Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 04 April 2011

Luka Laki-laki yang Lupa‏

Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com


"Hai kamu! Sudah lupakah kamu padaku?"
"Maaf kamu siapa ya?"
"Aku yang dulu sering bersamamu."
"Dimana?"
"Di dalam kamar sempit itu."

Pikiranku menari diantara seprei lusuh. Jemariku mengais ingatanku di keremangan lampu ruangan itu. Kakiku yang serasa tak bertulang merangkak perlahan di lantai semennya. Malam itu. Ya, malam saat aku melupakan sesuatu. Sesuatu yang membuat hari-hariku tak seindah dulu. Ya, aku telah melupakannya untuk beberapa waktu. Lupa yang telah menorehkan luka di tubuhku. Luka karena amukan massa yang lupa bahwa aku adalah manusia. Meskipun aku bukanlah manusia yang sempurna.

***

Luka di tubuhku belum juga mengering saat sosok kekar itu menyiram tubuhku dengan air. Perih kurasakan di sekujur tubuhku, namun tak seperih penderitaan orang yang telah terlupakan olehku. Akupun terbangun dari mimpi burukku. Kakiku melangkah terseret. Beberapa persendian tulangku seperti bergeser. Daging di tubuhku seperti membeku. Kaku.

Aku mencoba bangkit dengan berpegangan pada dinding ruangan gelap dan lembab itu. Tak kucium lagi aroma keindahan. Tak ada lagi wangi keceriaan. Tatapan nyinyir dan kata-kata mencibir keluar dari mulut-mulut penghuni ruangan itu saat aku merintih menahan sakit karena lukaku. Aku tak ingat lagi sudah berapa jam sukmaku terjebak dalam situasi ini. Satu yang tak kulupa adalah teriakan massa yang berteriak lantang.

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

Mengingat itu membuatku berdiri di bibir jurang penyesalan. Maju aku akan terjatuh dan mati di dasarnya. Mundur dan massa akan menghakimiku dengan parang dan senjata tajam lainnya yang mampu membuatku mati dan terlupa. Aku hanya bisa mendesah lirih dan berusaha berpegangan pada dinding ruangn itu. Dalam kepasrahan aku mengikuti langkah-langkah tegap di depanku. Aku bahkan tak tahu kemana arah langkah kakiku. Luka yang menemani langkahku memaksaku untuk mengambil nafas pendek. Tangan kekar mendorongku dengan kasar. Aku terjerembab di sebuah bukit terjal tak bertuan. Suara cemeti bergantian menghantam setiap titik tubuhku. Lukakupun semakin menjadi. Suara golok yang beradu dengan batu asah terdengar jelas di sanggurdi indera audioku. Aku berteriak dan meronta. Aku tak mengerti atau mungkin lupa dengan kondisi yang seharusnya akan aku alami.

Dalam samar kusaksikan seorang anak perempuan kecil yang melambai-lambaikan sebuah sajadah. Ya, sajadah milikku. Sajadah yang dulu setia menemani masa mudaku dengan doa, namun akhirnya terlupa karena godaan setan yang membabi buta. Sajadah yang pernah berada di sudut kamar anakku, malam itu. Air mata mengalir perlahan dari sudut kedua mataku.

***

Aku membuka mata saat mataku terpaku pada sebuah benda yang pernah aku lupakan. Benda yang selalu mengingatkanku agar tidak lupa perintah agama. Sajadah. Kulihat genangan air mata membasahi permukaannya. Air mata penyesalanku. Entah berapa lama aku menciumnya dalam sujudku. Aku lupa bahwa aku telah mati suri beberapa saat dalam sujudku dini hari itu.

Aku berusaha bangkit dari sujudku. Aku melangkah terseok menuju kasur busa berseprei lusuh di sebuah sel penjara itu. Kurebahkan tubuhku menahan kesakitan yang luar biasa. Aku berusaha memejamkan mata sebelum masa penghakiman itu tiba. Perih kurasakan di mataku, namun tak kuasa terlelap juga. Aku telah lupa kapan terakhir kali aku bisa tidur dengan lelap.

Kubuka mataku saat kudengar suara terali besi membawa aku ke alam kesadaranku. Dengan terpaksa akupun bangun.

"Nina, dimana handuk ayah?"

Tak ada sahutan, yang ada justru teriakan dari seorang di luar terali.

"Nina! Nina! Siapa itu Nina? Hai pendosa besar! Cepat bangun dan siapkan dirimu untuk penghakiman hari ini!"

Aku tersadar dari lupa bahwa aku sekarang tinggal di penjara dan bukan di rumah lagi bersama Nina, anak kandungku. Aku segera mempersiapkan diri dan dengan dipapah petugas penjara, akupun melangkah ke mobil tahanan. Sesampai di pengadilan aku duduk di kursi pesakitan. Tak ada satupun keluarga, sepertinya keluargaku juga telah lupa bahwa aku dulunya adalah bagian terindah dari mereka. Yang ada hanya kerumunan massa yang terus bergemuruh dalam teriak.

"Hukum mati! Hukum mati!"

Mereka kalap dan lupa kalau aku pernah menjadi bagian dari mereka. Bahkan mereka telah lupa padaku yang telah membantu mendirikan masjid di kampungku. Amarah telah membuat mereka lupa dengan semua kebaikanku. Wajar mereka lupa, karena memang aku pantas dilupakan.

Suasana sedikit tenang saat hakim memulai sidang. Hening, sehening hatiku saat ini. Sampai akhirnya jaksa penuntut membacakan tuntutannya. Jaksa pembela yang membantuku juga tidak bisa berbuat banyak untuk membebaskan aku dari tuntutan itu. Semua bukti tidak dapat terelakkan lagi. Semua saksi memberatkan aku.

"Saudara Susanto, berdasarkan bukti-bukti dan saksi, Anda secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak kejahatan berupa pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak perempuan saudara sendiri bernama Nina Susanto yang berumur lima tahun. Oleh karena itu majelis memutuskan saudara Susanto dihukum dengan hukuman mati."

Suara gemuruh penuh kepuasan di ruang sidang membuat wajahku tertekuk dalam-dalam. Aku telah lupa berapa lama aku duduk di kursi pesakitan itu dan membuatku lupa akan senyum di wajah polos anakku yang kini tersenyum di surga bersama ibunya. Tubuhku yang penuh luka seketika ambruk demi mendengar vonis itu. Vonis hakim telah mengantarku ke batas kepasrahan akan dosa besarku. Aku sangat menyesal karena gara-gara setan jahanam dalam pikiranku malam itu, membuatku lupa bahwa Nina adalah anak kandungku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!