Oleh Ajeng (@a23nk)
Ketika waktu mempermainkanku.
Waktu.
Jauh sebelum engkau menjemputku, aku sudah dipersiapkan-Nya.
Dibentuk secantik ratu istana surga. Ya! Aku seorang wanita yang luar biasa, karena aku yang sangat biasa.
“Assalamualaikum, hai diriku, apa kamu semangat pagi ini? Apa sesemangat induk ayam mengumpulkan makanan untuk anak-anaknya?” di depan cermin, bicaraku pada diriku sendiri. Ya! Aku Ajeng. Y ang tak pernah lepas dari perbincangan diri sendiri.
Kala kecil ayah setia berkata, “Jalan-jalan yuk?” dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, senantiasa ia kembangkan ketika akhir pekan tiba.
“Ibu, aku ingin menjadi polwan.” Ya! Waktu itu, adalah ketiga kalinya aku mengutarakan cita-citaku pada ibu, setelah mengadu ingin menjadi dokter dan guru.
Di rumah yang kami tinggali waktu itu, memang bukan milikku, bukan milik ayah, bukan milik ibu. Memang milik orang lain yang mempercayakannya pada ayah.
“Ayah, ajari aku matematika.” Sambil mengangkat kakinya ke atas meja, celana pendeknya sedikit turun, dan ibu meledek, “Ayah, ‘itu’nya keliatan putih-putih.” Melongoklah aku dan tertawa menarsiskan gigi ompongku.
Ya! Semua tentang waktu itu. Waktu kebersamaan yang harmonis. Yang tak bisa kubeli, kini saat ku dewasa. Ketika ini aku seperti waktu tanpa jarum jam. Aku bergerak sendirian, dan menyapa angka satu dalam mengawali hari ceriaku.
Ya! Sekali lagi masih tentang waktu. Kau tak pernah kucinta, tapi aku selalu membencimu. Hanya sekedar geregetan karena kau begitu cepat berlalu saat aku merasakan keindahan. Dan kau begitu lama berjalan saat aku mengharapkan kebahagiaan.
“Ajeng, ayah pergi dulu ya, sebentar saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!