Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 24 Februari 2011

Forfiven Not Forgotten

Oleh: @peri_hutan
zhuelhiez.posterous.com

Waktu kecil aku sangat dekat dengannya, seiring dengan beranjaknya usiaku kedekatan kami pun bertambah banyak, berkelipatan rasa sayang yang munyusul. Kata orang anak gadis akan lebih lengket dengan ayahnya, dan aku setuju.
Aku menginggatnya kembali, mulai dari awal dia menguncir rambutku waktu TK, mengajari aku membaca dan menulis, menenangkanku waktu aku terjatuh dari sepeda roda tiga, mendengar curahan hatiku ketika aku dinakali oleh teman sekelasku, sampai aku menceritakan kicah cintaku yang pertama. Dia bukan hanya sekedar sahabat, ya, dia Ayahku.
Dia masih seorang sosok yang paling aku banggakan, aku selalu menceritakan kehebatannya pada teman - temanku di sekolah. Bagaimana dia dengan sabarnya memahami Ibuku yang cerewet, menasehati aku dan kakakku jika betengkar, tentang karirnya yang sukses di kantor. Beliau juara!.
Sampai suatu pagi hari yang suram itu, aku mendengar dan melihat pertengkaran kedua orangtuaku yang pertama kali. Aku shock, baru kali ini selama 16 tahun aku mengalami pagi yang berbeda, aku merasakan kebahagiaanku tiba - tiba mulai menghilang.
"Kenapa kamu melakukan semua ini Pa? Apa salahku?" Aku mendengar Ibu berteriak marah sambil menahan tangis.
"20 tahun kita menikah dan aku mengira semua berjalan baik, lalu apa foto - foto ini?" Ayahku diam membisu, dia tidak menyanggah apa yang dilontarkan oleh Ibuku, aku tahu, foto itu benar adanya.
"Apa salahku Pa? Kurang apa Mama sama Papa? Dulu kita berjanji bukan untuk seperti ini, kita dulu berjanji untuk mencipkakan keluarga yang bahagia, karena kita saling mencintai."
"Dan sekarang Papa menciptakan keluarga yang lain, dan perempuan brengsek itu HAMIL ANAK PAPA!!!"
Aku masih tidak beranjak dari pintu kamarku, masih mengintip dan menguping pembicaraan mereka di dapur, tepat dibawah kamarku. Aku juga tau kalau Reno, kakakku juga melakukan hal yang sama sepertiku disebalah kamarku ini. Aku tidak percaya, orang yang paling aku banggakan dan paling aku cintai berbuat seperti ini pada keluarganya sendiri. Hatiku perih, sakit, sangat kecewa. Apa yang salah dengan kami? Apa yang telah kami perbuat sampai ayahku memberikan ganjaran semacam ini? Aku menagis dalam diam, mencoba menahan amarahku, benciku, menciptakan bendungan di kelopak mataku agar tidak ambrol. Sakit sekali rasanya.
Aku merasakan ada dorongan di pintu yang selama lima belas menit ini menjadi sandaranku, Reno, dia duduk di sebelahku bersender di belakang pintu dan tanpa berkata - kata merangkul bahuku, memelukku, memberikan dadanya untuk menjadi tempat pelampiasan ingus dan banjir air mataku. Terus seperti ini, menenangkanku. Aku tahu dia juga sangat kecewa apa yang telah dilakukan oleh ayah, kami sama - sama mengagumi dan membanggakannya tapi kita malah diberi award seperti ini.
"Aku ingin bercerai, anak - anak sama aku, dan aku harap Papa cepat - cepat meninggalkan rumah ini. Jangan pernah kembali lagi." Selepas mengumandangkan kata agung itu, Ibuku pergi ke kamar. Aku tahu, dia juga tidak kuat menahan amarah sekaligus tangis. Aku masih memeluk kakakku, sakitnya tidak mau hilang. Aku mendengar langkah kaki di tangga, langkah yang menyesal, mungkin. Sekarang dia ada di depan pintu yang menjadi sandaran kami, dia tahu kami bersama. Dia tidak mencoba mengetuk atau masuk, dia hanya menyandarkan dahinya di pintu, menghela napas, mencoba berbicara pada kami.
"Maaf, maafin Papa." Suaranya tertahan, apa lagi yang ingin kau torehkan di luka yang sudah menjadi infeksi ini? aku ingin memprotes, mencerca, bahkan aku ingin mengamuk dan bilang kalau percuma minta maaf, tapi kakakku memelukku dengan erat, mengisaratkan jangan menambah cuka ke dalam luka itu. Kami masih diam, aku tidak ingin pernah bicara dengan dia lagi.
"Sekali lagi Papa minta maaf, Papa sangat menyayangi kalian."
"Kau mendapatkan maaf dari kami, tapi kami tidak akan pernah melupakan apa yang telah kau perbuat pada keluargaku. Aku mohon, pergilah dan jangan pernah kembali lagi." Dengan lantang, kakakku melontarkan kalimat itu, masih memelukku dengan erat, menyembunyikan rasa marahnya. Dia menghembuskan napas, sadar usaha apa pun tidak akan merubah keadaan yang talah diciptakannya. Dia meninggalkan pintu kamarku, menuruni tangga, menutup pintu rumah kami. Pergi dari kehidupan kami.
Begini ya rasanya dikhianati oleh Ayahku sendiri, lebih kejam jika kau mendapat perlakuan jahanam dari Ibu Tirinya Cinderella.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!