Oleh: Jesslyn Chandra (@jesslynchandra)
http://crazydiaryboom.blogspot.com/
Denting piano yang terpatah-patah terdengar di ruang musik sekolah. Di depannya duduk seorang gadis berseragam putih abu-abu di kursi piano dengan dahi berkernyit sambil menatap rentetan not balok yang masih tertatih-tatih dibacanya. Sesekali ditekannya tuts piano, namun tak sedikit pun membentuk serangkai melodi yang sempurna.
Jglek!
Tiba-tiba pintu ruang musik terbuka, membuat gadis itu sontak berbalik. Jantungnya seakan hendak melompat keluar saking terkejutnya. Di depannya, berdiri seorang lelaki berambut kecoklatan yang basah oleh keringat, tampak baru saja bermain basket.
“Main piano itu bukan begitu caranya...”
Masih belum luntur keterkejutannya, tiba-tiba lelaki yang berbalut seragam sama sepertinya itu mendekat. “Jadi, namamu Stefanie Ibrahim?” Cowok itu mengangkat sebelah alisnya.
Gadis yang bernama Stefanie itu terlonjak. “Da-dari mana kamu tahu namaku?”
“Dari seragammu.” Ia tertawa kecil, lantas mengulurkan tangan kanannya. “Jaste Emeraldo.”
Stefanie mendongak, menatap lelaki itu dari atas hingga bawah. Wajahnya familiar, namun ia belum mengenalnya. Sepertinya ia juga murid kelas XII. Takut-takut, gadis itu menjabat tangan lelaki itu. Dingin, basah oleh keringat. Jantungnya berdesir dua kali lipat lebih kencang.
“Tenang, nggak perlu gugup gitu. Tadi aku nggak sengaja dengar bunyi piano dari sini, makanya aku penasaran dan masuk.” Jaste tersenyum, perlahan-lahan turut menerbitkan senyum Stefanie di wajahnya.
“Aku lagi latihan untuk ujian praktek besok, sejak pulang sekolah dua jam lalu.” Stefanie meringis. “Aku tahu, permainan pianoku jelek sekali, ya?”
“Iya,” jawab Jaste lugas, menambahkan sepenggal tawa geli melihat ekspresi gadis itu yang berubah. “Tapi, aku nggak keberatan kok kalau kamu minta aku untuk mengajarimu.”
Bola mata Stefanie membulat. Ia tak lagi peduli jika lelaki ini baru saja dikenalnya beberapa menit yang lalu. Gadis itu mengangguk sumringah, lantas menggeser posisi duduknya untuk Jaste.
“Main pianonya jangan kaku gitu,” ucap Jaste tepat setelah jemari Stefanie menempel di tuts piano. “Santai aja, karena semua melodi itu harus datang dari hati...”
Jaste mengusap tangan gadis itu perlahan, lalu meletakkannya kembali pada tuts-tuts piano. Mata mereka berdua tak sengaja bertemu. Sebuah gejolak yang entah apa namanya menyeruak dalam kalbu.
***
Pintu putih ruang musik perlahan-lahan terbuka. Seorang gadis berseragam SMA muncul di baliknya dengan sekujur tubuh yang bergetar. Matanya tak berhenti berkedip menatap sosok lelaki jangkung berambut kecoklatan yang berdiri di depannya.
“Kok kamu bisa ada di—”
“Iya, Stef, tadi aku buru-buru ke sini karena mau lihat kamu.” Lelaki dengan nama Jaste Emeraldo di seragamnya itu tersenyum kecil. “Jadi gimana?”
Stefanie menarik nafas panjang, seakan mengambil ancang-ancang untuk mengungkapkan sesuatu yang besar. “Aku berhasil, Jaste! Aku berhasil!” Tanpa sadar, digenggamnya tangan lelaki itu erat-erat, lantas tersenyum tulus. “Makasih, ya. Karena kamu, ujian praktek tadi jadi berjalan lancar.”
“Sama-sama.” Jaste tersenyum lebar, menepuk ringan pundak Stefanie. “Kalau lain kali butuh bantuan lagi, kamu tinggal sebut namaku tiga kali dan aku akan datang. Oke?” selorohnya.
Stefanie tertawa kecil. Kedua pipinya terasa hangat. “Makasih lagi ya, Jaste.” Ia menunduk, tak ingin lelaki itu mendapati rona di wajahnya. “Aku mau ke kelas dulu.”
Seorang gadis jangkung berambut panjang tiba-tiba melompat dari balik tembok begitu Stefanie meninggalkan Jaste menuju kelas. “Pipinya sampai merah gitu, Stef?” Gadis itu tersenyum penuh arti.
“Clara!” Stefanie membekap mulut sahabatnya itu, lantas buru-buru menyeretnya ke kelas. Ia tahu, ia harus segera menumpahkan perasaannya pada seseorang sebelum dadanya meledak.
***
Waktu terbang secepat hembusan angin, mengombang-ambingkan hidup hingga terkadang manusia sendiri tak menyadari betapa jauhnya hari telah terlewat. Rangkaian ujian telah usai, penghujung masa SMA telah berlalu.
“Kok diam aja, sih?” Jaste mengamati wajah gadis di sampingnya perlahan. Guratan yang entah apa namanya muncul di wajah gadis itu.
Stefanie hanya menjawab dalam bisu, tersenyum kecil. Dipandangnya penjuru Bandara Juanda sore itu, kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya. Kenyataan yang entah mengapa terasa getir menghantam dadanya. Dalam hitungan tak sampai satu jam, lelaki itu akan terbang ke Melbourne untuk kuliah. Untuk meraih impiannya, menjadi seorang pianis terkenal.
“Lucu banget, ya.”
Stefanie mengangkat kepalanya, mengernyitkan dahi. “Hah?”
“Yah, rasanya lucu aja bagaimana waktu bisa berjalan secepat ini dan mengubah segalanya secepat kilat.” Jaste mengangkat alisnya, menatap Stefanie dalam-dalam. “Kamu ingat nggak, gimana pertama kali kita bisa kenalan?”
Gimana aku bisa lupa? Batin Stefanie. Ia hanya menerawang, kembali tersenyum kecil. Memori demi memori yang dilaluinya beberapa bulan terakhir berkelebat dalam pikiran. “Bertemu dengan pahlawan yang menjelma jadi cowok bau keringat di ruang musik saat itu adalah salah satu memori yang nggak mungkin aku lupakan, tahu. Yah, siapa sangka seorang lelaki tinggi-besar sepertimu rupanya bisa selihai itu bermain piano?”
Jaste tergelak. “Mendapati seorang gadis yang melongo menatap partitur sore itu juga adalah salah satu saat paling berharga dalam hidupku.”
Mereka berdua terbahak, namun sejurus kemudian diam tercekik bisu. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jaste meremas ujung kausnya, sesekali menatap gadis di sebelahnya itu resah seakan hendak mengungkapkan sesuatu.
“Jaste?” Stefanie mengerutkan alisnya, balas menatap lelaki itu. “Kenapa dari tadi liatin aku terus? Ada yang salah, ya?”
“Nggak. Yang salah adalah kalau aku nggak mengungkapkan hal yang sebenarnya.” Ia menarik nafas panjang, berusaha menenangkan debar jantungnya yang meliar. Perlahan-lahan dirogohnya sesuatu dari dalam ransel, mengeluarkan setangkai bunga mawar merah.
“Bunga mawar ini buat kamu.” Jaste menarik tangan Stefanie lembut, lantas memberikannya pada gadis itu. “Anggap saja sebagai ucapan selamat dari aku.”
Stefanie menatap setangkai mawar yang kini digenggamnya erat-erat dengan tatapan yang tak mampu diartikan. “Selamat?”
“Ya.” Sekali lagi Jaste menarik nafas, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Ia tak dapat mundur lagi sekarang. “Selamat untuk nilai delapan di ujian praktek musikmu, dan selamat karena... Telah merebut hatiku.”
Jantung Stefanie berhenti berdetak selama beberapa detik. Rasa seakan menyengat ujung-ujung jemarinya. Perlahan ia mengangkat kepalanya, menatap dalam kedua bola mata lelaki itu sambil mengeratkan genggaman pada bunga mawarnya.
“Jaste...” Ia mengusap tangan lelaki itu lembut. “Pesawatmu bentar lagi lepas landas, tuh. Pergilah. Aku akan menunggumu di sini.”
Lelaki itu tersenyum, berat. Tanpa kata, ia mengusap lembut mawar di tangan Stefanie, lantas menatap gadis itu dalam. Perlahan-lahan ia membalikkan badan, berjalan menjauh sebelum untuk terakhir kalinya kembali menoleh pada Stefanie.
Clara yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya dari kejauhan tiba-tiba muncul menepuk pundak Stefanie. “Kenapa tadi kamu nggak langsung jawab aja, sih?”
Stefanie menatap punggung Jaste yang perlahan-lahan menghilang ditelan kerumunan orang dengan pandangan mengabur. “Aku cuma ingin dia mengejar impiannya dulu,” bisiknya. “Dan kalau semua yang dia katakan tadi memang benar, dia pasti kembali... Menemui aku, yang akan selalu menunggu.”
***
Lima tahun kemudian...
Ruangan megah itu mendadak sunyi tepat setelah denting piano pertama terdengar. Seorang pianis muda yang duduk di hadapannya menekan tuts-tuts piano dengan lihainya, seakan menghipnotis seluruh penonton tanpa terkecuali.
Begitu ia selesai menekan nada terakhirnya, kesunyian ruangan itu berubah menjadi gemuruh tepuk tangan. Pianis itu membungkukkan badannya, tersenyum.
“Tepuk tangan yang sangat meriah untuk sang pianis muda, Jaste Emeraldo!” Dean, sang pembawa acara menghampiri pianis itu. “Sekali lagi, luar biasa brilian. Kalau tidak salah, lagu barusan adalah ciptaanmu sendiri? Anda persembahkan untuk siapa itu, Jaste?”
“Benar. Judul lagu barusan adalah Harmoni Untuk Stefanie.” Ia tersenyum. “Dan sebelum menjawab pertanyaan Anda, ijinkan saya memberikan mawar ini untuk inspirasi saya terlebih dahulu, Dean.” Jaste mengangkat sebuket mawar merah di tangan kanannya, lantas turun dari panggung.
Lelaki itu langsung berjalan lurus ke arah perempuan yang sejak tadi memperhatikan permainan pianonya dengan mata berkaca-kaca. Jaste mengangkat lembut tangan perempuan itu, memberikan buket mawar padanya.
“Stefanie Ibrahim, terima kasih telah menungguku sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan selamat, sekali lagi selamat untukmu... Karena telah merebut hatiku sejak dulu, sekarang, dan selamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!