Jika sudah berada di pelukannya seperti ini, tidak ada hal buruk yang bisa terjadi.
Ia mendekapku, erat. Melingkarkan lengan mungilnya yang kurasa teksturnya bahkan jauh lebih lembut daripada tekstur sutra manapun ke sekeliling tubuhnya. Aku direngkuh. Aku ditarik, mendekat agar tidak ada lagi jarak di antara aku dan dia. Erat, kuat kurasakan lengan kecilnya menarikku, agar aku tidak bisa pergi lagi. Agar aku bisa disana, menjaganya di kala ia tak berdaya.
Ia membenamkan wajahnya ke dadaku, matanya terpejam dan sebuah senyum kecil bermain di bibirnya yang mungil dan merah muda. Wajah manisnya damai. Bulu matanya seakan menyentuh pipinya di kala helai – helai yang mencuat ke atas itu merunduk dan kelopak itu menutup, memblokir semua wujud dan rupa dunia dari tatapan mata coklatnya. Pelukannya padaku semakin erat, seiring mulai perginya kesadarannya.
Malaikat itu pun tertidur.
Bahkan gemeretak berisik dari tetes – tetes air hujan yang menghujam atap tidak mengganggunya sama sekali. Hampir tidak ada pencahayaan di tempat ini, lampu kamar sudah dimatikan beberapa menit yang lalu. Hanya sesekali kilatan petir membuat ruangan persegi ini terang benderang sebelum kembali ditelan kegelapan dan suasana makin menyeramkan. Di luar sana angin pasti berhembus beku. Tapi untungnya, temperatur disini hangat. Dan lebih hangat lagi karena aku ada di pelukannya.
Ini surga. Setidaknya bagiku. Setidaknya sekarang.
Aku tahu aku bukan satu – satunya di hatinya. Bukan hanya aku saja yang pernah merasakan rasa hangat yang menguar dari tubuhnya saat ia memberikan pelukannya. Bukan pada dadaku saja paras manis itu membenamkan diri, mencari rasa aman sebelum ia menyerah pada kantuk. Jangan kira aku tak tahu, jangan kira aku tak sadar. Ia punya banyak, kau tahu, banyak sekali. Mungkin hampir setiap hari ia memilih teman tidur yang berbeda. Sementara aku, diabaikan. Ia biarkan aku disana, memandangnya memeluk yang lain, tanpa bisa berbuat apa – apa. Protes dilakukan tanpa suara dan tanpa tanggapan. Bergerak seinci pun tidak kulakukan.
Aku benci. Sungguh. Tapi tidak ada yang bisa kuperbuat. Aku menyayanginya.
Maka aku tetap disana, menunggu. Berharap ia akan merasa bosan dan meninggalkannya. Dan mencariku untuk dipeluk. Dan aku akan menyerahkan diriku, pasrah. Membiarkan ia memelukku dan menerima hangat tubuhnya dengan senang hati.
Karena kali terakhir ia memelukku seperti ini adalah tiga hari lalu.
Aku rindu. Padanya. Dan cemburu. Kepada mereka yang merasakan pelukannya selama jangka waktu aku diabaikan olehnya. Mereka, yang mencuri kasih sayangnya dariku.
“Hmmmh.”
Gawat. Ia bergerak. Mengigau? Mimpi buruk? Oh, syukurlah. Hanya gerakan dalam tidur yang lazim dan sama sekali normal. Tampak merasa tidak lagi nyaman dengan posisi tidur miring ke kanan—favoritnya, aku tahu itu. Maka ia membalik tubuhnya, bergerak beberapa puluh sentimeter dari tempatnya semula dalam prosesnya dan—ARGH.
Sakit.
Dingin.
Tanganku menggapai. Tak sampai. Dingin. Pelukannya hilang. Hangatnya hilang. Tuhan, aku ingin kembali ke sana. Ke pelukannya. Ia pasti kedinginan. Ia pasti takut, jika ia tidak menemukanku di sampingnya saat ia membuka matanya besok pagi. Aku panik, dalam kebisuan. Ingin aku menjerit, memanggil namanya agar segera ia merengkuhku lagi dan memelukku erat agar aku tak bisa jauh lagi.
Tapi aku tetap membisu. Diam.
“Hngh?” Matanya membuka. Oh, syukurlah, ia melihatku! “Kamu ngapain di bawah sana?”
Aku terjatuh, sayang. Gara – gara gerakmu saat tertidur tadi.
Tangannya terentang, menarik lenganku yang empuk ke atas, ke arahnya. Tubuhku terangkat, dan detik berikutnya kembali hangat.
Surga. Lagi.
Ia tersenyum, manis sekali. Tangannya yang mungil mengelus bulu – bulu coklat di tubuhku. Ia memelukku lebih erat, hingga plastik yang membentuk hidungku menempel di pipinya seakan aku sedang menciumnya.
“Goodnight, Teddy Bear.”
mmm.. ceritanya bagus bgt,,, tapi aku masih bingung,,, ini sebenarnya yang sedang cerita, manusia atau teddy bearnya?
BalasHapusitu teddy bear-nya yang cerita :D
BalasHapuswhahaha nana..bagus banget deh ceritanya :D
BalasHapus