Oleh: Fadilla D.P. (@dilladp)
fadilladp.tumblr.com
Matahari berseru girang di saat waktunya telah tiba. Ia malu-malu
bergerak di ufuk timur, menampakkan pusara gemilang cahayanya. Kudekap
hangatnya ditemani aroma rerumputan basah yang saling bergesek pelan.
“Selamat pagi,” kusapa ia dari balik tirai dedaunan yang menjuntai
lembut menyentuh tanah.
“Pagi,” jawabnya, tanpa memalingkan bola matanya sedikit pun dari
lukisan alam yang tergores di hadapan.
Aku ikut bersender pada batang pohon besar yang memayungi kami berdua.
Sang burung terbangun dari tidur lelapnya dan berucap salam dari ujung
ranting. Awan berarak pelan mendatar, berkumpul di tempat seharusnya
ia berada. Di kesunyian pagi ini alam telah bernyanyi menyambut cerita
baru, sementara hanya ada dua insan yang ikut melagu. Ya. Aku dan dia.
“Indah ya,” kataku.
“Iya,” jawabnya. Gerak-gerik matanya terbius oleh potret di
hadapannya, seakan tak ingin kehilangan sedetik momen pun.
Sunyi. Kami berdua terperangkap dalam diam. Ia tenggelam dalam
kekaguman, dan aku tenggelam dalam angan. Kutapaki setapak jalan
terjal yang harus kulalui untuk dapai mencapai ke sini. Sebuah ujung
bukit yang langsung menghadap puncak pegunungan, tempat sang raja
siang terbangun dari tidur panjangnya. Di sinilah tempat terbaik
menyaksikan fenomena tersebut. Fenomena yang sangat ia cintai setiap
pagi. Fenomena yang juga ku… cintai. Ah, namun tak sebesar cinta yang
kumiliki untuknya. Ia adalah satu-satunya alasan mengapa aku berada di
sini.
“Kamu tahu, kenapa aku suka melihat sunrise?” Tanyanya setelah
matahari berdiri tegak dengan sempurna. Aku tersentak.
“Tidak.”
“Karena aku suka awal. Menurutku, sesuatu yang baru saja dimulai pasti
sangat terasa indah.”
Alisku bertaut. “Contohnya?”
“Ya, seperti matahari terbit ini. Sunrise, kelahiran, perjumpaan
pertama, perkenalan pertama… Semua pasti terasa indah…" ia terdiam
sejenak. "Hanya di awal saja,” lanjutnya dengan nada sarkatis.
“Apa itu berarti kamu tidak suka sunset?”
“Nggak begitu suka… Karena aku takut akan sebuah akhir. Kehilangan.
Kematian. Perpisahan. Itu semua aku gak suka.”
“Tapi kamu hidup. Setiap ada awal pasti ada akhir.”
“Karena itu, aku tidak mau memulai.”
“Hidup kamu telah dimulai.”
Ia terdiam.
“Apa itu berarti kamu tidak mau memulai selamanya?” aku melanjutkan.
“Tidak.”
“Lantas, mengapa kamu begitu menikmati sunrise ini? Katamu kamu tidak
mau memulai?”
“Ya. Aku memang bilang, aku tidak mau memulai. Tetapi aku tidak bilang
bahwa aku tidak menikmatinya. Aku hanya mencintai awal, bukan berarti
aku mau mengawali sesuatu.”
Kuembuskan napas keras, tak habis pikir dengan teori konyolnya yang
baru saja kudengar.
“Lalu apa selamanya kamu akan begini? Terlalu takut dengan apa yang
jauh di depan, toh pada akhirnya kamu tak tahu akan berujung bahagia
atau tidak.”
“Dengar, hidup ini adalah pilihan. Apa yang menjadi keyakinanmu,
jalanilah. Dan aku memilih untuk seperti ini, karena aku tahu akhirku
takkan pernah indah. Lebih baik aku memutuskan untuk tidak memulai.”
“Konyol.”
“Apapun.”
Kami menatap dini yang telah berubah pagi dalam diam. Kuurungkan
niatku untuk mengucapkan sebuah kata yang sedari tadi tertinggal di
ujung lidah. Keteguhan hatinya takkan mungkin dapat kutembus, sekuat
apapun aku memaksa.
Sebuah kata yang tertinggal di ujung lidah,
Cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!