Oleh Aditia Yudis (@adit_adit)
“Wahyu? Waru? Eh, eh, siapa namanya?” Kuulang pertanyaanku penuh campur tangan rasa keraguan. Kuangkat sejenak ujung pena dari kertas yang akan kutulisi itu. Mataku menyorot pada pemuda berwajah teduh di hadapanku itu.
Anggukan santun diberikannya padaku, lalu lengkung bibir itu lagi. “Waktu, Mbak. Nama saya Waktu.”
“Waktu?” sahutku cepat.
Kepala berhias rambut spike itu bergoyang lagi, mengiyakan.
Lalu ekspreksiku, mulut sedikit terbuka—ternganga. Paduan kaget dan heran sekaligus. Sungkan aku menatap lama-lama dua bola mata jernih pemuda itu. Kembali lagi kutekuni lembar pendaftaran di kolom nama. Cepat-cepat kutuliskan WAKTU.
“Waktu Ibadah, Mbak.” Ia melanjutkan tepat ketika aku menyudahi tulisanku.
“Ibadah?” Mataku membulat. Penasaran membelit benakku bersama dengan rasa lucu. Jelas saja, namanya aneh! Tidak umum! Namun, segera kuusir pikiranku itu dan membubuhkan nama akhir pemuda itu dengan segera.
“Nama saya aneh ya, Mbak?” ucapnya ketika aku mengisikan kolom lain yang harus kuiisi.
Sejenak aku diam dan berhenti menulis. Lalu kulanjutkan lagi menggoreskan pena di bagian-bagian yang harus diberi keterangan. Usai dengan urusanku, kudongakkan wajahku. Air muka pemuda itu tampak tenang, sinar lembut matanya mengarah penuh harapan padamu. Terbersit lagi pertanyaan terakhirnya tadi.
Kuletakkan kedua tanganku di atas meja, mengepalkannya. Ingin rasanya menjawab pertanyaan itu, tapi takut menyakiti hatinya... . Hanya saja, akhirnya tak bisa kutahan berkomentar bersama cengiran yang terbentuk di mukaku. “Kalau boleh jujur, iya sih....”
“Tenang, Mbak. Bukan cuma Mbak kok yang punya pikiran seperti itu.” Pemuda itu tertawa kecil, membuat lesung pipinya mampir di penglihatanku.
Buru-buru aku menambahkan, “tapi nama kamu kan maknanya besar. Mengingatkan orang untuk beribadah,” balasku agak galau karena belum menunaikan solat duhur padahal sudah hampir jam dua siang.
“Semoga berkah ya, Mbak,” ucapnya pelan. “Bisa berfungsi sebagaimana maknanya.”
Kupandangi lagi di dengan tajam dan kubonusi senyuman tipis. Kurasakan gejolak di roman mukanya, tapi sebisa mungkin pemuda itu menjaga sikapnya tetap tenang. “Mungkin memang rezeki kamu ya. Sebenarnya pendaftaran ini sudah ditutup sejam yang lalu. Eh, tapi setengah jam sebelum kamu datang tiba-tiba ada yang membatalkan pendaftarannya.”
Sorot mata itu berbinar makin terang. “Jadi, saya diterima menjadi pegawai di sini, Mbak?”
Senyumanku melebat, “iya, kamu bisa mulai bekerja besok.”
“Alhamdulillah, terimakasih, Mbak. Kalau mau sabar menanti, memang hasilnya gak terduga. Iya, kan, Mbak?”
“Selamat ya....”
“Makasih banget, Mbak. Semoga Mbak juga segera bertemu dengan apa yang ditunggu. Sabar, Mbak. Waktu mengantar kita pada jawabannya kok.”
“Trims, Waktu.”
“Apalagi yang harus saya lakukan, Mbak?”
“Kamu boleh pargi sekarang.”
Pemuda itu bangkit dari duduknya dengan gerak sopan. Lalu, terdengar debur pelan pintu tertutup. Meninggalkan aku sendiri yang berusaha berpacu bersama waktu solat duhur yang hampir lewat.
Waktu. Seharusnya aku punya itu utk mengingatkanku akan waktu sholat yg selalu hilang driku.
BalasHapuskreatif.
BalasHapusbukan hanya si subject "waktu" tapi juga makna yang menyertainya..
trims yang udah baca, maaf ya banyak typo yang tertinggal :)
BalasHapuswaktu yang tidak akan ku tunggu..
BalasHapusagak susah memang mencantumkan pikiran si-tokoh menjadi dialog dalam cerita, tentunya akan sangat banyak kalimat penjelas (isi kepala)yang muncul. cerita yang unik, mantab sista..!
BalasHapussaat terindah adalah di waktu Mu bukan waktu ku..
BalasHapus_nanoe124_