Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 24 Februari 2011

Akhir yang (tidak) Sempurna

Oleh: @geeshaa

Kamukayakuya.tumblr.com



Tiba-tiba suasana jadi tegang, padahal baru 30 menit yang lalu kami berhasil merampok bank bersama. Dengan ceria, dengan canda tawa atas keberhasilan kami. Ya, kami adalah tiga partner in crime yang baru saja melakukan sesuatu bersama. Dan crime di sini dapat diartikan secara harfiah. Masalahnya, tiba-tiba saja James yang berada di antara aku dan Liam, kini mengarahkan pistolnya ke kepala Liam sambil tersenyum bengis.

“Apa-apaan kau? Sudah sinting ya?!” Liam terlihat begitu emosi saat menyadari pistol itu sudah menyentuh pelipis kirinya. ”KITA SATU TIM!” James malah tertawa histeris seperti orang gila.

“James, kau—tidak serius kan? Ayolah, kau pasti sedang bermain-main kan?” aku berusaha menenangkan suasana. James pasti bercanda. Pasti. Tidak ada dalam rencana kami bahwa akan ada acara menempelkan-pistol-di-kepala-teman. James mendelik ke arahku. Tatapannya begitu jahat dan culas.

“Tidak, aku tidak sedang bercanda, apalagi bermain-main, kawan.” Ia akhirnya buka mulut. “Akhirnya kita sampai di titik ini, ya. Aku sangat berterima kasih.” James menunjukkan sekantung besar kain yang isinya tentu saja uang—uang yang banyak, hasil rampokan kami.

Sejak tadi Liam tidak bergeming, ia terlihat sangat tegang karena ia menyadari satu kesalahan saja akan berakibat fatal: James bisa kapan saja menarik pelatuk pistol itu. “Jangan bilang kalau kau…”

“Ya! Kau benar, uang ini akan menjadi milikku seorang, dan kalian berdua..” James tertawa lebih keras lagi, “..terima kasih karena telah memuluskan semua jalanku. Kau, Ron, terima kasih atas rencana detil yang begitu mulus. Sedangkan kau, Liam,” James kini tersenyum gila ke arah kawanku yang malang itu, “Terima kasih atas penyamaran sebagai sandera yang luar biasa, tapi sayangnya kau memang menjadi sanderaku sekarang.”

Sial, sepertinya James memang benar-benar serius ingin menghabisi Liam—dan aku selanjutnya! Cih! Andai saja saat ini aku memegang senjata, pasti dia sudah kusingkirkan duluan. Liam tiba-tiba bergerak dengan maksud menyerang James, tapi sia-sia, ia malah benar-benar tertembak oleh pengkhianat yang satu itu. Kini ia tergeletak tak berdaya di tanah. Aku menganga. Lidahku kelu, dan lututku terasa kaku.

Dari kejauhan, aku bisa mendengar sayup-sayup suara sirene mobil polisi mulai mendekat. James menatapku dengan tatapan kosong seperti seorang psikopat. “Sekarang giliranmu.” Ujarnya dengan tenang. Ia menarik sekali lagi pelatuk pistolnya dan bersiap menembakku. “Sampai jumpa di neraka, kawan.

Ayo, Ronald! Berpikir! Masa kau mau nyawamu hilang di tangan bajingan ini?

Aku melihat ke sekilingku sambil berjalan mundur, karena James semakin mendekat ke arahku dengan tampang jahatnya. Astaga, aku harus menemukan sesuatu untuk menghentikannya, atau setidaknya, mengulur waktu supaya aku bisa kabur!

Tiba-tiba aku teringat kalau ada banyak uang receh di saku jaketku. Receh yang terbuat dari logam. Aku segera merogohnya—kalau aku meninjunya sambil menggenggam recehan itu, maka pukulanku akan semakin kuat—seperti hukum impuls-momentum—dan mungkin bisa membuatnya pusing sebentar.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari jauh. Perhatian James sedikit teralihkan dan aku hanya punya waktu sepersepuluh detik untuk menghajarnya.. berhasil!

James terhuyung dan aku berlari secepat mungkin dari tempatku tadi. Aku tidak tahu akan lari kemana, yang penting menghilang dari hadapan James dulu. Aku tidak peduli kalau nantiaku tertangkap polisi, toh aku tidak membawa barang bukti apapun—pokoknya kabur dari James dulu.

Kini aku berjarak sekitar 50 meter dari James yang ternyata sudah mulai berlari mengejarku. Dengan napas tersengal-sengal, aku menambah kecepatanku, karena James ternyata larinya sangat cepat dan aku nyaris terkejar. Aku berlari lagi.

Ayo, kaki, berlarilah semakin kencang!

Aku berlari terus, dengan diiringi rasa panik mengetahui James sudah ada di belakangku. Ia menembak dengan membabi buta, namun sayangnya meleset.

Sedikit lagi, Ron! Ayo berlari! Jangan sampai pengkhianat ini menghabisimu!

Ayo jangan sampai—ah, sial. Aku terjatuh.

Habislah nyawaku kalau begini ceritanya…



“CUT!” seseorang berteriak kesal dari jauh. “Astaga, Edward! Semua berjalan sempurna sekali. Kenapa, sih, kamu harus terpeleset di scene akhir?” aku terbangun sambil menyeringai, bajuku kini kotor sekali terkena tanah. Ternyata sang sutradara sama sekali tidak bisa tersenyum. “Ayo kita ulangi lagi, dari bagian Ronald menghajar James dengan uang receh di tangannya!”

***

2 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!