Oleh: Momo DM (@mazmocool)
http://bianglalakata.wordpress.com
Jarum jam masih berada di tempat seharusnya. Dentangnya pagi itu membuatku terbayang pada sebuah jalan yang akan kulalui. Jalan yang sama sekali belum pernah aku tahu seperti apa. Lurus ataukah berbelok-belok. Terjal berbatu ataukah mendatar halus beraspal.
"Tono! Kenapa kamu belum bersiap-siap juga?" ibuku berteriak dari luar kamar.
"Memang sepanjang apa sih jalan yang akan kulalui?" tanyaku dalam hati.
Hatiku masih terdiam tanpa jawaban. Tak ada sedikitpun getaran hati yang sampai ke otakku dan menerjemahkannya dalam bentuk jawaban. Tiba-tiba pikiranku kosong. Pertanyaan-pertanyaan tak penting silih berganti dalam hatiku membuatku tak menghiraukan teriakan ibu.
"Apakah jalan ini nantinya akan membawaku ke kebahagiaan?"
"Apakah jalan ini adalah jalan terbaik yang harus kulalui?"
Satu per satu pertanyaan dalam hati berubah menjadi sebuah melodi. Melodi tak beraturan yang membuatku berdiri di atas jurang keraguan. Tinggal satu langkah saja aku akan terperosok. Terjatuh dan terjebak di dalam jurang gelap itu. Jurang yang aku gali dari ketidakyakinanku sendiri. Entah bagaimana aku bisa melepaskan diri dari jurang itu.
"Tono! Buruan! Ibu dan yang lainnya sudah siap mengantarmu sekarang!" ibuku kembali berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Aku masih terdiam karena belum bisa melepaskan diri dari jebakan yang aku buat sendiri. Aku tak menyahut. Jebakan itu telah membuatku tak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Kata-kata yang seharusnya bisa aku ucapkan pada ibuku sejak awal.
"Ibu tunggu sampai jam sembilan!" kata ibuku lagi seolah dia satu-satunya penguasa waktu.
"Iya bu," jawabku singkat tanpa beranjak dari tempat tidurku.
Pandanganku menyapu langit-langit kamar kesendirianku. Semula tak kutemukan apa pun, sampai akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah pemandangan yang tak biasa. Sepasang cicak tengah memadu kasih. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan gemuruh cinta keduanya.
Cicak-cicak berlalu, aku pun kembali ragu. Ragu akan kekuatan diri dalam menjalani jalan yang akan kutuju. Secara fisik aku telah mampu, tapi secara psikis aku belum siap. Jiwaku masih terkurung dalam trauma masa lalu. Aku belum bisa melepaskan itu.
Pandanganku berpindah pada jam di dinding. Jam dinding yang sepertinya tidak pernah mengerti dengan keadaan hati dan perasaanku saat ini. Satu detakan jarum detiknya adalah sebuah tusukan jarum di hatiku. Kurasakan nyeri dalam setiap detak detiknya.
"Ah, masih setengah jam lagi," pikirku dalam hati.
Setengah jam. Ya...tinggal setengah jam lagi aku harus memulai sekaligus mengakhiri petualangan ini. Petualangan yang sudah mengajarkan aku tentang arti kesendirian. Petualangan hati untuk memperoleh satu hal pasti. Tujuan yang ada di ujung jalan yang akan kulalui hari ini. Setengah jam lagi.
Aku masih menatap jam dinding itu dalam harap. Berharap semoga putarannya bukan lagi sebuah siksaan. Harapan yang akan membuatku yakin akan sebuah kepastian hatiku sendiri. Hatiku yang masih meratapi detik yang seperti semakin cepat berubah menjadi menit.
Lima belas menit berlalu, aku pun telah siap dengan pakaianku saat aku mendengar ibuku kembali berteriak.
"Tono, lima belas menit lagi kita berangkat!"
Jleb! Teriakan ibu langsung menghujam jantungku. Lima belas menit lagi aku akan memulai perjalananku. Waktu yang sebentar itu aku manfaatkan untuk mematut diri di cermin. Bayangan jam dinding berada tepat di hadapanku. Kubalikkan wajahku dan kutatap lekat-lekat jam dinding yang sedari tadi mengetuk-ngetuk hatiku.
Aku ambil kursi di sudut kamar dan aku melepaskan jam dinding itu dari tempatnya semula. Aku melepaskan baterai di belakang noktah-noktah penanda angka yang ada. Aku buang baterai itu dan memasang kembali jam dinding di tempat semula.
Aku kembali berkaca dan tersenyum. Kulihat bayangan jam dinding tetap menunjukkan angka jam sembilan kurang satu menit. Jarum detik yang tak kunjung bergerak adalah kemenanganku. Itu artinya waktu takkan pernah sampai di angka sembilan. Dan itu berarti aku tak harus menuruti kata-kata ibuku.
Aku melepaskan jas yang dari tadi membuatku gerah. Jas yang kukenakan tergeletak begitu saja. Aku meloncat melalui jendela dan keluar halaman rumah melalui pagar belakang. Aku melangkah cepat menyusuri jalanan sepi tanpa menghiraukan lagi teriakan ibu yang terdengar semakin samar.
Aku terus melangkah setengah berlari menyusuri jalan yang kupilih sendiri. Aku telah berhasil melepaskan diri dari permulaan jalan yang telah dipersiapkan ibuku. Jalan menuju kehidupan baru. Pertunangan dengan gadis yang tak pernah benar-benar aku cintai dan karena memang aku belum menginginkan itu, meskipun usiaku sudah mendekati kepala tiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!