Indah dan menawan. Cantik dan mempesona. Tak henti-hentinya aku memandang parasnya dari kejauhan. Hembusan angin seakan menjadi perpanjangan lengan dan jemariku untuk membelai rambut indahnya. Memuntir dan menggerai helai demi helai rambutnya adalah saat yang sangat menyenangkan bagiku. Menggenggam jemarinya yang indah mungkin adalah satu-satunya yang kuinginkan masa itu. Namun, aku hanya hidup dalam mimpi karena dia takkan pernah tahu itu.
Tahun ini adalah tahun ke-3 aku ada di sekolah ini. Sekolah menengah atas yang menjebakku pada sebuah penjara romantika masa muda yang menggelikan. Yah, di sinilah aku merasakan cerita cinta pertamaku atau mungkin lebih tepatnya mimpi cinta pertamaku. Aku yakin tidak ada orang yang suka dirinya terjebak, demikian pula aku. Ingin rasanya cepat-cepat meninggalkan rumah belajar ini dan bebas dari penjara romantika menggelikan ini. Sepertinya aku sudah lelah.
Dia adalah gadis berambut panjang, berkulit putih dengan senyum yang menawan. Dialah sipir penjaraku. Dia duduk tepat di depanku di kelas yang sama di tahun pertama. Hanya butuh beberapa minggu bagiku untuk akhirnya terjebak dalam penjaranya. Aku tak menginginkannya tetapi entah mengapa pikiranku tak bisa lepas darinya. Lucunya, aku tak pernah bisa mengungkapkan perasaan ini kepadanya.
‘Aku suka kamu, apakah kamu merasakan hal yang sama denganku?’. Kalimat sakti ini tak bisa keluar dari mulutku selama bertahun-tahun, dua setengah tahun tepatnya. Waktu yang sangat lama untuk berlatih berbicara dimana bahkan seorang bayi bisa melakukannya lebih baik. Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan, yang bisa kulakukan hanyalah mengaguminya. Tidak lebih dan tidak kurang sama sekali.
Suatu hari ia mendatangiku dan memintaku mengajarkannya bermain gitar, hanya berduaan. Bukan suatu hal yang sulit untuk diajarkan tetapi ia yang menjadikanku sulit mengajarkannya. Orang bilang cinta akan datang pada waktu yang tepat dan terkadang pada saat yang tak terduga. Mungkin ini adalah waktuku. Sebuah lirik dalam sebuah aransemen nada yang kusukai juga berkata bahwa cinta tak butuh waktu yang sesaat. Mungkin inilah saat yang tepat untukku mengatakannya. Namun, lagi-lagi aku hanya bisa terdiam seakan bibirku tersegel oleh mantera yang mengurung jinchuruki dalam tubuh Naruto. Haha, tidak lucu bukan. Aku hanya kehilangan akal sehatku.
Memang cinta itu terkadang datang pada waktu yang tak terduga. Cinta juga tak butuh waktu yang sesaat. Sayangnya, waktu tidak mengerti cinta. Namun, waktu bisa mengajarkanmu banyak hal termasuk cinta. Di tahun terakhirku ini, akhirnya aku belajar sesuatu dari sang waktu. Ia mengajarkanku bahwa cinta tak hanya diam. Aku butuh lebih dari sekedar titik titik dan titik titik dalam chat balloon di atas kepalaku untuk mendapatkan cinta itu. Waktuku hampir berakhir bersamanya dan aku masih belum bisa menorehkan namaku dalam diary-nya, paling tidak sebagai orang yang sudah berusaha.
Aku harus berterima kasih pada pak waktu tetapi dia hanya sebuah abstrak. Mungkin sebaiknya aku bersyukur pada Sang Pencipta saja karena telah menyadarkanku akan penjara romantika yang kubangun sendiri. Yah, mungkin besok aku akan katakan padanya. Tak ada lagi alasan bagiku untuk menunggu waktu karena waktu sendiri sudah muak menungguku.
“Gadis putih berambut panjang dengan senyum yang menawan, aku menyukaimu. Apakah kamu menyukaiku?”, tutupku dalam hati.
bagus..
BalasHapuscerita masa SMA, yang tak kualami. :)
biarkan waktu-Nya merencanakan..
THUMBS UP!!! LIKE IT SO FREAKING BAD YOU
BalasHapus