oleh: @josephineambiya
“Kenapa kamu sedih?” laki-laki di halte bus itu bertanya pada perempuan di sebelahnya.
“Kenapa kamu tanya?” perempuan itu balas bertanya.
“Kenapa kamu tidak jawab saja?”
“Kenapa kamu tahu aku sedih?”
“Kenapa tidak? Kenapa kamu menahan tangis?”
“Kenapa kamu terus bertanya kenapa?”
“Karena kamu tidak butuh alasan, kamu hanya butuh pertanyaan, kamu butuh melepaskan,” akhirnya laki-laki itu mengakhiri reli pertanyaan mereka.
“Tahu apa kamu soal melepaskan?” perempuan itu bertanya ketus.
“Tidak tahu apa-apa. Makanya aku ingin belajar darimu.”
“ Aku juga tidak tahu, jangan bertanya padaku,” perempuan itu menengadah, menahan air matanya.
“Mungkin supir bus itu tahu, ya?” laki-laki itu memandangi bus yang baru melalui mereka. Perempuan itu tidak menjawab, ia memandang ke arah lain, memandangi jalanan di bawahnya.
“Mungkin kerikil juga tahu,” perempuan itu mengambil satu kerikil di bawah kakinya lalu menaruhnya di sebelah kerikil yang lain.
“Supir bus itu tiap hari mengemudi bus yang bukan miliknya, kalau nanti ia pensiun, apa ia tidak rindu pada busnya? Pasti ia sudah belajar melepaskan dari sekarang.”
“Kerikil itu juga punya keluarga. Ketika terlindas bus, ia pindah, apa keluarganya rindu? Mereka tidak bisa berjalan.”
“Belum tentu ia tidak bisa merasa,” laki-laki itu menimpali sambil mendekatkan satu kerikil lagi ke kumpulan kerikil yang dibuat si perempuan.
“Aku harus melepas orang yang aku sayang,” perempuan itu akhirnya bercerita.
“Oh.”
“Kamu tidak tanya lagi?”
“Tidak. Kamu akan cerita.”
“Oke,” perempuan itu tertawa lalu menyikut si laki-laki.
“Ayo cerita.”
“Pacarku meninggal. Ternyata rasanya lebih pahit dari putus cinta. Kalau putus cinta, aku bosan, dia bosan, sudah. Tinggal cari yang lain. ini rasanya beda, aku masih sayang, dia malah pergi. Aku tidak tahu harus apa. Melepaskan itu sulit sekali, seperti harus pindah rumah,” si perempuan menjelaskan. Laki-laki itu tersenyum singkat, lalu menepuk pundak si perempuan.
“Kamu, sedikit mirip dengan pacarku. Adikmu baru meninggal tidak?” si perempuan bertanya.
“Tidak, aku tidak punya adik.”
“Oh. Oke, mungkin kalian hanya mirip.”
“Apa yang mau kamu sampaikan pada pacarmu kalau ia masih hidup?”
“Jangan pergi dulu. Tunggu sampai aku bosan, tunggu sampai ia bosan. Tunggu sampai waktunya tiba,” si perempuan itu menengadah lagi, menahan air matanya.
“Bukannya kalau ia meninggal, tandanya sudah waktunya?” si laki-laki bertanya sambil menepuk pundak si perempuan, memberi kekuatan.
“Bukan waktunya untukku,” si perempuan mengangkat bahunya.
“Kamu egois, ya?”
“Iya,” si perempuan mengakui sambil mengangkat pundaknya.
Si laki-laki memandang langit di atasnya. Awan-awan mulai berkumpul untuk muntah sama-sama. Orang-orang mulai banyak berdatangan di halte untuk berteduh. Ia bertanya-tanya apa ada diantara mereka yang baru kehilangan saudara kembar. Mereka bukan kembar identik, miripnya hanya sedikit, hanya lahirnya beda 18 detik. Perempuan di sebelahnya, ia tahu merupakan pacar kakaknya, kakak kembarnya. Matanya mengerjap ketika air jatuh dari atap halte yang bocor. Waktunya ia pergi. Mungkin ada malaikat maut yang mengintainya saat ini dan membawanya bersama saudara kembarnya. Menurutnya, lebih mudah melepaskan nyawa daripada melepaskan saudara kembarnya.
“Aku pergi dulu,” ujar si laki-laki pada si perempuan.
“Jangan, hujan,” si perempuan menggenggam tangannya.
“Biar,” si laki-laki mencoba melepas tangannya.
“Aku tahu kamu mau menjemput maut. Aku tahu kamu mau mengejar kakakmu. Aku tahu kamu mau mati juga. Aku tahu kita tidak kebetulan bertemu di sini. Aku tahu kamu pura-pura tidak mengenalku. Tapi aku juga pura-pura. Kamu saudara kembar pacarku. Kamu mau mati juga, aku tahu. aku pura-pura jadi orang paling egois supaya kamu tidak jadi egois juga. Sudahlah! Kasihan ayahmu kalau harus kehilangan anaknya dua kali!” perempuan itu berdiri, berteriak di wajah si laki-laki. Orang-orang di halte berusaha mengacuhkan mereka.
“Sudahlah, kamu tidak tahu apa-apa,” laki-laki itu membuang mukanya.
“Aku tahu apa-apa. Ayo, aku antar kamu pulang.” si perempuan menggandeng si laki-laki ke atas bus yang baru berhenti. Mereka bicara banyak, dan sepakat untuk melepaskan.
Tepat satu jam setelahnya, di televisi, ada berita duka. Sebuah bus meledak di jalan raya, tangki bahan bakarnya bocor. Mereka, yang baru belajar melepaskan, mati bersama orang-orang lainnya. Setidaknya mereka tahu, tanpa dijemput, mati datang sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!