Oleh: Nadia Pratiwi (@naddhiiia)
Sepi mengawali kisah ini, dan dinginnya sudah tak bisa dibayangkan
lagi. Malam itu kami berkumpul di rumah tua yang sangat reot. Bahkan
sebuah pintunya pun tidak bisa dikatakan sebuah pintu. Tiba-tiba
tercium aroma melati menyengat, dan benar-benar nyata, karena kami
semua merasakannya.
"Dam, bagaimana nih, malam ini kita cuma bertiga?" tanya Tari.
Seharusnya kami berlima, namun dikarenakan dua teman kami berhalangan
hadir, apa boleh buat. Rencana ini sudah mencapai klimaks di
ubun-ubun, menunggu direalisasi.
Godam ialah salah satu sahabat kami yang bertubuh paling besar dan
selalu dapat diandalkan dalam pelaksanaan ritual ini. Sedangkan
Dirgantari, satu-satunya perempuan di perkumpulan orang-orang sinting
ini... Mau-maunya tuh wanita sableng! Aku sendiri Drei, aku yang
mencuatkan kegilaan ini hingga sampai ke permukaan otak
sahabat-sahabatku sendiri. Aku si mahasiswa rantau di kota seribu
pintu yang punya penyakit gangguan tidur akut.
"Drei, ngelamun aja sih, gimana nih nasib kita?" Tanya Tari sambil
menjitak kepalaku. "Aduh, sialan, kamu cewek bukan sih? Tenaganya
gedean situ daripada Godam." protesku sembari mengelus kepala.
"Udah-udah, ribut aja nih berdua." Bentak Godam dengan wajah asem.
Udara malam padahal sudah sering kami lalui, tapi malam ini berbeda.
Entahlah, seperti ada sesuatu hal aneh yang akan terjadi. Yah aku
sendiri berharap ini semua hanya firasat semata, tapi rasanya juga
bukan hanya aku yang merasakan hal itu, Godam dan Tari pun berharap
akan hal yang sama.
Semilir angin lembut yang menghembuskan aroma melati bercampur
kamboja, sampai juga di indera penciuman kami. Aku, Tari, dan Godam
berjalan makin merapat. Masing-masing-masing membawa senter dan
mengarahkan ke berbagai sudut rumah ini. Jendelanya hanya terdiri dari
kusen usang dan secuil kaca kecil di bagian pinggir, sekedar
menunjukkan eksistensinya di masa lampau. Perabotannya pun sama ausnya
dengan rumah ini. Sebuah meja kayu berpelitur dan berukiran khas
jepara terlihat melintangi sebuah pintu yang menghubungkan dengan
ruangan lain. Suasana mistis dan ngeri menyeruak dan membuat langkah
kami sedikit gontai. Sementara udara semakin dingin dan menusuk-nusuk
tulang kami. Bahkan si Godam pun sempat menggigil beberapa kali.
"Ayo berpencar !" Seru Godam diantara gemeletuk rahangnya. ”Tari, kamu
ke arah kiri, Drei...” Godam melirikku sekilas, terlihat seperti
sedang berpikir, ”terserah deh mau kemana asal nggak searah ama kita,”
“Oke,” Aku memilih berjalan terus menuju suatu ruangan dibalik pintu
reot yang berukiran lebih indah dari pintu-pintu yang lain.
Samar-samar-samar aku dengar Godam berbisik, “Hati-hati ya,”
Aku membuka pintu itu pelan-pelan-pelan dan menyadari aroma melati
bercampur kamboja, ditambah sekarang kenanga, ternyata berasal dari
ruangan ini. Ada sebuah tempat tidur besar beralas kain beludru merah
usang yang sudah berlubang di beberapa tempat, seperangkat meja rias
dengan kaca yang tidak lagi utuh, dan jendela yang renggang dan
sesekali bersinggungan dengan tembok terkena semilir angin.
Aku menggigil. Mendadak perasaanku jadi tidak enak.Dan kemudian aku
melihat sesosok wanita muda sangat cantik bersanggul melati berkebaya
hijau melintas di depanku. Aku cuma bisa mematung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!