Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 14 Mei 2011

Halusinasi

Oleh: @MikaylaFernanda



                “Maafkan aku, semesta. Kali ini aku menyerah.”
                Aku menatap langit yang menghitam di atasku. Kilat-kilat berseliweran bagaikan lampu blitz yang menyambar. Sebenarnya tidak ada hujan, tapi entah kenapa gumpalan hitam itu seolah terfokus ke gedung ini. Batinku bertanya-tanya, inikah pertanda pintu neraka yang terbuka untukku?
                “One, two, three… Here we go….”
                Gumaman lemah mengiringi langkahku. Perlahan demi perlahan mendekati selasar pembatas. Dinding setinggi pinggang kini berada tepat di hadapanku. Kuulurkan tanganku dan mengusap percikan air yang membulat di sana. Ini bukan hujan, ujarku dalam hati. Namun titik itu jatuh lagi, makin lama makin deras. Kuusap pipiku yang basah oleh air mata. Bukankah tadi tekadmu sudah mantap? Apa lagi yang kau tunggu? Kau ingin suara dari langit menggelegar dan menyuruhmu lompat??
                Dari puncak gedung Sudirman, aku menatap nanar ke arah jalan. Ke arah pohon melambai dipermainkan angin, ke arah mobil-mobil yang berderet oleh kemacetan. Entah halusinasi, aku merasakan bisikan itu datang. Makin lama, makin kuat.
                “Sabrina… Sabrina….”
                Aku tergeragap. Kudukku berdiri. Pohon itu… Pohon-pohon itu bersuara. Mendesis di sela gemuruh badai yang menggema. Mereka melambaikan tangan, memanggilku datang. Melompatlah, demikian kata mereka. Jangan takut. Kami akan menunggumu di bawah.
                Ini halusinasi. Fatamorgana semu!
                “Sabrina… Sabrina…”
                Apa yang kalian inginkan dariku??
                Aku memekik sambil menangkupkan kedua tangan di telinga. Mencengkeram rambutku kuat-kuat hingga pedih. Dunia fana sudah cukup menyiksaku. Kalian jangan ikut-ikutan! Dengung itu terus menerus mendesis, bergaung di rongga kepalaku. Seolah menghajar tempurung otakku dari dalam.
                “Mereka bilang kau gila, Sabrina…”
                A-aku tidak gila, desisku gentar.  Hujan mulai turun, membasahi seluruh tubuhku. Kunaikkan kerah bajuku hingga menutupi leher, sambil berharap dinginnya udara bisa berkurang.
                “Mereka bilang kau  hilang ingatan!”
                Bohong! Aku baik-baik saja!!
                “Mereka bilang kau pembunuh! PEMBUNUH!!” Suara itu berteriak makin keras. Terpantul-pantul dari pori-pori udara.  “Kau pembunuh Tiza! Kau membunuhnya! Kau MENIKAMNYA!!”
                Tidaak!!!
                Aku mulai menangis. Tubuhku melorot ke lantai beton seperti seonggok kain. Kepalaku terkulai lemah, bersandar pada tembok pembatas. Seketika itu kulihat kilat memecah, menyinari tempat kutersungkur. Secercah pantulan terbias dari tangan kananku yang bersimbah darah.
                Kupandangi pantulan wajahku lewat permukaan pisau. Mengamati setiap lekuk yang tercermin di sana, kemudian tertawa terbahak-bahak.
                 
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!