Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 24 Februari 2011

Sembilan Puluh Juta

Oleh : Innda Syahida (@innda0111)


Ada kabut seolah- olah berputar diatas kepalaku. Ia seolah menari- nari, berkelabat kesana kemari pada poros tak berwujud. Aku linglung. Tak tahu harus bagaimana. Jam istirahat tinggal tiga puluh menit lagi, dan aku sama sekali belum menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan dokumen sialan itu.
Kalau saja May tidak terlalu lepas tangan pada tanggung jawabnya sebagai staff pembelian, dan seandainya saja aku tidak terlalu bodoh menghilangkannya begitu saja karena lupa dimana aku meletakkannya, barangkali bos tidak akan semarah ini.
Habis aku dimaki sedari pagi.
Seperti budak yang berasal dari pelosok hutan dan berkepala plontos akibat terkena penyakit stress yang mewabah. Atau memang aku yang terlalu bodoh mau dipermainkan seperti ini.
“Apa kamu tahu berapa harga dokumen yang kamu hilangkan?” aku msih ingat bibir cadasnya yang tipis hampir terlepas lantaran mengomel. “Sembilan puluh juta!” bibirku langsung terkatup tak sanggup bicara―padahal sebenarnya aku sudah tahu nilai itu. “Apa kamu punya uang? Gajimu seumur hiduppun barangkali tak cukup untuk membayarnya! Dasar tolol!!”
Te-O-eL-O-El
Aku mengejanya berulang- ulang sembari tanganku mengobrak- abrik file- file yang―barangkali saja bisa memberiku peluang atau petunjuk spesifik.
May duduk disana―di meja kerjanya sambil jarinya sibuk menggeser- geser mouse. Dia main twitter!!
Anjrit!! Enak saja dia bisa santai- santai begitu setelah beberapa jam yang lalu ikut terlibat dalam prosesi huru- hara tunggal si bos. Kepalaku semakin panas, hampir meledak seperti balon ulang tahun. Sejujurnya aku malas bertanya, jadi lebih baik aku sedikit menyinggung saja.
“Duhh… dimana sih?” May tetap cuek. Aku meledeknya dari belakang punggungnya. Kuhormati sedikit lantaran dia adalah seniorku. “Kenapa malah main twitter sih, May? Bantuin kek apa gitu.” Ketusku kesal.
“Hey, itu bukan urusanku!” astaghfirulloh aladzimmm… aku beristighfar dalam hati. Jahatnya, pikirku. “Tugasku kan cuma beli barang dan taruh suratnya di file, kamu yang buat tanda terima. Jadi, bukan urusan aku lagi dong.”
Aku ini anak baru, May… kenapa sih dia tega sekali memperlakukanku seperti itu. Sembilan puluh juta. Harus aku bayar pakai apa kalau dokumennya gak ketemu???
Aku meringis tangis dalam hati, air mata tentu saja ingin mencuat keluar. Namun sekuat tenaga ku tahan, aku sudah pasrah. Kalaupun aku dipecat sekarang juga, aku rela. Aku terima. Dan barangkali sudah satnya aku keluar dari perusahaan yang baru sebulan ku tumpangi ini.
Lelah. Otakku terperas hampir habis. Lalu mencari kesempatan, akupun mengambil air wudhu. Sholat adalah jalan satu- satunya agar pikiranku bisa tenang. Aku berdo’a, memohon petunjuk sambil meneteskan air mata. Mukenahkupun lembab lantaran basah. Dan aku memasrahkan diri pada satu- atunya Tuhanku. Aku harus ikhlas, apapun yang terjadi nanti.
Jam istirahat selesai. Akupun tak ingat makan. Lapar sungguh tak terasa lagi. Yang penting dokumen harus ketemu bagaimana pun caranya. Kumainkan lagi jari- jari lentikku diantara file pribadi bos―kebetulan bos sedang keluar makan siang.
Sembilan puluh juta… sembilan puluh juta… sembilan puluh juta.
Aku mengulangi angka- angka itu siapa tahu tiba- tiba muncul di dokumen yang―terselip!! Alhamdulillah “Ketemu!!!” teriakanku mencuat keluar secara tiba- tiba. Air mata yang tadinya kutahan, entah kenapa malah menetes begitu saja. Aku merasa lega seketika, seprti kuali panas yang tersiram air. Menguapkan asap dan mendingin seketika. Kuucapkan syukur berkali- kali sambil memegang dokumen berharga itu.
Gak jadi di pecat, kataku dalam hati.
May melirik kearahku, aktivitasnya bersama twitter seketika berhanti lalu meringaikan senyuman lebar. “Ketemu, Nad?” tanyanya girang. Akupun mengangguk. Lalu kuletekkan dokumen tersebut tepat disebelah laptop bos, lalu pergi kekamar mandi membasuh muka sembari menenagkan diri selama beberapa menit.
Dan ketika aku hendak melangkahkan kaki masuk ke ruangan yang hanya berpenghunikan tiga orang perempuan termasuk aku, kulihat wajah si bos tak lagi seseram sebelumnya.
“Dapat dimana dokumennya?”Tanyanya. Aku ingin menjawab, tapi May mendahuluiku cepat sekali.
“Aku menemukannya terselip diantara file PO peralatan kerja.”
Aku mendadak berhenti tepat di hadapan May, sambil memicingkan mata dan.
Mengutuknya hidup- hidup!!!

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!