Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 24 Februari 2011

Orang Yang Didatangi Kata

Oleh: T. S Frima

Saya pernah mengenalnya. Maaf kalau membuat kamu penasaran dengan tidak menyebutkan namanya. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak bisa. Mungkin namanya Aro, atau Vari, atau Ra. Atau siapa saja lah, saya sungguh tak bisa lagi mengingat.
Dia orang yang tak mencolok, serba umum dan biasa saja. Tidak ada pencapaian istimewa yang pernah dibuatnya, tidak pula ada ciri tertentu yang terkhusus dan menjadikannya berbeda dari orang kebanyakan. Dia betul-betul cuma seorang lagi manusia biasa diantara berjuta manusia di negara ini. Namun begitu, ada sesuatu tentangnya yang teramat kuat terlekat dalam ingatan.

Setelah kenal sekian waktu, baru saya sadari. Kalau kebetulan bertemu di sekitaran sekolah atau di sekitaran rumahnya, selalu saya lihat dia sedang menulisi buku catatannya. Awalnya saya pikir dia seorang pelajar yang giat. Tapi dalam sebuah kesempatan, dia bilang, dia bukan tipikal anak baik yang rajin belajar dan tekun mencatat. Dia akui, yang dia tuliskan pada bukunya itu hanyalah kata-kata acak. Bukan pelajaran atau tugas, bukan fiksi atau catatan pengalaman pribadi; melainkan hanya kata-kata acak yang, seperti dia bilang, mendatanginya untuk minta dituliskan.
Sulit bagi saya untuk menerima pernyataan itu. Bagaimana mungkin kata-kata mendatangi seseorang, dan meminta dituliskan? Bukankah justru kata-kata adalah produk yang dihasilkan pikiran manusia? Tapi dia bersiteguh menyatakan bahwa Kata sesungguhnya adalah makhluk hidup juga yang punya kesadaran. Mereka bisa berpergian melalui udara, kemana suka atas kehendak mereka sendiri. Mereka bisa memilih untuk mendatangi atau meninggalakan seseorang.
“Bukankah kita semua pernah mengalami tiba-tiba kehilangan kata saat harus menulis essay, atau seseorang yang jarang bicara tiba-tiba bisa beridato dengan bagusnya?”, tanya dia retoris.
Karena seringnya saya dapati dia menulis kata-kata acak begitu, suatu kali saya bertanya: “Seberapa sering mereka mendatangimu?”
Dia jabarkan bahwa kata-kata itu banyak sekali jumlahnya, bahkan nyaris tak terbatas. Maka jumlah kata yang mendatanginya pun amat sangat banyak sekali, sampai tak terhitung. Kemudian tergantung perasaan dia saja, kapankah ingin menuliskannya. Ada kalanya kata-kata itu datang saat dia tidur, menyusup ke dalam mimpi. Maka subuh-subuh dia terbangun langsung meraih pena dan buku. Ada kalanya kata-kata itu datang setelah dia shalat, bercampur dalam doa. Ada kalanya kata-kata itu datang saat dia di kelas. Maka jangan heran bila papan tulis tiba-tiba penuh tulisan selepas jam istirahat.
***

Tentu saja sebagai teman, saya tidak ingin berpikir dia mungkin gila. Tidak, seingat saya, saya tak pernah sampai berpikir dia gila. Walau begitu pada kesempatan lain, saya coba-coba lagi mempertanyakan kebiasaannya menulis sembarangan itu, ingin tau saja apakah dia masih akan konsisten pada omongannya soal kata-kata yang bisa hidup.
“Jadi, bagaimana ceritanya kata-kata itu sampai mendatangimu?” tanya saya dengan nada sewajar mungkin.
Dengan tenang dia menjawab: “Mereka adalah kata-kata yang terluka, kecewa, dan bersedih. Mereka kata-kata yang semena-mena dipakai manusia untuk menyakiti orang lain, untuk mendustai khalayak, bahkan untuk mendustai hati nurani manusia pemakai kata itu sendiri. Mereka kata-kata yang telah dikhianati, dan merasa telah kehilangan arti dari keberadaannya. Mereka datang untuk berkeluh, dan beristirahat dari manipulasi oleh pikiran manusia. makanya mereka ingin dituliskan sebagai diri mereka apa adanya; tanpa dikomposisi, tanpa dibuat figuratif.”
Saya tercenung.
Memang benar bahwa kita manusia telah terlalu sering memakai kata-kata secara egois untuk melindungi diri dengan kebohongan yang persuasif, atau untuk menjatuhkan orang lain dengan pidato yang ofensif. Tapi benarkah kata-kata merasa telah kita khianati?
Saat kesadaran dan akal saya kembali, segera saya susul dia dengan pertanyaan, “Tapi kenapa mereka harus datang padamu, dan tidak mendatangi orang-orang lain?”
Dia diam sejurus. Mungkin sedang merancang jawaban yang kiranya akan memukau saya sebagai penanya.
Dia berkata lirih, “Aku pun tak tau”.
Lanjutnya, “Aku tak pernah bertanya pada mereka, kenapa mesti mendatangiku. Bagiku itu sama tidak sopannya dengan bertanya pada ibu sendiri kenapa melahirkan aku, atau seperti tidak sopannya bertanya pada Tuhan kenapa aku diijinkan hidup hari ini. Aku tak berani. Aku takut mereka tersinggung, atau semakin merasa tersakiti. Dan andaipun mereka tidak tersinggung, tetap saja aku tak berani mengajukan pertanyaan yang sedemikian tidak sopan.”
Kemudian tambahnya, “Kenapa kamu berpikir bahwa mereka hanya mendatangiku, dan tidak mendatangi orang lain juga? Tidak kah kamu pikir, bahwa mungkin saja mereka juga mendatangimu?”
Ketika itu matanya menyorot ke dalam mata saya. Ada senyum samar di bibirnya. Saya jadi ngeri sendiri. Dan sejak itu saya tak pernah bertanya lagi tentang kebiasaan dia menulisikan kata-kata acak pada bukunya. Tapi, saya malah merasa dihantui oleh kalimatnya yang akhir itu: mungkinkah, kata-kata yang merasa dikhianati itu juga telah mendatangi saya?

Ah, hari ini saya cuma bisa mengingat sampai di situ, tentang orang yang mengaku didatangi kata itu. Kalau kamu tanya lain waktu, mungkin cerita ini akan jadi lain juga. Bagaimanapun, tak ada jaminan bahwa yang namanya ingatan itu sudah pasti berasal dari kenyataan. Tak ada jaminan bahwa ingatan ini, tak akan menghianati tuannya sendiri.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!