersentuhannya jemari kami. Tak butuh waktu lama untuk air mataku kembali meleleh.
Aku sedih karena kematian ibu, apalagi karena disebabkan oleh selembar foto.
Aku sedih melihat sosok ayahku yang biasanya tegar menghadapi kehidupan, kini terduduk tanpa jiwa, seolah telah kehilangan cahaya yang dibutuhkannya dalam kehidupan.
Namun, aku tahu bahwa ayah tidak akan pernah mengulangi kesalahannya.
“Ayah…” gumamku sekali lagi.
Kali ini dia menatapku.
Aku menganggukan kepalaku, mencoba mencurahkan sedikit kedamaian meski mulutku tak kunjung bisa mengucapkan lebih dari sepatah kata setiap kalinya. Aku ingin menunjukkan kepada ayah, bahwa aku sama sekali tidak menyalahkannya. Bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan, karena dia tidak salah.
“Tidak,” kata dirinya, menggelengkan kepala untuk mempertegas apa maksudnya.
Dia masih merasa bersalah.
Dan dia berpikir bahwa dirinya tidak pantas untuk menerima maafku.
Meskipun, jauh di lubuk hatinya, aku yakin dia terus berteriak, bertanya kepada dunia apakah dirinya masih boleh dimaafkan.
Aku tidak sanggup membalasnya dengan untaian kalimat lain. Aku tidak sanggup memikirkan satu-dua buah kalimat yang mampu mengembalikan cahaya ke dalam kedua bola matanya yang tampak begitu gelap.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Tersenyum, sambil menangis. Aku mengucapkan sebuah kata.
“Ya,”
Dia menatapku dengan heran. Tampak tidak bisa mengerti apa yang kubicarakan.
“Ayah,” gumamku. Aku menunjuk ke arah kedua tangannya yang terkepal di atas meja. Lalu kembali aku menggumamkan, “Ya,”
Dia tampak sedikit merenggut saat mengucapkan “Tidak,” yang berikutnya.
Namun, dengan sabar aku membuka kepalan tangannya. Bagaikan mencoba membuka kelopak bunga sebelum waktunya mekar, aku mengupasnya satu demi satu, memperhatikan dengan detil intensitas perlawanan yang dilakukannya saat aku mencoba melemaskan ujung-ujung jemarinya yang dingin.
“Ya,” aku berkata. Sungguh aneh bahwa kami menggunakan kata ‘Ya’ dan ‘Tidak’ untuk berkomunikasi. Namun aku yakin dia tahu apa yang kumaksud, dan aku juga mengerti apa yang terkandung di dalam sebuah kata yang diucapkannya tersebut.
“Ayah,” gumamku sekali lagi. “Ya,”
Dia tersenyum, dan akhirnya jemarinya terbuka.
Pengkhianatan dalam bisu yang dilakukannya melebur bersama dengan percakapan kami; percakapan dengan sepatah kata, percakapan hanya dengan kata ‘Ya’, ‘Tidak’, ‘Maaf’, dan ‘Ayah’.
Ya, ayah…Aku memaafkanmu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!