Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 21 Februari 2011

... Sedikit Lagi Saja

Oleh Kartika Rizky, raeky@live.com, @kikyoong

Aku tidak menyangka, kepergianmu begitu cepat. Tidak juga menyangka, ketika kamu pergi, rasanya akan sesakit ini. Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu benak, menuntut jawaban yang tidak pernah ada. Kenapa kamu pergi secepat ini? Padahal aku masih membutuhkan kamu di sini, sekarang.
Taukah kamu? Ini hari ulang tahunmu. Hari yang selalu aku tunggu dari tahun ke tahun meski aku tau tidak pernah akan ada gunanya lagi. Aku memegang sebuah piring berisi kue-kue kecil dan lilin menyala, menanti datangnya pukul 12 tepat di tengah malam. Aku tidak tau, apa masih ada gunanya merayakan hari ini.
Hitungan mundur detik-detik terakhir menuju jam 12 pun dimulai.
Aku tidak pernah tau kamu sekarang berada di mana, dengan siapa, sedang melakukan hal apa, apa kamu tersenyum bahagia atau menangis menderita. Yang aku tau, aku merasa sakit yang luar biasa menatap tetesan lilin yang menyala ini jatuh tepat di atas coklat bertuliskan namamu.
Tiga detik lagi.
Aku juga tidak tau apakah usiamu sama dengan angka-angka yang kuhitung bersama pedih dari tahun ke tahun. Tapi aku menaruh angka 22 di atas kue ini, kue kesukaanmu, tiramisu.
Dua detik lagi.
Hey, apakah kamu merayakan ulang tahunmu juga, sama seperti aku?
Aku meniup liiln, menangis terisak, hingga lelah membawaku tertidur lelap.

...

“Dian...”
Sebuah suara memanggil namaku, suara yang sepertinya kukenal. Aku membuka mata perlahan. Ah, rasanya berat sekali, aku masih ingin bersenang-senang di alam bawah sadar, kenapa suara itu mengganggu sekali?
Silau.
Ada yang berdiri di dekat pintu kamarku, dari balik tubuhnya berkilauan sinar, entah dari mana, seingatku ini belum lagi waktu untuk terbit matahari.
“Dian,” panggilnya lagi. Aku berdiri, mengerjapkan mataku, berusaha melihat siapa yang berdiri seenaknya di pintu kamarku, mengganggu tidurku. Seseorang yang... Kukenal...
“Arya?” bisikku perlahan.
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku berdiri, mendekati dia perlahan. Dia pun berjalan mendekatiku. “Arya, iya kamu beneran Arya,” kataku tidak percaya. Arya tersenyum manis sekali. Dia memelukku erat, pelukan yang kuhafal, tidak pernah aku lupakan. Aku memberontak kaget, berusaha melepaskan apa yang dia berikan. “Jangan dipelas dulu,” bisiknya di telingaku. Astaga, bisikannya menusuk sekali. Aku terdiam. Dia tetap memelukku, mengelus rambutku, menghirup apapun yang berasal dari tubuhku. “Aku rindu,” katanya kali ini tidak dalam bisikan. Masih tetap memelukku. “Jangan kuatir, aku tidak pernah pergi dari kamu. Jauhpun tidak. Aku ada di tempat yang tak terjangkau mata, di sudut yang tak tergapai indera.”
Aku menarik tubuhku dari peluknya.
“Jangan sedih. Aku tidak pernah mau orang mengenangku dalam air mata. Jangan menangis lagi.”
Arya memegang kue-kue milikku, dengan lilin angka 22 yang berpendar terang, entah dia dapatkan dari mana.
“Terima kasih kuenya,” katanya lirih, menatap apa yang ia pegang. Tak lama, ia meniup habis lilin yang menyala-nyala itu.
Aku hanya bisa terdiam. “Sama-sama,” ucapku kemudian.
Arya menjatuhkan apa yang ia pegang dan kembali memelukku, dalam tangis. Aku merasa dingin kali ini, sakit, pilu. Arya terisak, tak mau melegakan pelukan. “Aku rindu, aku rindu,” ucapnya berulang-ulang. Akupun tak sanggup lagi hanya berdiam, aku mendekap tubuhnya dalam-dalam, “Bukan cuma kamu yang rindu, akupun begitu!” protesku.
Aku merasa dekapannya melemah. Dia melepaskan pelukannya, dia menatapku, katanya, “Sudah habis waktunya, aku harus pergi lagi sekarang.” Aku tidak tau harus bersikap seperti apa.
Dari balik punggungnya aku melihat cahaya terang lagi, seperti apa yang kulihat di awal bangun tidurku. Arya berjalan mundur perlahan sembari menghapus air matanya. “Selamat tinggal, Dian.”
“TUNGGU!” teriakku. Tidak ada gunanya, Arya tetap berjalan.
“Tunggu, Arya, tunggu, aku belum puas menghabiskan waktuku bersama kamu! Tunggu!”
Tapi Arya tetap berjalan, tetap tersenyum sambil berair mata.
“Satu hal lagi, please, Arya...”

...

Aku terbangun.
Sesegera mungkin aku berlari menuju pintu kamarku, berbisik perlahan, “Arya?” Sepi, tak ada siapa-siapa.
Aku tidak pernah bermaksud untuk meneteskan air mata, ia mengalir begitu saja. Aku juga tidak pernah bermaksud untuk merasa sakit seperti ini, sakitnya datang begitu saja.

Tak ada siapa-siapa.
Aku berbalik menuju kamarku dan menutup pintu.

“Selamat ulang tahun,” bisikku pelan, bercampur isak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!