Oleh: Gisha Prathita (@geeshaa)
Kamukayakuya.tumblr.com
“Vin, sebaiknya kita sudahi semua ini sampai sini saja.”
Saat itu pukul 23.24 malam, kita baru saja sampai di depan pekarangan tempat kostku, dan itu kalimat pertama yang terlontar dari bibirmu saat aku hendak mengembalikan helm kepadamu.
“Apa?” Aku membelalak tidak percaya. “Aku gak salah denger?”
Kamu mengangguk pelan, tatapan matamu kosong ke arahku. “Jangan kita teruskan lagi hubungan kita ini, Vin.”
Aku menganga mendengarnya. “Maksud kamu apa? Rega, kita gak sedang bertengkar—kita bahkan gak punya masalah apa-apa! Kenapa kamu tiba-tiba minta kita sudahi semuanya?” nadaku sedikit meninggi, meskipun volume suaraku keluar serendah mungkin, mengingat ini malam hari.
Apa sih maumu, Reg? kita bahkan baru saja pulang dari makan malam bersama, nonton berdua, jalan-jalan keliling Bandung dengan motor vesap biru tuamu…
“Karena aku mencintaimu, Vin.”
Aku mendelik, rasanya otakku kelu. Apa salahnya dengan mencintaiku? Wajarkan? Cinta itu tidak salah kan?
“Apa ada yang salah dengan itu, Ga? Aku tahu kamu mencintaiku sejak dulu, dan itulah kenapa kita bersama!” aku masih ngotot, nada sewotku keluar untuk menjadi kamuflaseku menahan tangisan yang sebentar lagi meledak. “Perasaan kita sekarang… sama!”
“Nah karena itulah, Vin… bedanya, sekarang aku semakin mencintaimu, dan itu tidak boleh.” Jawabmu dengan tenang, sejak tadi kamu berusaha untuk tidak menatap mataku. Kamu memain-mainkan kunci yang sedang kamu pegang sejak tadi, lalu sesekali menerawang ke langit malam yang anehnya—tak berbintang.
“Karena sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?” aku mengusap air mataku yang akhirnya jatuh ke pipi juga. “Bullsh*t!” aku menjatuhkan helm yang sejak tadi kupegang, dan menggunakan kedua tanganku untuk menahan air mata yang terus bergulir keluar dari kelopak mataku. Tubuhku terasa limbung, aku rubuh berlutut di tanah, membelakangimu.
“Vin… jangan menangis..” ujarmu lembut. “Aku tahu kamu sangat mencintaiku, dan semua yang kuinginkan dari seorang perempuan ada padamu.. tapi aku tidak boleh mencintaimu sampai seperti ini.” Kamu turun dari motor dan mendekatiku. “Jangan sedih…”
“Orang gila mana yang tidak sedih karena harus menyudahi suatu hubungan yang dibinanya dengan sangat hati-hati?!” aku menjawab sambil sesegukan. Aku melihatmu berpikir sebentar, lalu kamu berjalan ke hadapanku dan ikut berlutut di depanku. Kamu lalu meraih pundakku dan mulai memelukku erat. Wajahku terbenam di antara pundakmu, aku masih terisak.
Pelukanmu.
Hangat. Membuat pikiranku terbius, terutama aromamu yang khas, memenuhi seluruh syarafku. Wangi parfum bercampur tembakau—yang kubenci—yang selalu kurindukan.
Beberapa saat, tanpa bibir yang bicara, namun semua maksud tertuang dipelukan itu. Semuanya. Sampai akhirnya tangisanku mulai reda.
Aku lalu mulai melepaskan diri dari pelukanmu, pelan-pelan sambil menghapus sisa-sisa air mata cengengku.
“Sudah tenang?” tanyamu. Aku mengangguk. “Kita sudahi sampai di sini ya? Mulai saat ini, yang ada hanya aku dan kamu. Tidak ada kita lagi,”
Walaupun masih sedih, aku menganggukk sekali lagi, dan kali ini sangat pelan. “Aku sayang kamu, Ga,”
“Aku juga sangat menyayangi kamu, Vin.” Kamu lalu mengecup keningku, lama. Sampai akhirnya HP-ku bergetar, ada seseorang meneleponku. “Dari siapa?”
Aku melihat ke arah layar HP-ku, tertera sebuah nama yang sangat familiar di sana. “ Harsya,” jawabku singkat. Rega memijit-mijit keningnya, kemudian ia menghela napas panjang. Memalingkan mukanya, lalu berusaha tersenyum, walaupun kelihatan miris.
“Oke,” sahutnya. “Selamat telepon-teleponan, sampaikan salamku padanya.”
Aku memeluk Rega sekali lagi, erat—namun hanya beberapa detik. Aku lalu menatap matanya beberapa saat setelahnya. “Kamu mau kemana sekarang?”
“Jemput Lia dari kampus, katanya dia beres mengerjakan tugas sekitar jam 12 malam,” Jawabnya sambil kembali ke motornya.
Lia, aku tahu benar siapa gadis itu.
“Sampaikan salamku juga padanya ya,” kamu mengangguk-angguk sambil tersenyum, dan akhirnya tangisku pun benar-benar reda.
Bunyi knalpot motor mulai menderu, lalu kamu berlalu dari hadapanku sambil melambaikan tangan, tentu saja aku membalasnya. Salam perpisahan, salam terakhir setelah satu pelukan hangat.
Aku lalu masuk ke teras kostanku sambil menerima telepon dari Harsya, “Halo, sayang? Apa kabar kamu di Tokyo hari ini? Aku kangeeen!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!