Oleh: @danissyamra
Kantin sekolah penuh sesak dengan murid-murid yang berhamburan menuju tempat jajanan kesukaan mereka masing-masing. Di antara sesaknya kantin, terdapat sepasang sahabat di sudut kantin, mereka terlihat asik memakan makanan mereka sambil terus bercengkerama.
“Ron, lo mau nunggu apa lagi?” tanya Marwan, mulutnya masih mengunyah potongan baso.
“Gue nggak tau, Wan. Gue masih ngerasa waktunya belum tepat.”
“Come on Bro. Sampai kapan? Lo itu udah ngejar-ngejar si Dewi dari awal kelas 1 dulu. Dan sekarang kita udah kelas 3.” ujar Marwan. Kini ia menghentikan makannya, “3 tahun Ron? 3 tahun… mau nunggu momen yang kayak gimana lagi?”
Terlihat Roni kehilangan nafsu makan. Dia hanya diam tak menghiraukan mie ayam yang ada dihadapannya. Sekilas dia memalingkan wajahnya ke arah sahabatnya sejak SMP. Marwan benar. Roni terlalu banyak menyia-nyiakan waktu. Selama hampir 3 tahun dirinya hanya mampu dekat dengan Dewi. Hanya dekat. Tidak berani lebih.
“Payah lo, Ron… ngungkapin suka sama De–” ucapan Marwan terputus saat orang yang sedang dibicarakan lewat dihadapan mereka.
“Hai, Ron, Wan. Aku numpang makan disini yah. Gak apa-apa kan?” tanya Dewi seraya merapatkan bangku ke arah meja.
“Iya gak apa-apa kok, Dew.” ucap Marwan. “Iya kan, Ron?” Lelaki berambut cepak itu menyikut lengan Roni.
Roni hanya mengangguk kecil dan tersenyum, lalu ia mengambil teh botol miliknya dan menenggaknya habis.
Selama ini hubungan Roni dan Dewi terlalu dekat bila hanya sekedar teman. Terlalu dekat dan terlalu tidak biasa. Tapi mereka hanya teman. Hanya ada diam dan bungkam saat mereka ditanyai mengenai status hubungan mereka berdua dan hanya berkilah. Hanya teman.
“Dew, weekend besok ada waktu nggak? Ada film bagus nih.” Roni memulai obrolan saat Marwan sudah pergi ke kelas lebih dulu.
“Boleh, emang film apa, Ron?”
“Tron. Mau nonton?”
“Di bayarin nggak nih? Haha… aku becanda kok. Yaudah, kayak biasa yah, Ron. Kamu jemput aku.” ucap Dewi.
“Yaudah nanti kayak biasa sekitar jam 11 aku jemput kamu dirumah.”
Bel berbunyi, perlahan murid-murid kembali ke kelas masing-masing. Namun Roni masih menunggu Dewi menyelesaikan makannya. Suatu hal yang selalu dilakukannya saat Dewi menghabiskan waktu istirahat bersamanya.
*
Roni berdiri di depan pintu rumah Dewi. Rumah berdesain minimalis dengan warna putih mendominasi dinding-dinding rumahnya dan dekorasi batuan hitam bertengger menghiasai beranda rumah yang disulap menjadi seperti taman mini.
Roni memencet bel yang ada di samping pintu sekali lagi. Tidak lama kemudian terdengar suara seseorang keluar dari dalam rumah.
“Eh, Roni. Silahkan masuk.” Wanita tinggi semampai dengan rambut hitam lurus sebahu mempersilahkan Roni masuk.
“Makasih kak Dian.” ucap Roni kepada Dian–kakaknya Dewi–saat duduk di sofa bewarna hitam yang ada di ruang tamu. “Dewinya masih lama yah kak?” tanya Roni.
“Biasalah perempuan, dandannya lama. Hehe…” ucap Dian. “Oh iya, mau kakak bikinin minuman?” tanya Dian berbasa-basi.
“Eh? Makasih kak. Nggak usah repot-repot, tuh Dewi-nya juga udah siap.” Tunjuk Roni saat melihat Dewi keluar dari kamarnya yang terletak di lantai atas.
“Maaf ya, Ron, agak lama. Hehe…” ucap Dewi seraya tertawa renyah. “Kita berangkat sekarang?”
Roni melirik arloji yang melingkar ditangan kanannya, “hmm, oke kita berangkat sekarang.” Lelaki itu beranjak dari sofa. “Kita berangkat dulu ya kak Dian.” Pamit Roni kepada Dian.
*
Tak terasa hari sudah sore dan senja akan datang. Langit sudah mengguratkan garis-garis kemerahan. Tak lama lagi gelap akan muncul dan bulan akan menggantikan matahari.
“Gimana menurut kamu filmnya bagus nggak?” tanya Roni kepada Dewi yang berjalan disampingnya.
“Bagus kok, aku suka banget lagi. Keren.” jawab Dewi antusias. Matanya membulat ceria. Sebuah ekspresi yang dikeluarkan Dewi saat dirinya benar-benar menyukai sesuatu.
Lalu sejenak diam menguasai mereka.
“Ron, kita kesana yuk.” Tiba-tiba Dewi menarik lengan kemeja Roni dan menunjuk ke arah sebuah studio foto box. “Ayo, Ron. Mau yah… yah…” rujuk Dewi.
“Eh? Foto?” Ekspresi wajahnya menyiratkan keengganan. Namun setelah dia melihat wajah Dewi yang terlihat menginginkan berfoto ria, dirinya menyanggupi permintaan perempuan yang sejak 3 tahun lalu dekat dengannya. Terlalu dekat. Hingga dirinya mengetahui semua yang diinginkan oleh perempuan ini.
Di dalam kotak yang berukuran 2x2 meter itu Roni dan Dewi mulai memasang pose unik. Foto pertama, Dewi berpose mengacak pinggang dan Roni mengangkat kedua ibu jari tangannya dan tersenyum. Foto kedua, Roni berdiri di belakang Dewi dan tangannya melingkari leher Dewi dan Dewi tersenyum kecil. Foto ketiga, Dewi mengangkat kedua tangannya dan membentuk hati, sementara Roni juga melakukan hal yang sama. Lalu di foto terakhir, Rama dan Dewi duduk berdampingan dan sesaat sebelum kamera memotret secara otomatis, tiba-tiba Dewi mengecup pipi Roni dan Roni memasang mimik terkejut saat kamera sudah memotret otomatis. Lelaki itu tidak menyangka Dewi akan mencium pipinya. Terlalu dekat. Terlalu pekat.
Setelah Roni mengurus biaya foto dan mengambilnya dari meja kasir, lelaki itu membuka amplop berisi foto-foto mereka. Sekali lagi dia melihat foto keempat saat Dewi mencium pipinya, dia masih tidak mempercayai hal itu nyata.
“Maaf ya Ron, kalau kamu nggak suka.” ucap Dewi merasa bersalah.
Roni tersenyum. “Nggak apa-apa kok, Dew. Aku juga seneng kok” ucapnya seraya tersenyum kembali.
Mereka kembali berjalan di dalam mall, hanya berjalan tanpa tujuan. Mereka hanya berjalan mengelilingi mall yang jalannya berbentuk spiral itu.
“Dew, kamu inget nggak kapan pertama kali kita jalan berdua?” Seketika keheningan di antara mereka pergi.
“Aku lupa tanggalnya, tapi kalau nggak salah pas kita kelas 1 dulu kan yah? Bener nggak, Ron?”
“Percaya nggak klo saat itu 1000 hari yang lalu?” tanya Roni.
“Eh? Serius?”
“Iya aku serius, Dew.” ucap Roni. “Pertama kita jalan itu 1000 hari yang lalu. Nih buktinya.” Rama mengeluarkan isi dompetnya saat mereka sudah duduk di bangku yang ada di pinggir lorong mall yang telah di sediakan manajemen mall.
“Loh, ini kan potongan tiket pertama kita nonton?” ucap Dewi sedikit terkejut saat melihat isi perut dompet Roni. “Dan ini… ini kan foto box pertama kita pas kita jalan kedua.”
Dewi masih terus membuka isi dompet Roni, matanya terlihat kembali membulat ceria, seperti menemukan mainan baru yang menyenangkan hatinya.
Roni hanya tersenyum memperhatikan tingkah Dewi. Lalu dia melihat Rani membuka kertas lusuh yang ada di dalam selipan dompetnya.
“Ron? Ini puisi kamu buat aku?”
“Iya, Dew, aku harap kamu suka dan mau.” ucap Roni tenang. Seketika suasana menjadi hening, bukan hening yang dingin. Tapi hening yang menggambarkan suasana romantis yang diciptakan Roni. Mata lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Dewi. Terlalu dekat. Terlalu lekat.
Keduanya terdiam. Mulut tak berbicara. Namun mata mereka seolah menceritakan isi hati keduanya.
“Would you be my half soul?”
Dewi mengangguk, tangannya menggenggam erat kertas lusuh berisi puisi yang dituliskan oleh Roni sejak 1000 hari yang lalu itu. Matanya terpejam. Seketika Roni mencium lembut bibir Dewi dan mengecupnya pelan. Logika mereka telah melayang jauh, hanya ada cinta.
Aku melayang terbang jauh dari nyata
Hadirmu menghilangkan logika
Kau dengan sejuta pesona
Inginku memelukmu sebentar saja
Merpati terbang kembali kesarang
Bingung mendapati sarangnya kosong
Kembali terbang dan terbang
Kesepian, itu kata yang tepat
Sepi selalu menemani merpati itu tak merapat
Sampai dia temukan sarang baru
Yang mendapati dirinya kembali ceria
Aku merpati itu
Dan kamu sarangnya itu…
Bersamamu aku merasa kembali pulang
Kamu… Dewi Sarastika
Mau kah kamu melengkapiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!