oleh @abobiltiga
Baiklah, akhirnya aku menguap...
...untuk yang ke tiga puluh sembilan kalinya, terhitung sejak Indira menghilang dengan langkah tergesa-gesa ke balik pagar tinggi yang membatasi halaman rumahnya dengan jalan kompleks. Itu sekitar dua puluh menit yang lalu, dan dia belum juga kembali dari Ekspedisi Mencari Sekop-nya. Dan kami, lima kurcaci-kurcaci terzhalimi, sibuk menggelandang saja di sekitar halaman depan rumah bercat kuning gading ini. Sementara matahari jelang sore yang tidak terlalu silau menggantung condong ke arah barat... tiga jam lagi akan terbenam, nampaknya dia sedang siap-siap.
Aku diam saja di sudut teras, tidak banyak komentar. Semalam aku hanya tidur dua setengah jam karena mengerjakan karya tulis. Ngantuk berat, sumpah, demi nyamuk-nyamuk kebun yang sedang rusuh mengerubungi Dhimas sekarang ini (pasti tadi pagi dia belum mandi). Wajahku kusut minta ampun, seperti ada neon box yang menyala-nyala di atas kepalaku, dengan kata-kata “SENGGOL, BACOK” jelas-jelas terpampang disana. Yeah, jika imanmu cukup tebal kau pasti melihatnya. Dan pesannya sudah jelas, kan? “Awas, Riska galak! Kurang tidur! Senggol, bacok! Ganggu, tabok!” dan seterusnya, terima kasih. Aku yakin mereka semua mengerti karena sejak tadi yang menegurku hanya Indira, yang menawariku air putih.
Dhimas dan Anggoro mondar-mandir dari halaman, kembali lagi ke teras. Entah apa yang sedang mereka lakukan—sedang bermain-main “Kami Anak Kelas Dua Belas Bahagia, Tidak Peduli Besok Sudah Pengumuman Kelulusan”, kukira. Keduanya sibuk melompat-lompati beberapa corn block yang ditanam di sekitar teras untuk membunuh rasa bosan.
Ghandi juga mengamati mereka, namun bibirnya sibuk menggerutu panjang lebar. Si ganteng satu itu sibuk mengeluhkan udara sore yang panas, Indira yang lama sekali belum kembali, adiknya yang minta jemput selepas latihan basket, ujian praktik Biologinya yang gagal karena dia mematahkan pipa pipet tetesnya (demi Tuhan, dia sudah mengocehkan yang ini setidaknya seratus kali), dan kuliahnya. Dia memang pengeluh, padahal dia dianugerahi otak cemerlang, keluarga yangkeren, dan pacar yang cantik. Ouch. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain mendengarkannya.
Nah, Marina diam saja disebelahku. Dia duduk di kursi roda sambil memencet-mencet keypad Blackberry-nya. Sesekali dia tersenyum, sesekali dia menyeka bagian samping lehernya yang dialiri keringat dengan punggung tangan, sesekali dia menghela nafas, sesekali dia berkomentar, “Gerah ya, Ris....” Ya, begitu-begitu saja. Dia memang kalem sekali dan tidak neko-neko.
Begitulah, kami semua sedang menunggu Indira. Dan sekop yang sedang dicarinya. Mungkin kau bertanya-tanya: untuk apa?
“SEKOPNYA DATAAAAANG!!”
Oh, sebentar... Aku tidak mungkin tidak mengenali suara cempreng itu. Kusadari bukan hanya aku saja yang sekarang menolehkan kepala pada pagar depan yang tiba-tiba bergeser. Sosok Indira yang kerempeng dan berantakan muncul. Ia tersenyum lebar sekali sambil melambai-lambaikan sekop kecil yang digenggamnya. Sudah jelas, Ekspedisi Mencari Sekop-nya membuahkan hasil. Aku menghela nafas lega dan berhasil mengendalikan diri untuk tidak menjitak puncak kepalanya karena habis sabar, sementara Dhimas dan Anggoro berlari-lari kecil ke arah sang tuan rumah. Ghandi nyengir, Marina bertepuk tangan. Nyamuk-nyamuk kebun kabur ketakutan.
Dan yeah... sepetak tanah itu akhirnya berhasil kami gali. Sebuah lubang kecil yang tidak terlalu dalam sudah tercipta disana, buah karya Dhimas dan Anggoro. Ghandi menghampiri dengan sebuah kotak kardus besar yang masih kosong, disusul kami bertiga, para hawa yang sudah tidak sabar untuk melangsungkan prosesi sakral ini.
Matahari diam saja, mengamati. Nyamuk-nyamuk kebun sudah pergi. Tinggal kami yang senyum-senyum sendiri, memasukkan satu per satu barang-barang yang sudah dipersiapkan ke dalam kardus. Foto-foto, kertas ulangan, robekan kertas, bendera, kaus kaki, surat-surat “Letter to Myself”, dan banyak. Banyak lagi, sampai rasanya akan melelahkan jika kusebutkan satu per satu. Ghandi kemudian menutup dan menyegel kardus itu (well, dengan lakban, bukan dengan tenaga dalam), lalu dimasukkannya kardus itu ke dalam kotak berbahan kaca yang tidak mudah pecah atau retak.
Sesaat kami diam saat kotak itu diletakkan perlahan ke dalam lubang yang sudah digali tadi. Aku bisa merasakan Marina mulai terisak di sebelahku, sebelum Indira kemudian menyela.
“Oke, gue duluan,” dia nyengir kembali. “Semoga besok kita semua lulus. Semoga gue lulus masuk Ilmu Komputer UI dan dapet pacar ganteng. Semoga lo semua bahagia dan sukses, dapet suami keren sama istri bohai. Punya anak-anak ganteng-cantik dan nggak kurang ajar...”
“Semoga,” Dhimas menyela, kali ini dia nampak serius. “Kita lulus, lulus semua. Semoga gue gak mati tersiksa di negeri orang. Semoga kuliah gue nanti baik-baik aja. Semoga operasi kaki lo lancar-lancar aja ya, Na. Semoga kalian semua, kita semua, bahagia dan bisa ketemu lagi di masa depan.” Dia menjeda, kemudian menyambungnya dengan tawa. “ANJIR SUMPAH GW JIJIK KALO GUE UDAH MELKON BEGINI! LANJUT LO, NGGO!”
“Semoga Anggoro Prahardian Legendasatya makin ganteng!” Anggoro nyaris berteriak untuk mengalahkan suara tawa kami yang memecah sore yang super panas ini. “Keterima UGM! Bisa nyusul S2 di Jerman, biar nanti gw bisa manjat apartemen si Dhimas di Prancis sambil bawa-bawa DVD Miyabi. Amin ya Tuhan!”
“Semoga lo berdua makin waras!” aku ikut berteriak, terpingkal-pingkal kini. Entah kemana tadi awan mendung yang bergelayut di atas kepalaku. “Amin juga ya Tuhan! STEI ITB, tunggu gue. Please, tungguin gue. Trus semoga...”
“Semoga kita berdua langgeng,” Ghandi menyela, melempar senyum ke arahku. Keempat kurcaci-kurcaci lainnya sibuk berdehem-dehem menyebalkan. Ingin kulempari mereka satu-satu dengan sepatu sekolahku, namun aku sendiri sedang sibuk menyembunyikan rasa malu. “Semoga kamu nggak bosen sama aku sampe di pelaminan nanti ya, Ris,” Ghandi melanjutkan di sela-sela teriakan “prikitiw” yang diprakarsai oleh Dhimas dan Anggoro. “Semoga gue bisa lulus juga dari SMA, bisa bareng terus sama kalian, dan... Yeah, ITB, tungguin gue!”
Ah. Tinggal Marina. Kami berlima memandangnya kini. Gadis itu diam dengan mata berkaca-kaca di atas kursi rodanya, kemudian suaranya yang lirih terdengar.
“Gue gak minta banyak,” dia berkata pelan-pelan. “Gue cuma pengen lo semua bahagia. Lo semua harta gue yang paling berharga, tau nggak sih? Gue gak mau kita pisah, serius. Terutama lo, Dhim, yang jauh ntar di Prancis...”
Aku duluan yang memeluk Marina. Lalu Indira. Ghandi merangkulku, kemudian Anggoro dan Dhimas merangkul kami. Gadis kalem itu akhirnya menangis diikuti Indira yang berkaca-kaca, aku diam saja... ketiga kurcaci berkelamin jantan yang lain tampak larut juga dalam melankolia. Pada akhirnya, kotak kaca itu kami timbun dengan tanah. Dan prosesi sakral itu selesai juga, akhirnya.
Ini hanya kami, enam sahabat yang sudah saling mengenal sejak sepuluh tahun yang lalu. Sekelompok anak dua belas yang sedang menanti pengumuman kelulusan SMA esok hari. Segerombol remaja yang sudah merencanakan dan siap-siap menyambut masa depan. Hanya beberapa orang sederhana yang mungkin sering kau temui di kehidupanmu sendiri. Dan yeah, mengingat nanti kami kemungkinan akan terpisah-pisah, yang kami lakukan hari ini sederhana saja.
Membekukan satu ruas waktu.
Biar saja, nanti waktu akan bergulir. Kupikir nanti aku dan sahabat-sahabatku akan tumbuh semakin dewasa, menua, lalu mungkin waktu akan membuat kami lupa. Sementara kenangan yang kami tanam hari ini, biarlah dia disini. Mengalahkan waktu yang kejam dan angkuh itu, supaya abadi.
Ah waktu, biarkan kami mengurungmu dalam kotak kaca. Ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!