Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 06 Februari 2011

Bisu

Oleh Ellena Ekarahendy  (@yellohelle) 
the-possibellety.blogspot.com

Mungkin memang benar kalau manusia terlahir dalam bilik-bilik kehidupan tak kasat mata dan tak bisa dipilih. Salah satunya bilik luka, dan kamu nampak hidup di dalamnya. Kulihat malam ini pun kamu menjerit pilu di dalam hati. Sambil mendekap bantal yang lebih pantas kusebut ampas berkain, kamu meredam tangismu dengan mengigit bibir. Tidak perlu kamu eja, aku tahu perihnya.
Kamu menyeka air matamu sendiri dengan tangan yang gemetar, kemudian bersimpuh di samping pintu. Satu detik, dua detik, telingamu menempel ke pintu, kemudian tangismu pecah lagi. Teriakan-teriakan penuh amarah berbalas-balasan dari ruang tamu. Memang malammu sudah tidak lagi kenal hening. Matamu berkaca-kaca. Kali ini, kamu datang menyentuh aku, merentangkan tangan, kemudian sambil mengerang kamu memeluk aku dengan lemah.
Kudengar mereka berkata bahwa manusia yang terbiasa dengan luka akan menjadi mati rasa. Air matamu, yang kuresapi setiap malam, berkata bahwa mereka hanya mengungkap dusta. Luka tetap luka. Sini, kutadah butir-butir perihmu. Tidak apa-apa, biar cepat bias saja rasa sakitmu; tidak ada yang ingin menghentikan tangismu.
Teriakan keras membahana dari balik pintu, sebelumnya bunyi tamparan keras, diikuti suara keramik pecah. Pasti porselin murahan yang ada di samping televisi. Kuharap itu ayah ibumu tidak dekat-dekat dengan pajangan sepeda-sepedaan kesukaanmu di samping akuarium. Suara pecah lagi. Ohlala. Derusan air tumpah mengikuti. Akuarium pecah. Biarkan sajalah. Mungkin malam ini adalah kulminasi amarah. Tidak apa-apa, besok pasti reda; dan kuharap tak berlanjut besok malam. Kamu tenanglah, jangan melepaskan pelukanmu.

Aduh, pilu aku pilu melihatmu sesegukan seperti itu. Dekapanmu bergejolak, tidak akan aku lepaskan. Aku hanya bisa diam di dalam jangkauan rentang tanganmu, berharap kamu tidak kehabisan nafas dalam kepahitan. Ketika aku dalam usaha terbesarku untuk membisikkan, “Tidak apa-apa, ada aku di sini,” ibumu menyeruak dari balik pintu kamarmu, menatap nyalang ke arah kita yang masih berdekapan. Oh, jangan takut. Kuyakin ibumu hanya menyimpan amarah pada ayahmu, bukan kamu.
Dalam tatapan singkat, kulihat darah dari perut ibumu. Tidak apa kalau kamu segera melepaskan pelukanmu. Kutatap ibumu, ia balas menatap. Tak kuat aku, Kasihan, padahal usianya belum juga empat puluh. Memar-memar kebiruan yang tersaru di kulitnya menambah kesan tua yang dibawa utas-utas rambut putih dan keriput di keningnya. Harus kukatakan berapa kali, human being is heart breaking; atau jika bukan umat manusia, bisa kita sandangkan saja pada ayahmu.
Ingin rasanya aku bergabung dengan kalian, ikut berpelukan. Tapi kali ini, biar kalian nikmati saja dekapan kalian. Jangan lepaskan pelukan ibumu. Biar ia rasakan kehangatan yang entah sudah berapa lama tak lagi ia kenal. Dalam sentuhan-sentuhan yang tercipta, kutahu akan ada asa yang termunculkan, mesti sebenarnya adalah semu, sebab kubilang: luka tetaplah luka. Dan darah makin mengalir dari perut ibumu. Kamu menatapnya dengan panik, menjerit-jerit kesetan.

Setan yang sesungguhnya baru muncul dari pintu kamar yang masih membentang. Nafasnya tersengal-sengal, matanya legam bertingkap kekejaman. Kamu menjerit makin kencang ketika ayahmu tiba-tiba mengangkat pisau dapur dengan tangan kanannya, masih berlumur darah yang cepat kau sadari kalau itu berasal dari perut ibumu.
Kakimu lemah, dan memilih untuk tetap memeluk ibumu. Kalian berdua di depanmu, mendekat, lalu menempelkan diri ke tubuhku. Aku hanya bisa menatap ketakutan. Dekapan kalian semakin erat. Jangan, jangan lepaskan dekapan ibumu. Tangan tuanya tiba-tiba menyentuh aku, ingin kubalas dengan genggaman, ingin kusampaikan kasih yang tak mungkin aku sendiri gambarkan. Namun kurasakan hanya kulit yang mendingin, kemudian mendadak kaku. Ibumu! Tidak! Jangan mati! Tapi kamu tidak peduli, ketakutan yang bercampur dengan amarah dan kekecewaan melumpuhkan kakimu untuk berdiri, atau bahkan menyadari ibumu yang mendekat ke ajal.

Ibumu masih mendekap kamu erat, bisa kujalari kengeriannya. Maaf, Ibu, aku tidak bisa berbuat apa-apa; jangan tatap aku nanar begitu. Pun kamu sendiri bilang, akan ada tempat yang lebih baik jika kamu berserah.

Ayahmu berteriak-teriak kesetan sambil mengangkat-angkat pisau, sementara dekapan ibumu melemah, lalu segera ia tersungkur ke arahku. Dalam tenaga-tenaga terakhirnya ia mendekap. Kubalas pelukannya. Aku nyaris mati dalam ketakutan menatap biru wajahnya. Bibirmu bergetar, dan gigi-gigimu beradu. Dengan cepat kamu mengusap pipimu yang basah, kemudian tak sangka kamu berdiri menerjang ke sosok tinggi besar ayahmu, mendorongnya kea rah pintu. Tidak ingin kusaksikan. Ngeri. Kumohon, kamu pergilah saja memanggil tetangga, daripada bermain api dengan ayahmu yang masih mengacung-acungkan pisau.
Histeria yang mengerikan mengisi seluruh ruang kamarmu. Biar aku menutup telinga saja, aku tidak berani. Sesekali aku melihat sosok ibumu yang terkapar di depanku, mungkin sudah tak lagi berdenyut nadinya, karena dekapannya hanya sekedar sentuhan lemah dan tak mengungkap apa-apa. Aku tidak berani menerjang kenyataan, Yang kupikirkan sekarang, hanya kamu. Kumohon, berhentilah, atau setidaknya cari pertolongan.

“BIADAB KAMU! SETAN! SETAN! SETAAAAAAAN!!!!!!”
Lolongan mengerikan keluar dari mulutmu. Aku terisak mendengarnya. Kali ini aku benar-benar menutup mata ketakutan. Biar saja yang kutatap hanya gelap. Lalu kesunyian panjang nan ganjil menggantikan kengerian yang membanjiri tadi. Aku masih tidak berani membuka mata.
Tapi kemudian erangan kesakitan memaksa aku membuka mata. Ada ayahmu, tersungkur di lantai, menatap minta tolong ke arahku. Dada dan perutnya basah dan merah. Tangannya yang penuh darah berusaha menggapai-gapai aku. Aku menatapmu, sekedar meminta ijin kalau-kalau setan yang ternyata bisa tak berdaya ini boleh dapat dekapanku juga, tapi yang kulihat adalah sosokmu berdiri dengan mata nyalang. Darah segar menetes dari pisau yang kau genggam dengan kedua tanganmu.
Dalam kekagetan nafasku berhenti.
Apa
yang
kamu
lakukan?


Kamu tidak menjawab pertanyaanku, hanya berlari ke arahku lagi, membentang tangan, lalu mendekap sambil terus terisak. Tidak akan ada hening untuk malam ini, sama sekali. Kembali kudengar isakan-isakan yang sama seperti malam-malam sebelumnya selagi kamu memelukku dengan erat. Dari balik punggungmu kusaksikan ayahmu, menjelang mautnya, menggamit tangan ibu. Kamu tidak peduli, hanya tetap memelukku erat.
Sayup-sayup kudengar kamu merintih, “Tidak, bukan salahku. Bukan salahku. Aku tidak melakukan itu ke ayah. Bukan. Bukan aku. Bukan.” Entah apa lagi yang kamu gumamkan, yang kudengar hanya isakan. Tubuhmu terguncang hebat, kulitnya bergesekan denganmu yang hanya bisa menatapmu kosong, enggan memungut label benar atau salah untuk kusematkan padamu. Sayang.
Sesekali kamu kesal, kemudian memukul-mukul aku penuh penyesalan. Tidak apa-apa, tenanglah. Toh aku juga tidak akan berkata apa-apa.
Mungkin besok polisi datang dan mencari saksi, tapi mereka tidak akan mendengar apa-apa dariku. Tidak akan mungkin mereka mau menghabiskan waktu menginterogasi susunan tembok bata bisu yang sekarang mendekapmu dengan muram. Tidak apa-apa, teruskan saja tangismu. Dalam kebisuanku dan tangismu, biar saja kita berpura tidak pernah terjadi apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!