Oleh: @Lina_Martana
19 Desember 2006.
Aku melihatnya dari kejauhan, ia berpeluh keringat tetapi nampak begitu bahagia. Berlarian bersama kawan-kawan lainnya, aku tidak pernah mengerti mengapa ia menyukai jenis permainan melelahkan seperti itu. Melihatnya tertawa bak bayi mungil yang lugu, kutemukan diriku tersenyum simpul hingga sebuah kalimat mendarat di telingaku, “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” dan aku terdiam.
25 Maret 2007.
Kali ini ia berjalan bersama sahabat-sahabatnya, aku menebak mereka akan makan siang nampaknya. Ia tertawa lepas hingga wajahnya berwarna kemerahan. Kulitnya yang kecoklatan khas anak pantai menampakkan semburat merah di sekitar telinga dan dahinya. Semburat merah itu adalah tanda betapa lepasnya ia tertawa. Kembali kutemukan diriku ikut tertawa melihatnya dalam keadaan seperti itu. “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” kali ini aku menjawab dengan yakin, “Masih ada waktu, jangan terburu-buru.”
11 Januari 2008.
Kutatap matanya sesekali sambil bercerita. Ia menyimak setiap kata yang keluar dengan gembiranya dari mulutku. Aku bahkan tidak tahu ternyata aku bisa sedemikian riangnya berceloteh. Ada rasa tenteram dan nyaman yang kudapatkan hanya darinya. Sungguh. Ia pun tidak nampak terganggu dengan keadaan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar kami. Ia bukan hanya sekedar mendengar, ia mendengarkanku. “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” aku menarik nafas, lalu menjawab sangat pelan, “Tenang saja, masih ada banyak waktu.”
02 Oktober 2009.
Ia berjalan di sebelahku, bercerita tentang tetangganya yang kini tengah memelihara seekor anjing kecil. Ia selalu menyukai binatang berbulu yang setia itu, namun ia ingin memastikan dirinya mampu merawat dan mengasuh sebaik mungkin agar tidak menelantarinya. Kutanyakan padanya kapan ia akan memelihara anak anjing, dan ia menjawab dengan tatapan mata penuh tekad, “Nanti, ketika aku sudah memiliki banyak waktu untuk merawatnya.” Jawaban yang sama seperti yang kukatakan pada diriku sendiri ketika dihampiri sebuah pertanyaan, “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?”
08 September 2010.
Bunyi desingan mesin mengisi ruangan. Beberapa orang terlihat berlarian panik. Jerit tangis di beberapa tempat membuatku mau tak mau menoleh mencari sumber suara. Perpisahan ini mungkin dirasa terlalu berat oleh mereka. Entahlah bagaimana denganku. Sebuah suara kembali berbisik, “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” kembali aku terdiam, mengatur nafas sejenak lalu menoleh. Burung besi itu telah terbang tinggi meninggalkanku berdiri di titik ini. “Mungkin masih ada waktu, tak perlu terburu-buru.” Jawabku.
16 Desember 2011.
Kubaca kembali tulisan itu lekat-lekat. Kubekap bibirku erat dengan kedua tangan. Mata membesar tidak berani mempercayai apa yang kulihat. Mengerjapkan mata yang semakin terasa panas. Buliran air mata mulai jatuh membasahi pipiku. “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” kembali kudengar samar samar. Aku terisak. “Mungkin, sudah bukan waktunya.” Jawabku lemas hingga tanpa sadar aku memejamkan mataku. Berusaha tidak melihatnya, berharap bahwa tulisan itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Tulisan itu terpampang jelas di layar, “Status: Menikah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!